Bisakah Jokowi Menyelesaikan Gelombang Kedua Reformasi?
JOKO Widowo akan menerima kekuasaan 20 Oktober ini. Ia harus membentuk kabinet yang kompeten dan memperkuat koalisinya untuk menghindari kepemipinan atas pemerintah minoritas. Apakah ia akan berhasil?
Tantangan pertama Jokowi, panggilan akrabnya, tentu saja soal kabinet yang akan ia bentuk. Pemilihan orang di kabinetnya akan menunjukkan seberapa besar visinya untuk Indonesia. Tantangan kedua adalah merakit sebuah koalisi kuat di parlemen untuk menghindari memimpin pemerintah minoritas yang pasti akan ditantang oleh saingan di kubu Koalisi Merah Putih yang lebih besar di parlemen
Yang paling penting sekarang adalah kabinetnya. Meskipun Jokowi memenangkan pemilihan presiden pada Juli silam, dia memimpin koalisi minoritas. Meskipun popularitasnya besar, empat partai yang mendukungnya hanya menguasai 37 persen dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan April. 63 persen lainnya dikuasai oleh Koalisi Merah Putih. Mulai dari UU pilkada tak langsung, pemilihan ketua DPR/MPR, tampaknya jelas oposisi yang—well, katakanlah di bahwa Prabowo Subianto—sudah menjadi hambatan konstan untuk pemerintah Jokowi.
Itulah sebabnya mengapa Jokowi terus-menerus melakukan manuver untuk memenangkan beberapa sekutu Prabowo. Target utama adalah Golkar, partai terbesar kedua setelah Partai Jokowi sendiri, Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin oleh mantan presiden Megawati Sukarnoputri. Jika Golkar tergaet, maka pemerintah Jokowi akan segera mendapatkan mayoritas yang cukup sederhana di parlemen—cukup untuk memberikan beberapa stabilitas pemerintahannya. Tapi meraih Golkar yang sekarang dipegang ARB telah terbukti lebih sulit daripada yang diperkirakan.
Ada yang menarik dari tim transisi pemerintahan SBY-Jokowi. Tim ini dipimpin oleh mantan Menteri Perdagangan Rini Soemarno. Penunjukan Rini, yang memeiliki hubungan dekat dengan Megawati, menunjukkan bahwa mantan presiden tersebut jelas masih memiliki pengaruh yang kuat di belakang layar.
Ujian berikut Jokowi adalah soal BBM. Ini bukan main-main. Memang tidak pernah ada presiden yang lengser hanya karena menaikkan harga BBM di negaranya, namun kebijakan ini, dengan hanya baru menjabat hitungan hari saja, akan menjadi sangat tidak populis bagi seorang presiden manapun. Presiden SBY tegas menolak untuk mengurangi subsidi sebelum ia pensiun dari kursi RI 1, dengan alasan bahwa setiap pemotongan subsidi akan menyebabkan kesulitan kepada rakyat pada saat ini.
Di samping namanya yang meroket, ada beberapa catatan soal DKI Jakarta yang tertinggal. Setelah hanya dua tahun berkantor sebagai gubernur DKI, Jokowi masih meninggalkan kemacetan lalu lintas Jakarta yang belum terselesaikan; dan pada saat yang sama ia tidak dapat memberikan rencana untuk mengatasi ancaman jangka panjang dari kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim. Masalah sebagai presiden tentu saja akan jauh lebih besar daripada sekadar soal macet dan banjir Jakarta.
Masalah Jakarta melambangkan infrastruktur nasional di Indonesia, dan inilah kelemahan utama sang presiden terpilih yang sebelumnya telah berjanji untuk mengatasinya. Mengatasi ini berarti secara efektif akan membantu presiden paling populer di Indonesia sejak Sukarno tersebut untuk melihat melalui masa jabatan pertamanya.
Jokowi sepenuhnya menyadari tantangan di depan wajahnya, termasuk koalisi oposisi yang kuat di Parlemen. Prabowo juga dapat memilih untuk bertempur di waktu lain—mungkin dengan bertarung dalam pemilihan presiden berikutnya pada 2019. Apakah Jokowi akan bertahan lebih dari satu periode akan tergantung pada seberapa efektif ia berada di tahun-tahun awalnya. Akankah sang presiden terpilih ini bisa menyelesaikan urusan yang belum selesai sejak reformasi 16 tahun yang lalu—yang oleh Prabowo disebut sebagai gelombang kedua Reformasi? Kita lihat nanti. [sa/islampos/diterjemahkan dari “Indonesia’s New President: Coming Crunch-Test For Joko Widodo” oleh: Yang Razali Kassim/eurasiareview]
0 Response to "Bisakah Jokowi Menyelesaikan Gelombang Kedua Reformasi?"
Post a Comment