APAKAH NON MUSLIM AKAN DIBANTAI DI DALAM KHILAFAH?
Oleh : Choirul Anam (Alumni TBS Kudus)
Diantara salah satu argumentasi untuk menolak penerapan syariah Islam dan Khilafah, adalah keberadaan warga non muslim di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa, “karena masyarakat itu majmuk, ada muslim dan juga non muslim, maka hukum paling sesuai adalah hukum yang diperoleh dari hasil kesepakatan warga atau masyarakat itu sendiri. Sebab, jika dalam kehidupan bermasyarakat hanya menggunakan hukum yang berasal dari salah satu agama tertentu, misalnya Islam, hal itu akan cenderung memaksa dan mendzalimi warga non muslim”. Bahkan, ada yang lebih vulgar dengan mengatakan, “penerapan syariah Islam akan memecah belah masyarakat”, ada juga yang mengatakan “Penerapan syariah Islam itu hanya cocok untuk negara yang singular, yaitu suatu negara dengan satu agama, yaitu Islam. Syariah sama sekali tidak cocok untuk negara moderen yang plural, seperti Indonesia ini. Jika syariah diterapkan, mau diapakan warga non Muslim? Apakah mereka akan dibantai?”, dan masih banyak lagi pernyataan-pernyatan yang serupa.
Sebetulnya, sudah banyak sekali tulisan dan penjelasan tentang hal ini, dari para aktivis dakwah yang memperjuangkan syariah dan khilafah. Namun entah mengapa, masalah ini, masih saja terus diagkat ke permukaan, padahal pernyataan tersebut sebenarnya bertolak belakang dengan fakta syariah Islam dan khilafah itu sendiri, baik secara normatif, historis maupun empiris. Tulisan ini tidak akan membahas motif dan tujuan dari pernyataan tersebut, yang tentu saja sangat beragam.
Tulisan ini akan berusaha menjelaskan ulang secara ringkas, tentang posisi non Muslim dalam pandangan syariah Islam. Tulisan ini akan membahas apa adanya, tidak berpura-pura mengatakan yang baik-baik atau menutupi yang dianggap buruk, hanya untuk mencari simpati dari kalangan non muslim atau siapapun. Tulisan ini hanya akan membahas apa adanya sesuatu dengan hukum syariah Islam.
******
Orang-orang non muslim yang menjadi rakyat Khilafah Islamiyah disebut dengan ahlu adz-dzimmah. Ahlu adz-dzimmah kadang disebut juga kafir dzimmi atau sering disingkat dzimmi saja. Asal katanya adalah adz-dzimmah, yang berarti al-‘ahd, bermakna perjanjian. Ahlu adz-dzimmah adalah setiap orang yang beragama bukan Islam (non muslim) dan menjadi rakyat negara Khilafah. Islam telah menjelaskan banyak sekali hukum tentang ahl adz-dzimmah ini, dengan sangat rinci. Syeikh Taqiyuddin An-nabhani telah banyak mengulis hukum-hukum seputar ahlu adz-dzimmah ini dalam kitab-kitab beliau, misalnya kitab Asysyakhsiyyah Al-Islamiyah jilid II dan kitab Muqoddimah Al-Dustur. Bahkan diantara ulama ada yang menulis kitab khusus mengenai hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ahl adz-dzimmah. Misalnya Ibn Qayyim al-Jawziyah, yang menulis kitab Ahkam Ahl adz Dzimmah.
Dalam Khilafah Islamiyah, Muslim maupun non-Muslim akan mendapatkan perlakuan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hak-hak mereka sebagai warga negara dijamin penuh oleh Negara. Mereka juga memiliki kewajiban yang sama dengan warga negara lain, kecuali hal-hal khusus yang telah diatur oleh syariah Islam.
Berikut ini ketentuan tentang ahlu adz-dzimmah dalam Khilafah Islamiyah:
Pertama, Khilafah Islamiyah tidak memaksa non muslim masuk Islam.
Non muslim tidak akan dipaksa untuk menganut islam. Allah berfirman yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Oleh karena itu, siapasaja yang mengingkari thâghût dan mengimani Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 256). Non muslim bebas memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya.
Islam juga tidak memberangus peribadatan-peribadatan mereka. Islam membiarkan orang non muslim untuk hidup berdampingan dengan kaum Muslim selama tidak memusuhi dan memerangi kaum Muslim. Orang non muslim yang hidup dalam Khilafah Islamiyah, mendapatkan perlakukan dan hak yang sama dengan kaum Muslim.
Diriwayatkan dari Urwah bin Zubair berkata, bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman: Siapa saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya; mereka hanya wajib membayar jizyah. (HR Ibnu Ubaid).
Memaksa mereka untuk keluar dari agama mereka adalah pelanggaran syariah. Namun, tentu saja mereka didakwahi agar memahami Islam dan diharapkan mereka masuk Islam sesuai dengan pemahamannya, bukan dengan paksaan.
Kedua, mereka tidak akan disakiti atau didzalimi. Harta dan darah mereka juga terjaga.
Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana terjaganya darah dan harta kaum Muslim. Bahkan Rasulullah saw menyatakan dalam banyak hadis, bahwa siapa menyakiti kafir dzimmi tak ubahnya menyakiti Rasulullah dan tak akan pernah mencium baunya surga.
Diriwayatkan Al-Khathib dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Siapa saja yang menyakiti dzimmi maka aku berperkara dengan dia. Siapa saja yang berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakan dia pada Hari Kiamat” (As-Suyuthi, Al-Jâmi‘ ash-Shaghîr).
Rasulullah saw. juga pernah bersabda: “Siapa saja yang membunuh kafir mu‘ahad (yang mengadakan perjanjian dengan Daulah Islamiyah, red.), dia tidak akan mencium wangi surga, padahal sesungguhnya wangi surga itu sudah bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR al-Bukhari).
Sekedar contoh, Rasulullah saw. pernah secara langsung memberikan jaminan keamanan kepada orang kafir pada saat pembebasan Kota Makkah. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Telah memberikan jaminan keamanan kepada orang musyrik dan beliau juga melarang mengkhianati orang yang telah diberi jaminan keamanan. Abu Said berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda: “Setiap orang yang berkhianat kelak akan membawa bendera pada hari kiamat yang dengan bendera itu ia akan dikenal banyak orang” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Ketiga, ahlu adz-dzimmah harus membayar jizyah bagi yang mampu
Mereka hanya diwajibkan membayar jizyah. Mereka tidak dipungut biaya-biaya lain, seperti zakat. Zakat hanya khusus bagi orang Islam.
Urwah bin Zubair berkata, bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman: Siapa saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya; mereka hanya wajib membayar jizyah. (HR Ibnu Ubaid).
Dari Hasan bin Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib berkata: Rasulullah saw. pernah mengirim surat kepada Majuzi Hajar. Beliau mengajak mereka masuk Islam. Siapa saja yang memeluk Islam, diterima. Jika tidak, dipungut atas dia jizyah. (HR Abu ‘Ubaid).
Jizyah hanya dikenakan kepada laki-laki yang telah balig. Nafi’ menuturkan riwayat dari Aslam Maula ‘Umar yang menyatakan, “Umar pernah menulis surat kepada para pemimpin pasukan, agar mereka memungut jizyah. Mereka tidak boleh memungut jizyah dari wanita dan anak kecil.”
Jizyah juga tidak dipungut dari orang-orang non muslim yang miskin, lemah, dan membutuhkan sedekah. Syarat kemampuan diambil dari firman Allah Swt. dalam surat at-Taubah ayat 29 yang berbunyi ‘an yadin yang bermakna ‘an qudratin. Maksudnya, jizyah diambil berdasarkan kemampuan.
Pada saat pengambilan jizyah, negara wajib melakukannya secara baik, tidak boleh disertai kekerasan atau penyiksaan. Jizyah tidak boleh diambil dengan cara menjual alat-alat atau sarana penghidupan ahl dzimmah, misalnya alat-alat pertanian atau binatang ternak mereka.
Saat mereka telah diambil jizyahnya, maka negara harus melindungi mereka. Jika karena suatu sebab, negara tidak mampu melindungi mereka, maka jizyah tidak boleh diambil, bahkan harus dikembalikan. Hal ini sebagaimana yang dikisahkan al-Baladzuri (dalam kitab Futûh al-Buldân, hlm. 139). Diceritakan, kaum Muslim menaklukkan kota Homs di Siria. Jizyah lalu dipungut dari penduduknya. Akan tetapi kemudian, kaum Muslim harus meninggalkan kota itu dan tidak bisa lagi menjaga dan melindunginya. Abu Ubaidah, panglima kaum Muslim ketika itu, lantas mengumpulkan penduduk Homs dan mengembalikan jizyah mereka seraya berkata, "Kami tidak bisa lagi membantu dan melindungi kalian. Kalian sekarang bebas." Namun, penduduk Homs justru menjawab, "Pemerintahan Anda dan keadilan Anda bagi kami lebih mulia daripada kezaliman dan penindasan yang kami alami sebelum Anda datang."
Keempat, Bagi yang tidak mampu, misalnya karena sudah tua atau cacat, bukan saja tidak wajib jizyah, tetapi ada kewajiban negara (Baitul Mal) untuk membantu mereka.
Kelima, dalam hal muamalah, kaum Muslim dipersilakan untuk bermuamalah dengan mereka sesuai dengan ketentuan syariah Islam.
Kafir dzimmi boleh melakukan jual-beli dan syirkah dengan kaum Muslim. Kafir dzimmi juga boleh ikut berperang bersama kaum Muslim, tetapi perang (jihad) tidak wajib atas mereka.
Keenam, Kafir dzimmi menjadi tanggung jawab negara.
Mereka berhak mendapatkan pelayanan, perlindungan dan perlakuan baik dari negara Islam. Inilah hukum-hukum tentang kafir dzimmi. Mereka diperlakukan sama dalam kaca mata hukum. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nisa 58)
Ketujuh, Jika ahludz-dzimmah melakukan pelanggaran, akan diberlakukan sanksi hukum Islam atas mereka, kecuali sanksi minum khamr.
Khilafah Islam merupakan tempat pemberlakuan hukum-hukum Islam bagi kaum Muslim, kafirdzimmi maupun musta’min. Rasulullah saw. pernah mengirim surat kepada penduduk Najran (mereka adalah orang-orang Nasrani): “Sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang melakukan jual-beli dengan riba, maka tidak ada dzimmah (perlindungan) bagi dia” (HR Ibnu Abi Syaibah, Mushannif fi al-Ahadits wa al-Atsar, 7/426).
Riba merupakan bagian dari hukum Islam. Rasulullah saw telah memberlakukan hukum ini kepada dzimmi yang melakukan praktik riba. Ini merupakan bukti bahwa kafir musta’min akan diperlakukan sebagai kafir dzimmi.
Kedelapan, Sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kaum Muslim.
Non muslim ahlu adz-dzimmah itu ada dua kategori, yaitu ahli kitab dan musyrik. Ahli kitab maksudnya adalah pemeluk agama langit, yaitu yahudi dan kristen. Sedangkan musyrik adalah pemeluk agama bukan langit, seperti hindu, budha dan lain-lain..
Sembelihan mereka halal dimakan dan juga wanita mereka boleh dinikahi (meskipun seorang muslim kalau bisa menghindari hal ini). Allah berfirman yang artinya: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab halal bagimu dan makanan (sembelihanmu) kamu halal bagi mereka. Demikian pula perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.” (QS Al-Maidah [5]:5)
Adapun selain Ahlul Kitab, sembelihan dan wanita diharamkan secara mutlak. Ini didasarkan pada ketetapan Rasulullah saw. kepada Majuzi Hajar: “Sembelihannya tidak boleh dimakan dan wanitanya (Majuzi) tidak boleh dinikahi” (HR Abu Ubaid).
Sedangkan seorang muslimah diharamkan secara mutlak dinikahi orang non muslim, baik musyrik maupun Ahlul Kitab.
*****
Jadi orang yang bilang bahwa syariah Islam tidak bisa diterapkan karena adanya warga non muslim atau pernyataan bahwa non muslim akan dibantai dalam Khilafah, itu menggambarkan ketidak-tahuan tentang hukum syariah.
Jika mereka sudah tahu, tetapi tetap saja berbicara seperti itu, berarti memang ada masalah pada diri orang tersebut.
Islam tidak mengenal tirani, baik mayoritas atau minoritas. Ajaran Islam adalah ajaran yang datang dari Sang Pencipta langit dan Bumi yang adil. Islam juga mengajarkan kepada umat islam untuk berprilaku adil sesuai dengan syariah Islam. Umat Islam saat berkuasa tidak boleh mendzalimi non muslim, demikian pula kedzaliman non muslim atas umat Islam. Islam mengajarkan keharmonian hidup yang sebenarnya.
Orang non-Muslim tidak akan dipaksa untuk masuk Islam. Islam juga tidak akan memberangus peribadatan-peribadatan mereka. Islam membiarkan non-Muslim untuk hidup berdampingan dengan kaum Muslim selama mereka tidak memusuhi dan memerangi kaum Muslim.
Inilah sebagian dari hukum-hukum Islam tentang kafir dzimmi. Inilah hukum syariah Islam yang akan diterapkan oleh khilafah Islam. Inilah hukum yang akan membawa keadilan yang sebenar-benarnya dalam kehidupan.
Justru sistem aturan buatan manusia, meskipun digembar-gemborkan memberikan keadilan atau menghilangkan kedzaliman, yang terjadi justru kedzaliman. Lihatlah kondisi saat ini. Saat Umat Islam minoritas dan lemah, mereka dibantai dimana-mana. Di Palestina, di Cina, di Rusia, di Rohingya dan lain-lain. Itu sekedar contoh. Dan saat Umat Islam mayoritas, mereka juga selalu disudutkan dengan pernyataan “tirani mayoritas”.
Jadi, hanya Islam dan Khilafah Islam yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan yang hakiki. Jika ada yang mengatakan bahwa khilafah akan membantai non muslim (warga dzimmi), maka pernyataan itu hanyalah ilusi. Pernyataan itu seperti pernyataan: “Hujan akan menyebabkan tanah menjadi kering”.
Wallahu a’lam.
0 Response to "APAKAH NON MUSLIM AKAN DIBANTAI DI DALAM KHILAFAH?"
Post a Comment