“Infiltrasi” Politik Syiah: NKRI Siaga Satu?
Oleh: Kholili Hasib
PERKEMBANGAN demi perkembangan mutakhir tentang kelompok Syiah di Indonesia semakin harus diwaspadai. Entah apa maksudnya pemerintah sekarang seakan memberi peluang masuknya aliran radikalis seperti Syiah.
Pertama, di Pekanbaru imigran gelap asal Afganistan (diduga beraliran Syiah) sangat bebas melakukan aktivitas di masyarakat.
Kedua, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menerima kerjasama dengan Syiah membangun masjid-masjid. Dan ketiga, Kementrian Pendidikan berencana melakukan kerjasama kebudayaan dengan Iran. Apakah ini pola-pola agitasi baru dan inviltrasi politik Syiah?
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) patut mencemaskan. Syiah tidak bisa dibaca sebagai sebuah madzhab. Pun juga keliru jika menempatkannya sebagai kelompok yang berbeda fikih. Lebih dari itu, pada kenyataannya, ia merupakan sekte ektrimis-radikal, kelompok politik, dan aliran yang berciri khas melakukan agitasi dan revolusi. Bagi negeri Indonesia yang ber-Pancasila, mereka merupakan ancaman serius.
Ayatullah Khomeini, pemimpin besar Revolusi Iran tahun 1979, menulis buku petunjuk mendirikan “Negara Islam ala Syiah”. Buku berjudul “al-Hukumah al-Islamiyah” (edisi Indonesia Sistem Pemerintahan Islam) berisi motivasi dan hasutan untuk menggulingkan negara-negara Muslim yang bersistem kerajaan dan demokrasi. Cita-cita Syiah adalah sistem politik.
Bagi Khomaini, Islam yang ideal dan sempurna adalah Islam yang terapkan pemerintahan Islam di bawah kendali Khalifah keturunan ahlul bait atau al-faqih sebagai tim transisi ketika ada kekosongan khalifah. Karena itu, ia mencela keras Daulah Umayyah dan Abbasiyah.
Ia menulis: “Setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam, musuh-musuh Islam dari Bani Umayyah, semoga Allah melaknat mereka, tidak mengizinkan adanya pemerintahan Islam yang ber-wilayah pada Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengizinkan terbentuknya pemerintahan yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi Wassallam” (Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, hal. 45). [Baca juga: Infiltrasi Politik Syī`ah dalam Daulah Islam [1], bagian [2]]
Pada bagian berikutnya, negara apa saja yang tidak bersistem kepemimpinan imamah Ahlul Bait disebut thaghut atau bersistem kufur. “Karenanya, semua sistem pemerintahan non-Islami adalah sistem kufr. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa pemimpin pemerintahannya adalah thoghut. Tugas kita sebagai Muslim, terhadap sistem kufr, adalah membuang semua pengaruh sistem tersebut dari kehidupan masyarakat kita dan menghancurkannya” (Sistem Pemerintahan Islam, hal. 46).
Kita lihat, Khomeini menghasut umat Syiah dengan menyebut Bani Umayyah sebagai musuh Islam, kaum terlaknat, dan negara kufur. Tidak hanya itu, hasutan tersebut bersifat luas. Negara mana saja yang sistemnya bukan sitem politik Imamah Syiah adalah negara thoghut, kufur, dan wajib dihancurkan.
Ekspresi politik Syiah bukan seperti ekspresi partai politik di negeri ini. Politik Syiah telah mewujud menjadi sebuah teologi. Sistem politik yang kini mereka sebut wilayah al-faqih diyakini sebagai sistem politik yang benar dan sistem yang lain adalah sistem sesat. Maka, berdasarkan ‘fatwa’ Khomeini, sistem politik yang ada akan digulingkan. Adapun jika mereka tidak melakukannya maka itu bagian dari taqiyyah atau kebohongan demi memperjuangkan sistem yang sebenarnya mereka inginkan (Hamid Fahmi Zarkasyi dalam Pengantar buku Teologi dan Ajaran Shi’ah Menurut Referensi Induknya, hal. xii). Jadi, ekspresi politik Syiah mengandung dendam, kebencian dan ambisi revolusi.
Ketika Khomeini menggulingkan Syah Reza Pahlevi pada tahun 1979, semangat pengikutnya adalah menggulingkan sistem thoghut, menggantinya dengan sistem imamah. Padahal, Imam Ali ra tidak pernah mengajarkan politik imamah. Dalam kumpulan pidatonya yang ditulis dalam Najul Balaghah juga tidak ditemukan fatwa bahwa yang tidak mengikuti sistem imamah adalah kafir, thoghut dan najis.
Ketika teologi politik tersebut diekspresikan dalam bentuk buku-buku, aksi dan dakwah maka yang nampak adalah teologi radikalisme. Bagaimana tidak, Khomeini mengompori dengan hasutan yang keras. Ia menulis: “Kenyataannya tak ada pilihan selain menghancurkan sistem pemerintahan yang rusak (dan juga merusak). Dan menghapus pemerintahan yang penuh dengan pengkhianatan, kerusakan dan kezaliman. Ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang ada di negara Islam sehingga dapat tercapailah keyaan Revolusi Politik Islam”(Imam Khomeini,Sistem Pemerintahan Islam, hal. 46).
Ekstrimisme Khomeini tersebut diungkapkan dengan lugas jelas tanpa taqiyyah. Di kalangan kaum Syiah Indonesia, seruan Khomeini ini merupakan ‘fatwa’ untuk melakukan revolusi di negaranya masing-masing. Ia sendiri merupakan ulama Syiah yang kharismatik. Pidatonya membakar pemuda Syiah, fatwanya bagaikan sabda Imam.
Ekspresi radikalisme Syiah sudah pernah muncul di Indonesia pada tahun 1984, lima tahun pasca Revolusi Iran. Pada tahun 24 Desember 1984, dikabarkan salah seorang pemuda Syiah bernama Jawad, alias Ibrahim terlibat kegiatan terorisme. Ia meledakkan gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang Jawa Timur. Konon, ia melakukannya karena bercita-cita menjadi Khomeininya Indonesia. Dikabarkan pula, ia kemudian dilarikan seseorang ke Suriah.
Apakah radikalisme tersebut akan diwariskan ke generasi Syiah berikutnya dan sekarang? Inilah yang mestinya menjadi catatan pemerintah.
Besar kemungkinan radikalisme Syiah ‘tersimpan’ dengan topeng taqiyah. Harap dicatat, belakangan Syiah didukung kelompok Islam Liberal — kelompok yang mengaku menyebarkan toleransi dan kedaimaian –, bukan berarti Syiah telah berubah menjadi kaum pluralisme dan toleran. Inti teologi Syiah justru mengajarkan kekerasan, radikalisme, dan ortodoksi. Padahal semua faham ini katanya dilawan Islam Liberal. Jika kini bajunya toleransi, maka harus diterjemahkan itulah politik taqiyyah Syiah. [Baca juga: Syiah Indonesia: “Bertaqiyah Tak Apa Asal Logis!”]
Di Iran, minoritas Sunni adalah kaum yang tidak mendapatkan hak-hak yang sama dengan kaum lainnya. Warga Sunni kebanyakan mendiami daerah pinggiran Iran. Di antara wilayah yang dihuni orang-orang Sunni adalah provinsi Kurdistan, provinsi Azerbaijan Timur, provinsi Karman Syah, Turkman Sahara, Khurasan, Sistan-Baluchtan, Hormuzkan dan lain-lain. Wilayah ini adalah daerah ‘minus’.
Pada tahun 1994 muncul suara-suara menuntut hak dengan kelompok mayoritas. Di tahun itu pernah terjadi demonstrasi besar ribuan kaum Sunni menuntut keadilan atas dirobohkannya masjdi Ahlus Sunnah pada tahun 1994. Karena terlalu sering ditekan keras, termasuk kesulitan membangun masjid, warga Sunni Iran pernah mendirikan gerakan “Islam Iran” yang menuntut memisahkan diri dari pemerintahan Syiah Iran jika hak-hak sipil Sunni tidak dipenuhi dan membangun kembali masjid Zahedan yang dirobohkan.
Penderitaan warga Sunni di Iran berlangsung sejak Syah Al-Shafawi pada tahun 1500 H menguasai Iran. Dan menjadikan Iran sebagai pemerintahan Syiah. Warga Sunni dipaksa al-Shafawi untuk menjadi Syiah. Banyak sekali yang dibunuh karena bertahan menjadi Sunni (Samih Said Abud, Minoritas Etnis dan Agama di Iran, hal. 230). [baca juga: Dinasti Safawi dan Konversi Syiah di Iran (1), juga bagian (2)]
Mencermati hal tersebut, seharusnya pemerintah Indonesia melihat infiltrasi Syiah sebagai ancaman serius. Penyebaran aliran Syiah ke Indonesia atau negara-negara Muslim lainnya membawa sedikitnya dua dampak yang berbahaya:
Pertama, akan menuai konflik sosial seperti kasus Sampang dan bahkan dapat meluas ke tingkat nasional jika tidak dikontrol.
Kedua, akan membahayakan ketahanan, keamanan dan kedaulatan Republik Indonesia (Hamid Fahmi Zarkasyi dalam Pengantar buku Teologi dan Ajaran Shi’ah Menurut Referensi Induknya, hal. xiii). Karena itu NKRI harus waspada terhadap infiltrasi-infiltrasi politis Syiah.*
Penulis adalah anggota MIUMI Jawa Timur
0 Response to "“Infiltrasi” Politik Syiah: NKRI Siaga Satu?"
Post a Comment