Pengesahan RUU PUB Berpotensi Penafsiran Bebas Teks Syariah
Jika umat Islam melepas ego, bukan tidak mungkin Islam akan hilang dari Indonesia seperti Andalusia
ICRP
ICRP Undang Tokoh Agama dan Kepercayaan Bahas RUU Perlindungan Umat Beragama
Hidayatullah.com–Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) perlu pengawalan umat agar tidak berdampak pada penyusupan berbagai kepentingan.
Hal tersebut dikatakan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) DKI Jakarta, Fahmi Salim.
”Kalau tidak kita kawal, tidak kita awasi, bisa disusupi. Bisa mengarah pada intervensi isi materi dakwah, tata tertib doa di sekolah. Akhirnya bisa ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan yang berpotensi melemahkan fatwa MUI tentang aliran sesat,”jelasnya dalam majelis ilmu D’Lisya bertema “Krisis Politik Islam dan Liberalisasi Rezim Penguasa di Masjid Agung Al Azhar belum lama ini.
Pengawalan dinilai penting, belum lagi, adanya permintaan Amnesty Internasional pada Presiden Joko Widodo sejak pekan pertama pelantikannya untuk menncabut UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, berpotensi melemahkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang aliran sesat.
Ia mencontohkan, pengakuan agama Baha’i oleh pemerintah Indonesia, menjadi hal serius yang perlu dipikirkan umat.
Sebagaimana diketahui, Menteri Agama (Menag) RI, Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, Baha’i termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945.
Menurut Menag, berdasarkan UU No 1/PNPS/1965, agama Baha’i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
19 April 2010 lalu, sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada pengujian UU No 1/PNPS/1965 memutuskan, UU itu tidak sedikitpun mematikan kemajemukan agama yang ada dan tumbuh di Indonesia, karena semua penganut agama mendapat pengakuan dan jaminan perlindungan yang sama.
Menanggapi hal ini, Fahmi Salim mengatakan, “Akan ada berapa banyak agama (lagi) di Indonesia yang diakui? Islam saja tidak diakui sebagai agama negara, suatu kemunduran. Padahal negara-negara Muslim lainnya mencantumkan Islam sebagai dasar negara,”tukasnya mengenai pengakuan atas Baha’i.
Pada akhirnya, jika sampai UU PUB disahkan, lanjut Fahmi, berdampak pada penafsiran teks-teks agama secara bebas. Itu berarti, penafsiran yang keluar dari mainstream ilmu syariah, dianggap bukan termasuk unsur penodaan agama.
“Di Indonesia, yang dapat angin segar, Syiah. Padahal sejak tahun 1983, sudah jelas adanya surat edaran yang disetujui oleh Menteri Agama yang menyatakan bahwa ajaran Syiah itu bertentangan dengan ajaran Islam yg sesungguhnya,”ulas peraih gelar Master Tafsir Al Quran, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir itu.
Upaya gerilya Syiah bahkan sampai pada permintaan pada MUI Jawa Timur untuk mencabut fatwa kesesatannya.
“Fatwa kok diintervensi. Birokrasi kok seolah-olah lebih tahu tentang agama dari ulama. Hal ini harus dihadapi bersama,”ungkapnya serius.
Lebih lanjut, peraih gelar Summa Cumlaude untuk “Studi analitis-kritis diskursus filsafat Hermeneutika Al-Quran” (Khithabat Da’wa Falsafat Al-Ta’wil Al-Hermenuthiqi Li Al Quran; ‘Ardl Wa Naqd) itu mendorong umat Islam untuk meluruhkan ego golongan.
“Jika kita tidak bersatu dari sekarang, tidak melepaskan egoisme kepartaian dari sekarang, maka kita akan kalah total di 2019. Jika umat Islam tidak melakukan langkah strategis bersama, bukan tidak mungkin Islam akan hilang dari Indonesia seperti Andalusia (Spanyol) yang hilang setelah 7 abad berkuasa,”tukasnya.*
0 Response to "Pengesahan RUU PUB Berpotensi Penafsiran Bebas Teks Syariah"
Post a Comment