Pandangan ISLAM terkait PEMOGOKAN BURUH
Banyak buruh/pekerja yang menuntut
kesejahteraan hidupnya dengan cara menuntut kepada perusahaan (majikan)
tempatnya bekerja untuk lebih memperhatikan kesejahteraan hidup mereka. Tidak
jarang, buruh/pekerja kemudian melakukan mogok. Bagaimana Islam mengatasi
problematika perburuhan? Apakah buruh/pekerja dibolehkan melakukan mogok?
Problematika
perburuhan sudah menjadi pemandangan sehari-hari kaum Muslim yang tidak pernah
ada habisnya. Fenomena
menarik ini menjadi alat propaganda yang efektif untuk menekan negeri-negeri
Islam agar tunduk pada keinginan negara-negara Barat kapitalis. Tidak heran
jika mereka (negara-negara Barat) rela mengeluarkan banyak dana untuk
memperluas pengaruh politik dan memperbanyak aset-aset ekonomi mereka di
negeri-negeri Islam, melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang
mepropagandakan penerapan HAM serta lembaga-lembaga yang terlibat langsung
dalam menangani perburuhan.
Pada akhirnya masyarakat juga
yang rugi. Untuk itu, masyarakat harus sadar tentang makar jahat negara-negara
Barat yang kapitalis, serta bahayanya menerapkan sistem ekonomi kapitalis.
Disamping itu kaum Muslim harus mengetahui persoalan perburuhan menurut kaca mata
Islam dan hukum-hukum Islam. Juga kaum Muslim harus mampu memisahkan antara
urusan politik praktis dengan perburuhan, antara isu-isu HAM, hak berserikat,
berbicara, berkumpul dan lain-lain dengan transaksi perburuhan. Begitu pula perlu dipahami bahwasanya pengusaha tidak sama dengan negara
(kepala negara). Negara memiliki kewajiban menjamin/mengatur/memelihara seluruh
kebutuhan hidup masyarakat. Sedangkan majikan terikat dengan transaksi ijarah.
Semua
itu harus dipahami dan dimengerti oleh seluruh kaum Muslim, khususnya para
buruh, agar mereka benar-benar tunduk dan patuh hanya pada hukum-hukum Islam
dalam perburuhan. Selama hukum-hukum Islam yang berasal dari Zat Yang Maha Adil
itu diabaikan, tidak diterapkan, dan disingkirkan, maka selama waktu itu pula
kehidupan para buruh, dan kehidupan seluruh kaum Muslim akan menjumpai
kesengsaraan, keresahan, kesewenang-wenangan dan kehancuran. Renungkanlah
firman Allah Swt:
]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum (sistem hidup) Jahiliyah (Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme
dan ideologi lain selain Islam) yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang
lebih baik dari pada hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin? (TQS.
al-Maidah [5]: 50)
Islam
tidak pernah mengenal problema perburuhan. Dalam Islam masyarakat tidak
terpecah dua dalam klas buruh dan klas pengusaha, proletar dan borjuis, buruh
tani dan tuan tanah, buruh nelayan dan juragan kapal, dan lain-lain. Sebab,
mereka yang dikelompokkan dalam kategori buruh itu, dalam Islam seluruhnya
disebut dengan ajîr (pekerja/buruh). Baik
ajîr itu dari kalangan terpelajar dan
terhormat, seperti konsultan, dosen, rektor, insinyur, para direktur dan
manager yang digaji/diupah; ataupun ajîr yang
mengeluarkan tenaga, seperti buruh pelabuhan, tukang becak, tukang cukur,
tukang sayur, tukang sepatu, tukang jahit, buruh pabrik dan lain-lain. Baik
buruh itu bekerja pada perorangan, kantor swasta, pabrik/lembaga/perusahaan,
maupun yang bekerja pada negara (pegawai negeri), semuanya adalah ajîr.
Jadi
semua orang yang bekerja, apapun bentuk pekerjaannya, dalam Islam dinamakan ajîr (pekerja/orang yang memperoleh upah
karena telah mengeluarkan atau memberikan manfaat/jasa tertentu). Orang yang
mengupahnya dinamakan musta’jir. Dan bentuk transaksi
perburuhan/penyewaan tenaga di dalam Islam dikenal dengan istilah ijarah.
Dengan
demikian kaum Muslim yang akan melibatkan diri dalam transaksi kerja, baik ia
sebagai ajîr ataupun musta’jir,
wajib mengetahui syarat-syarat, rukun, tata cara serta berbagai bentuk
transaksi ijarah, termasuk jika
terdapat perselisihan antara dua belah pihak yang mungkin muncul, harus
dipecahkan juga dengan hukum Islam. Dari gambaran umum ini saja kita akan
mengerti bahwa transaksi ijarah
(perburuhan) hanya melibatkan dua belah pihak, yaitu ajîr dan musta’jir, dan bersifat individual.
Seandainya
muncul perselisihan antara dua belah pihak mengenai (misalnya) upah, maka
urusan ini diserahkan kepada para khubarâ
( para pakar yang dapat menentukan ajrun
mitsli, yaitu upah yang layak untuk ajîr
tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi pekerjaannya, daerah tempatnya
bekerja dan pertimbangan-pertimbangan lainnya). Yang memilih khubarâ adalah dua belah pihak yang
bersengketa. Jika khubara ini tidak
ditaati dan tetap berselisih, maka urusannya diambil alih peradilan Islam
(negara), yang dapat mengangkat khubarâ
jabran (khubarâ yang keputusannya
wajib ditaati oleh dua belah pihak).
Di dalam
Islam ijarah itu didefinisikan
sebagai akad/transaksi atas manfaat/jasa (yang dikeluarkan ajîr) dengan memperoleh imbalan (berupa upah/ujrah dari musta’jir)1.
Berarti yang mendasari aqad/transaksi ini adalah manfaat yang dikeluarkan oleh ajîr. Upah/ujrah adalah harga atas manfaat yang dikeluarkan tadi. Dari sini
kita memahami bahwa setiap buruh atau ajîr
itu memberikan manfaat yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk pekerjaan,
pengalaman/ketrampilan, latar belakang pekerjaan dan lain-lain, sehingga
besarnya upah tidak dapat diseragamkan. Upah hanya dapat dinegosiasikan oleh
dua belah pihak yang melakukan transaksi (yaitu ajîr dan muta’jir). Pemerintah dalam hal ini tidak
dapat campur tangan, apapun alasannya.
Tugas
pemerintah adalah mengatur dan mengurus urusan seluruh rakyat, termasuk
bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, baik rakyat itu dari kalangan
buruh maupun majikan. Disinilah letak keadilan Islam, yang tidak berpihak
kepada para buruh saja, melainkan juga terhadap para majikan. Negara dalam hal
ini wajib mengatasi dan menyingkirkan bentuk dan tindakan zhalim. Membiarkan
kezhaliman berlangsung adalah perbuatan dosa dan maksiat, diharamkan oleh Allah
Swt.
Apabila negara membiarkan
kezhaliman berlangsung, maka seluruh rakyat (kaum Muslim) harus melakukan amar
ma’ruf nahi munkar, mengkritik penguasa
dan meluruskannya. Jadi, bukan kewajiban para buruh semata, akan tetapi sudah
menjadi kewajiban seluruh rakyat (kaum Muslim) menyingkirkan kezhaliman. Jika
rakyat tidak mampu meluruskan penguasanya, persoalan ini dilimpahkan kepada mahkamah mazhalim. Keputusan mahkamah mazhalim wajib dijalankan,
sehingga pembangkangan penguasa atas keputusan ini membolehkan kaum Muslim
memaksa penguasa tersebut tunduk pada keputusan mahkamah mazhalim, meski dengan fisik/senjata.
Atas
dasar ini, Islam tidak memasukkan persoalan-persoalan yang menyangkut kebutuhan
buruh akan kesehatan, pendidikan, jaminan hari tua, imbalan pensiun atau PHK,
biaya rekreasi, perumahan, dan lain-lain dalam transaksi ijarah. Sebab, definisi ijarah
itu hanya berkait dengan manfaat yang diberikan oleh ajîr, serta dihargakan dengan upah yang disepakati oleh dua belah
pihak. Titik. Wajar, jika manfaat yang diberikan itu sedikit, maka upahnya juga
kecil sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Disinilah kewajiban penguasa untuk
mendidik dan memberikan ketrampilan bagi rakyatnya semaksimal mungkin,
disamping menyediakan lapangan kerja dengan menciptakan iklim berusaha yang
positif. Jadi tidak dibebankan tanggung jawab ini kepada para majikan, lalu
penguasa berlepas tangan, sebagaimana yang terjadi dalam sistem ekonomi
kapitalis.
Transaksi
ijarah juga tidak berhubungan dengan
hak-hak politik warganegara, karena transaksi ini melibatkan ajîr dan musta’jir, serta memfokuskannya hanya pada
manfaat yang dikeluarkan dan harga atas manfaat (upah). Jadi, tidak dapat
disamakan hubungannya seperti antara rakyat dengan penguasa. Sehingga tidak
dibenarkan dan tidak pernah ada faktanya dalam Islam memasukkan hak-hak
berbicara, berkumpul, dan berserikat dalam transaksi perburuhan, apalagi
memasukkan isu tentang penerapan HAM. Sebab persoalan-persoalan ini sudah
dijamin kesempatan dan pelaksanaannya dalam sistem Islam bagi seluruh kaum
Muslim.
Oleh
karena itu setiap orang yang sudah menyetujui transaksi ijarah, baik ia sebagai ajîr (buruh)
maupun musta’jir
(majikan) wajib mentaati dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Karena
menepati dan menetapi perjanjian (akad) di dalam Islam itu termasuk kewajiban
yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Melalaikan kewajiban itu merupakan dosa
besar dan kesalahan yang patut diganjar dengan sanksi atau hukuman yang berat.
Maka kewajiban ajîr (buruh) adalah
bekerja sesuai dengan bentuk pekerjaan yang disepakati dengan musta’jir,
menepati waktu kerja (jam kerja dalam sehari, hari dalam seminggu dan
sebagainya), termasuk masa berlakunya kontrak tersebut. Dan kewajiban musta’jir
adalah memberinya upah sesuai besarnya dengan kesepakatan kedua belah
pihak, tepat pada waktunya, tanpa ditunda-tunda lagi. Kelalaian secara sengaja
dari musta’jir,
akan menyeret mereka ke dalam peradilan Islam. Dan peradilan Islam dapat
memaksa musta’jir
untuk membayar upah.
Dengan
demikian, jika sistem perburuhan Islam ini diterapkan (karena memang
hukum-hukumnya jelas, termasuk jika terdapat perselisihan), maka tidak akan
pernah dijumpai persoalan perburuhan, yang saat ini sudah menyeret-nyeret unsur
politik dan hak-hak buruh sebagai warga negara. Tidak akan ada pemogokan buruh,
karena semuanya merujuk pada transaksi perorangan yang telah disepakati oleh ajir dan musta’jir sebelumnya. Bila buruh tetap
melakukan pemogokan untuk menekan dan memaksa musta’jir membayar upah lebih banyak dari yang
disepakati dalam transaksi, hal itu berarti pengkhianatan terhadap akad, yang
dikecam oleh Islam, dan pelakunya berhak memperoleh sanksi yang berat. Firman
Allah Swt:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (TQS.
al-Maidah [5]: 1)
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ
تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (TQS. al-Anfal [8]: 27)
Lalu,
apakah kita tetap akan mempertahankan diri dengan sistem jahiliah yang tidak
menerapkan sistem perburuhan Islam (yang adil), sistem yang hanya menghasilkan
kegelisahan, kerakusan, kesewenang-wenangan, dan kerusakan. Atau umat ingin
meraih kemuliaan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun akhirat dengan
memahami dan menerapkan sistem Islam, termasuk dalam perkara perburuhan ? Pilihan itu ada pada kaum
muslimin sendiri ! Firman Allah Swt:
]إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا
مَا بِأَنْفُسِهِمْ[
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan
suatu kaum, hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (TQS.
ar-Ra’d
[13]: 11)
0 Response to "Pandangan ISLAM terkait PEMOGOKAN BURUH"
Post a Comment