-->

Ulama dan Sultan Tak Bisa Dipisahkan



ISLAMISASI kerajaan di Nusantara adalah bukti kesuksesan dan perjuangan ulama yang pada masa itu memberi pengaruh dan warna pada hukum dan ketatanegaraan kerajaan. Sebagai contoh, Kesultanan Islam Demak. Di Kesultanan itu telah hadir lembaga-lembaga negara yang digagas para ulama.

Sebut saja Sunan Ampel dan Sunan Giri yang menyiapkan soal perdata, adat istiadat, pernikahan dan muamalah. Kemudian, Sunan Kudus (Ja’far Siddiq) yang menyiapkan aturan jinayah dan siyasah (kriminalitas dan politik) yang di dalamnya terkandung imamah, qishash, ta’dzir, termasuk perkara zina.

Perjalanan panjang hukum Islam, pernah dialami pada masa Kesultanan Islam pada masa itu. Di antaranya, Kerajaan Samudra Pasai, telah menjadi pusat pengembangan ajaran Islam dan menjadi inspirasi untuk kerajaan Islam lainnya.

Sultan Kerajaan Samudera Pasai, Malikul Zahir dikenal sebagai ahli hukum Islam. Kerajaan Malaka (1400-1500 M) bahkan kerap meminta pendapat olehnya tentang suatu permasalahan agama.

Kerajaan Mataram di masa Sultan Agung berkuasa, juga memberlakukan hukum Islam, seperti hukum qishas. Kemudian, kerajaan Cirebon di Pesisir sebelah Utara Jawa, hukum Islam diterapkan dalam masalah kekeluargaan. pengadilan agama yang mengadili perkara subversif.

Begitu juga di kerajaan Banjar, Kalimantan Selatan, hukum Islam telah merubah adat dan kebudayaan jahiliyah masyarakat sebelumnya. Nilai-nilai adat pun telah dipengaruhi oleh ajaran Islam. Di saat itu kerajaan Banjar telah mengalami perkembangan pesat. Tidaklah heran, terdapat banyak Qadi atau Mufti yang bertugas menangani masalah yang berkenan dengan hukum keluarga dan perkawinan. Selain itu Qadi juga menangani perkara pidana yang lebih dikenal dengan istilah Had.

Keberadaan Sultan di banjar tidak semata dipandang sebagai pemegang kekuasan, tetapi dianggap sebagai Ulil Amri di seluruh kerajaan. Pangeran Antasari keturunan bangsawan yang terkenal gigih itu juga berjasa dalam menyebarkan dakwah Islam di Banjar dan sekitarnya, hingga ia diberi gelar Khalifatul Mukminin.

Kerajaan Islam Demak yang memisahkan diri dari kerajaan Majapahit di masa Raden Patah yang Islam (anak dari Prabu Brawijaya V) telah menebarkan kekuasaannya di sepanjang pantai Demak, dan disana hadir sebuah Bandar (kota dan pelabuhan) yang ramai dan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.


Bahkan perlawanan Pangeran Diponogoro terhadap Belanda (1825-1830 M) bertujuan agar hukum Islam diberlakukan kembali kepada orang Jawa. Eksistensi hukum Islam sebagaimana disampaikan oleh peneliti Belanda Lodewijk Williem Christian Van de Berg, telah diakui Belanda dengan adanya Regering Reglemen 1885.

Ada keterkaitan erat antara keberadaan sebuah kerajaan atau kesultanan dengan kehadiran seorang ulama di lingkungan Istana Kerajaan. Dengan demikian, hubungan raja atau sultan dengan ulama telah terbina dengan baik dari kerajaan itu.

Peran Sentral Ulama

Hadirnya seorang ulama di sisi raja berfungsi sebagai tempat meminta fatwa atau pendapat  atau nasihat agama. Keberadaan ulama disisi raja sangat kuat, lantara ulama diangkat sebagai Mufti kerajaan. Sehingga sangat beralasan, jika keberadaan ulama di lingkungan istana mempermudah penyebaran dakwah Islam melalui kerajaan tadi, yang pada gilirannya masyarakat memilih Islam sebagai agamanya.

Hubungan ulama dengan raja dalam sebuah kerajaan atau kesultanan, ibara dua sisi keeping mata uang yang saling mengikat. Itulah sebabnya peran ulama begitu penting untuk memberi pengaruh Islam pada kerajaan.

Inilah rahasia Allah, kenapa raja-raja yang semula beragama Hindu, Budha atau Animisme, kemudian ramai memeluk agama Islam dan Allah mengganti generasi kerajaan itu dengan raja-raja yang alim dan baik.

Jika menengok sejarah, peran sultan dan ulama adalah pelaku yang paling gigih mengusir penjajah dari daerah kekuasaannya dengan slogan jihadnya, hidup mulia atau mati syahid.

Semisal ketika Portugis menyerang Malaka (dibawah Sultan Mahmud Syah) dan menaklukkan kerajaan Islam Nusantara (tahun 1511 M), Kerajaan Islam Demak mengutus pasukan yang dipimpin oleh Adipati Unus, putera tertua Raden Patah, untuk menyerang Portugis ke Malaka. Karena dikhawatirkan akan mempengaruhi Selata Malaka di kemudian hari. Sementara itu disaat bersamaan Raja Hindu Majapahit yang ada di Jenggala melakukan kerjasama dengan Portugis untuk menghadapi kerajaan Islam Demak.

Kerajaan Hindu lain yang turut bekerjasama dengan Portugis adalah Kerajaan Padjajaran, dengan menawarkan kesempatan kepada Portugis untuk mendirikan pangkalan dagangnya di Sunda Kelapa. Karena daerah itu masih di bawah kekuasaan kerajaan Islam Demak.

Kemudian Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) pada 1522 M menyerang Portugis di Sunda Kelapa, hingga mampu mengusirnya. Kerajaan Hindu Padjajaran pun dihukum oleh Kerajaan Islam Demak dengan menaklukannya tahun 1526 M.

Belajar dari sejarah, seharusnya ulama tak boleh ada jarak dengan pemerintah yang berkuasa. Mendekatikanya untuk mendakwahi, bukan mencari jabatan. Dengan pendekatan ulama ini, semoga sang penguasa mau berubah. Retorika dakwah ulama seyogianya menyentuh hati pengambil kebijakan agar terwujud negeri yang dilandasi tauhid, aman, sejahtera, adil dan makmur.(Islampos).

0 Response to "Ulama dan Sultan Tak Bisa Dipisahkan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close