Negeri Kaya Rempah Tapi Impor Cengkeh dan Lada... Apanya Yang Salah?
Dakwah Media - “Negeri Kaya Rempah Tapi Impor Cengkeh dan Lada”. Begitulah judul berita yang saya baca pagi ini (16/03) di portal DetikFinance. Agaknya berita tersebut membuat saya sebagai anak negeri menjadi malu dan mulai berfikir, mengapa ini bisa terjadi? Bukankah Indonesia sudah sejak lama terkenal sebagai penghasil rempah-rempah dunia. Bahkan, jika mau jujur kedatangan bangsa eropa di abad pertengahan ke Indonesia juga dipicu oleh pencarian rempah-rempah. Hingga akhirnya mereka sampai di Indonesia dan menjajah Indonesia. Negeri kaya rempah tapi ngimpor cengkeh dan lada. Kiranya, hal itu terjadi bukan karena kita tidak mampu memproduksi. Akan tetapi, ada faktor lain yang menyebabkannya.
Sejumlah rempah-rempah rupanya masih bergantung pada impor, seperti cengkeh dan lada. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Kamis (16/3/2017), impor cengkeh pada Januari-Februari 2017 tercatat sebesar 781 ton dengan nilai US$ 6,12 juta. Impor tersebut paling banyak berasal dari Madagaskar dengan volume 538 ton (US$ 4,2 juta), disusul Komoro sebanyak 194 ton (US$ 1,54 juta), dan Tanzania sebanyak 49 ton (US$ 371 ribu).
(Detik.com 16/3/2017, https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-3448151/ironi-ri-negeri-kaya-rempah-tapi-impor-cengkeh-dan-lada?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C2802746162 )
Bukan hanya soal cengkeh dan lada saja. Di tahun 2017 ini kita juga dibuat pusing untuk urusan dapur. Mahalnya harga cabai membuat kita pusing seribu keliling. Dan buntut dari terjadinya hal tersebut adalah satu kata, yakni impor cabai. Padahal kalo mau jujur hal seperti ini selalu terjadi hampir di setiap tahun, tidak adakah cara yang paling tepat untuk memaksimalkan produksi dalam negeri dan men-stop impor. Untuk urusan impor cabe BPS mencatat, ada sekitar 8.048 ton cabai kering yang masuk di sepanjang periode Januari-Februari 2017 dengan nilai US$ 10,26 juta. (Detik.com, 16/03/2017). Ini belum lagi impor-impor kebutuhan rumah tangga yang lain seperti impor minyak goreng, impor daging sapi, kemudian impor garam, impor beras, dll. Lha, kalo semua kebutuhan pangan saja sampai ngimpor. Apa jadinya masa depan Indonesia kita dimasa mendatang?
Sejenak saya kembali berfikir, bukannya Indonesia di karuniai wilayah yang luas dan subur. Kemudian, SDM kita juga manusia-manusia pekerja keras. Bahkan para petani kita sudah berangkat ke sawah jauh sebelum matahari terbit. Lantas mengapa soal kebutuhan dapur kita masih saja impor. Tidakkah kita bisa mandiri sendiri dan tidak tergantung asing?
Latar Belakang
Harus dipahami kembali bahwa sekarang kita berada di era globalisasi. Semua negara berkompetisi untuk memecah kejenuhan pasar. Mereka melakukan konsolidasi di dalam negerinya dengan baik demi menambah pangsa pasar baru bagi produk-produk mereka. Adanya perdagangan pasar bebas semacam MEA, AFTA, dan yang sejenisnya adalah sebuah indikasi untuk menunjukkan hal-hal tersebut. Maka, saat perdagangan bebas benar-benar terwujud mereka sangat siap menatapnya. Saat ini, dunia berada di alam aturan para kapitalis, liberal. Sehingga, pihak asing tidak akan membiarkan begitu saja suatu negeri melakukan konsolidasi politik menjadi sebuah negara independen. Mereka tidak akan membiarkan suatu negeri begitu saja menjadi sebuah negara mandiri. Yang tidak bergantung dengan negara lain. Sebab, jika ini terjadi maka bisa menyulitkan mereka dalam mencari pangsa pasar baru.
Indonesia memiliki daya tarik yang luar biasa dengan wilayahnya yang sangat luas serta memiliki SDM yang melimpah. Sangat cocok dijadikan pangsa pasar untuk memasarkan produk-produk mereka. Terlebih, daya saing produk-produk dalam negeri Indonesia (dengan berbagi faktor pemicunya) yang masih lemah jika harus bersaing dengan produk asing. Kemudian di perparah kebijakan Pemerintah yang senantiasa mengikuti arahan dan intruksi asing. Untuk menghilangkan setiap hambatan yang menghalangi barang impor masuk, diantaranya dihapuskannya subsidi BBM. Sebagai konsekwensi atas perjanjian-perjanjian yang ditandatangani Pemerintah dengan pihak asing. Maka, kesalahan di dalam membuat regulasi kebijakan akan berdampak pada terpuruknya Indonesia di dalam percaturan dunia. Yang berujung dengan semakin tergantungnya Indonesia kepada asing. Lantas akan mendorong asing untuk menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar baru yang menjanjikan.
Penyebab Utamanya
Semua hal ini terjadi secara sistemik dan akan sulit diatasi jika solusinya adalah parsial. Sebab, hal itu akan senantiasa menumbuhkan masalah-masalah baru bermunculan. Solusi tambal sulam justru akan semakin menambah keruwetan demi keruwetan berikutnya. Masalah yang sistemik hanya bisa di selesaikan dengan solusi yang sistemik pula.
Salah langka di dalam mengambil kebijakan adalah bunuh diri. Saat semua negara melakukan konsolidasi dan telah benar-benar siap dalam pertempuran di pasar bebas. Kita masih saja berkutak dalam kubangan yang sama. Kebijakan yang diambil tak bisa serta merta ditujukan demi kemaslahatan rakyat. Akan tetapi setiap kebijakan harus melalui berbagai macam mekanisme yang ruwet. Lagi-lagi deal-deal politik sangat mempengaruhi hal ini. Maklum saja, biaya mahal sangat diperlukan untuk menjadi seorang penguasa. Dan mahalnya proses demokrasi ini di lirik dengan baik oleh para kapitalis. Mereka menyuntikkan modalnya kepada setiap individu yang mau maju dalam pemilu. Baik melalui individu atau perusahaan, mereka menyuntikkan dananya untuk biaya kampanye. Saat setelah menang pemilu dan berkuasa para kapitalis tadipun akan menagih untuk balik modal. Modal itupun dituntut untuk dikembalikan plus disertai dengan keuntungannya. Sehingga, di dalam mengatur regulasi produksi hingga distribusi pemerintah akan kesulitan untuk melakukannya dengan baik. Mereka tersandra oleh lawan politik dan para kapitalis. Demokrasi memang mahal, tetapi tak selaras dengan apa yang didapatkan. Kesejahteraan hanyalah sebuah bualan saat pemilu tiba. Rakyat hanya diperhatikan saat pemilu saja, giliran membuat kebijakan mereka seringkali dirugikan.
Dahulu, Indonesia adalah surganya rempah-rempah. Orang-orang barat berlomba mencarinya hingga pelosok bumi ibu pertiwi untuk mendapatkannya. Kita adalah negeri yang kaya akan rempah, lantas mengapa kita ngimpor cengkeh dan lada? Bukan tidak mungkin hal itu juga akal-akalan oknum tertentu untuk mendapatkan sejumlah uang lewat fee impor. Sebagaimana di dalam gonjang-ganjing kasus e-ktp, banyak pihak yang dikatakan memperoleh fee di dalam proyek e-ktp. Maka, saat negeri kaya rempah mengimpor cengkeh dan lada. Permainan yang sama mungkin saja telah terjadi. Selain itu, bisa juga hal ini disebabkan karena produksi cengkeh dan lada yang terus menurun. Dan menurunnya produksi sangat dipengaruhi oleh setiap kebijakan yang diambil. Dan setiap kebijakan yang diambil penguasa. Tak bisa lepas begitu saja dari proses bagaimana mereka berkuasa. Sehingga, demokrasi adalah biang keladi dari carut-marutnya pengelolaan negeri ini. Di terapkannya demokrasi telah ikut serta membuat andil negeri yang kaya rempah-rempah ngimpor rempah-rempah.
Solusi Tuntas
Indonesia kita cintai ini harus segera diselamatkan. Ketergantungan terhadap asing harus dihapuskan. Kemandirian harus diwujudkan. Kesalahan dalam pengelolaan tidak boleh lagi terjadi. Semua potensi baik, SDA maupun SDM harus dikelola dan di atur semaksimal mungkin dengan cara yang benar dan sesuai dengan syariah. Dan semua hal ini adalah tanggung jawab kita, umat Islam, tanpa kecuali.
Umat harus sadar, mereka bukan saja di tuntut untuk bisa hidup layak dan sejahterah. Akan tetapi, juga harus dalam koridor ketaatan kepada Allah SWT. Maka, Cara terbaik untuk mengelola negeri ini adalah dengan cara islam. Menerapkan Islam sebagai sebuah sistem hidup, insyaallah hidup layak dan kesejahteraan akan selaras dan mengikutinya. Dalam hal ini Allah SWT telah mengingatkan kita,
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al Baqarah; 208).
Islam dengan seperangkat aturannya telah menetapkan aturan terkait dengan harta kekayaan. Mulai dari produksi sampai distribusinya. Sehingga, jika jalur produksi sampai distribusi tidak diatur sesuai syariah. Maka, kelangkaan barang di pasar akan senantiasa sering terjadi. Permainan harga oleh para cukong-cukong kapitalis akan terus dipermainkan. Dan solusi impor akan terus saja muncul jika harga kebutuhan mulai merangkak naik. Sehingga, jelaslah sudah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis liberal sebagai dampak diterapkannya demokrasi. Agaknya telah membuat kita melalaikan aturan-aturan ilahi di dalam mengatur sendi-sendi perekonomian. Maka dari itu, demokrasi harus segera dicampakkan. Sehingga, semua potensi sumberdaya yang dimiliki. Bisa diatur dengan baik dan benar serta sesuai syariah islam. Dan sebagai akibat dari di terapkannya syariah islam secara totalitas maka, keberkahan akan senantiasa menaungi umat islam dan kaum muslimin.
Khatimah
Wahai umat islam, kalian adalah umat terbaik yang yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Sebagaimana di sebutkan di dalam QS. Al Imran;110 :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah“
Tidakkah, kita memahami bahwa umat terbaik tidak boleh tergantung kepada asing? Kita harus mandiri, kita harus independen. Tidak boleh tergantung asing. Dan kita memiliki semua potensi untuk menjadikan diri kita sebagai umat terhebat. Jika, untuk hal sepele seperti urusan dapur saja kita masih ngimpor. Lantas, bagaimana dengan yang lain. Pasti akan sulit untuk mewujudkan kemandirian. Untuk itu, mari kita kembali kepada islam. Sebagai solusi tuntas atas semua problematika kehidupan. Menerapkan syariah dalam bingkai Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Agar kita bisa mandiri, makmur, sejahterah dan tentunya di ridhoi oleh Allah SWT. Wallahu’alam bish shawab
Oleh: Aziz Rohman
Related
Bukan hanya soal cengkeh dan lada saja. Di tahun 2017 ini kita juga dibuat pusing untuk urusan dapur. Mahalnya harga cabai membuat kita pusing seribu keliling. Dan buntut dari terjadinya hal tersebut adalah satu kata, yakni impor cabai. Padahal kalo mau jujur hal seperti ini selalu terjadi hampir di setiap tahun, tidak adakah cara yang paling tepat untuk memaksimalkan produksi dalam negeri dan men-stop impor. Untuk urusan impor cabe BPS mencatat, ada sekitar 8.048 ton cabai kering yang masuk di sepanjang periode Januari-Februari 2017 dengan nilai US$ 10,26 juta. (Detik.com, 16/03/2017). Ini belum lagi impor-impor kebutuhan rumah tangga yang lain seperti impor minyak goreng, impor daging sapi, kemudian impor garam, impor beras, dll. Lha, kalo semua kebutuhan pangan saja sampai ngimpor. Apa jadinya masa depan Indonesia kita dimasa mendatang?
Sejenak saya kembali berfikir, bukannya Indonesia di karuniai wilayah yang luas dan subur. Kemudian, SDM kita juga manusia-manusia pekerja keras. Bahkan para petani kita sudah berangkat ke sawah jauh sebelum matahari terbit. Lantas mengapa soal kebutuhan dapur kita masih saja impor. Tidakkah kita bisa mandiri sendiri dan tidak tergantung asing?
Latar Belakang
Indonesia memiliki daya tarik yang luar biasa dengan wilayahnya yang sangat luas serta memiliki SDM yang melimpah. Sangat cocok dijadikan pangsa pasar untuk memasarkan produk-produk mereka. Terlebih, daya saing produk-produk dalam negeri Indonesia (dengan berbagi faktor pemicunya) yang masih lemah jika harus bersaing dengan produk asing. Kemudian di perparah kebijakan Pemerintah yang senantiasa mengikuti arahan dan intruksi asing. Untuk menghilangkan setiap hambatan yang menghalangi barang impor masuk, diantaranya dihapuskannya subsidi BBM. Sebagai konsekwensi atas perjanjian-perjanjian yang ditandatangani Pemerintah dengan pihak asing. Maka, kesalahan di dalam membuat regulasi kebijakan akan berdampak pada terpuruknya Indonesia di dalam percaturan dunia. Yang berujung dengan semakin tergantungnya Indonesia kepada asing. Lantas akan mendorong asing untuk menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar baru yang menjanjikan.
Penyebab Utamanya
Semua hal ini terjadi secara sistemik dan akan sulit diatasi jika solusinya adalah parsial. Sebab, hal itu akan senantiasa menumbuhkan masalah-masalah baru bermunculan. Solusi tambal sulam justru akan semakin menambah keruwetan demi keruwetan berikutnya. Masalah yang sistemik hanya bisa di selesaikan dengan solusi yang sistemik pula.
Salah langka di dalam mengambil kebijakan adalah bunuh diri. Saat semua negara melakukan konsolidasi dan telah benar-benar siap dalam pertempuran di pasar bebas. Kita masih saja berkutak dalam kubangan yang sama. Kebijakan yang diambil tak bisa serta merta ditujukan demi kemaslahatan rakyat. Akan tetapi setiap kebijakan harus melalui berbagai macam mekanisme yang ruwet. Lagi-lagi deal-deal politik sangat mempengaruhi hal ini. Maklum saja, biaya mahal sangat diperlukan untuk menjadi seorang penguasa. Dan mahalnya proses demokrasi ini di lirik dengan baik oleh para kapitalis. Mereka menyuntikkan modalnya kepada setiap individu yang mau maju dalam pemilu. Baik melalui individu atau perusahaan, mereka menyuntikkan dananya untuk biaya kampanye. Saat setelah menang pemilu dan berkuasa para kapitalis tadipun akan menagih untuk balik modal. Modal itupun dituntut untuk dikembalikan plus disertai dengan keuntungannya. Sehingga, di dalam mengatur regulasi produksi hingga distribusi pemerintah akan kesulitan untuk melakukannya dengan baik. Mereka tersandra oleh lawan politik dan para kapitalis. Demokrasi memang mahal, tetapi tak selaras dengan apa yang didapatkan. Kesejahteraan hanyalah sebuah bualan saat pemilu tiba. Rakyat hanya diperhatikan saat pemilu saja, giliran membuat kebijakan mereka seringkali dirugikan.
Dahulu, Indonesia adalah surganya rempah-rempah. Orang-orang barat berlomba mencarinya hingga pelosok bumi ibu pertiwi untuk mendapatkannya. Kita adalah negeri yang kaya akan rempah, lantas mengapa kita ngimpor cengkeh dan lada? Bukan tidak mungkin hal itu juga akal-akalan oknum tertentu untuk mendapatkan sejumlah uang lewat fee impor. Sebagaimana di dalam gonjang-ganjing kasus e-ktp, banyak pihak yang dikatakan memperoleh fee di dalam proyek e-ktp. Maka, saat negeri kaya rempah mengimpor cengkeh dan lada. Permainan yang sama mungkin saja telah terjadi. Selain itu, bisa juga hal ini disebabkan karena produksi cengkeh dan lada yang terus menurun. Dan menurunnya produksi sangat dipengaruhi oleh setiap kebijakan yang diambil. Dan setiap kebijakan yang diambil penguasa. Tak bisa lepas begitu saja dari proses bagaimana mereka berkuasa. Sehingga, demokrasi adalah biang keladi dari carut-marutnya pengelolaan negeri ini. Di terapkannya demokrasi telah ikut serta membuat andil negeri yang kaya rempah-rempah ngimpor rempah-rempah.
Solusi Tuntas
Indonesia kita cintai ini harus segera diselamatkan. Ketergantungan terhadap asing harus dihapuskan. Kemandirian harus diwujudkan. Kesalahan dalam pengelolaan tidak boleh lagi terjadi. Semua potensi baik, SDA maupun SDM harus dikelola dan di atur semaksimal mungkin dengan cara yang benar dan sesuai dengan syariah. Dan semua hal ini adalah tanggung jawab kita, umat Islam, tanpa kecuali.
Umat harus sadar, mereka bukan saja di tuntut untuk bisa hidup layak dan sejahterah. Akan tetapi, juga harus dalam koridor ketaatan kepada Allah SWT. Maka, Cara terbaik untuk mengelola negeri ini adalah dengan cara islam. Menerapkan Islam sebagai sebuah sistem hidup, insyaallah hidup layak dan kesejahteraan akan selaras dan mengikutinya. Dalam hal ini Allah SWT telah mengingatkan kita,
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al Baqarah; 208).
Islam dengan seperangkat aturannya telah menetapkan aturan terkait dengan harta kekayaan. Mulai dari produksi sampai distribusinya. Sehingga, jika jalur produksi sampai distribusi tidak diatur sesuai syariah. Maka, kelangkaan barang di pasar akan senantiasa sering terjadi. Permainan harga oleh para cukong-cukong kapitalis akan terus dipermainkan. Dan solusi impor akan terus saja muncul jika harga kebutuhan mulai merangkak naik. Sehingga, jelaslah sudah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis liberal sebagai dampak diterapkannya demokrasi. Agaknya telah membuat kita melalaikan aturan-aturan ilahi di dalam mengatur sendi-sendi perekonomian. Maka dari itu, demokrasi harus segera dicampakkan. Sehingga, semua potensi sumberdaya yang dimiliki. Bisa diatur dengan baik dan benar serta sesuai syariah islam. Dan sebagai akibat dari di terapkannya syariah islam secara totalitas maka, keberkahan akan senantiasa menaungi umat islam dan kaum muslimin.
Khatimah
Wahai umat islam, kalian adalah umat terbaik yang yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Sebagaimana di sebutkan di dalam QS. Al Imran;110 :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah“
Tidakkah, kita memahami bahwa umat terbaik tidak boleh tergantung kepada asing? Kita harus mandiri, kita harus independen. Tidak boleh tergantung asing. Dan kita memiliki semua potensi untuk menjadikan diri kita sebagai umat terhebat. Jika, untuk hal sepele seperti urusan dapur saja kita masih ngimpor. Lantas, bagaimana dengan yang lain. Pasti akan sulit untuk mewujudkan kemandirian. Untuk itu, mari kita kembali kepada islam. Sebagai solusi tuntas atas semua problematika kehidupan. Menerapkan syariah dalam bingkai Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Agar kita bisa mandiri, makmur, sejahterah dan tentunya di ridhoi oleh Allah SWT. Wallahu’alam bish shawab
Oleh: Aziz Rohman
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Negeri Kaya Rempah Tapi Impor Cengkeh dan Lada... Apanya Yang Salah?"
Post a Comment