Rencana Kedatangan Mike Pence (Wapres AS) : Apa Untungnya Indonesia Bergandengan Tangan dengan AS?
Dakwah Media - Pemerintah Indonesia akan memanfaatkan kedatangan Wakil Presiden Amerika Serikat, Mike Pence, pada 20 April, untuk menyelidiki pengaruh dari kebijakan yang telah dijalankan. AS tentu betul-betul memanfaatkan kunjungan tersebut untuk lebih mendominasi negeri ini khususnya di sektor pengelolaan SDA, finansial (perbankan, asuransi, dsb), jasa, consumer good, dan sebagainya. Masih ada satu sektor yang belum dijarah oleh Barat, yaitu infrastruktur dan fasilitas publik. Namun, dengan berbagai UU, sektor infrastruktur itu pun terbuka luas dan mudah dijadikan incaran.
Kunjungan tersebut dilakukan di tengah-tengah menguatnya dominasi proyek infrastruktur oleh Tiongkok yang dimasukkan dan dijalankan melalui rezim Jokowi itu akan membuat cengkeraman asing Timur menancap di negeri ini. Cengkeraman oleh Timur itu melengkapi cengkeraman oleh Barat yang sudah lebih dulu menancap kuat dan terus diperdalam.
Kami melihat hubungan RI-AS tidaklah dalam hubungan kemitraan, tapi AS tampak lebih superior dalam mendikte berbagai kebijakan di Indonesia demi mengamankan kepentingan AS sendiri. Siapapun tidak bisa membantah fakta bahwa negeri ini sungguh dikaruniai oleh Allah SWT kekayaan alam yang berlimpah-ruah. Namun sayang, limpahan kekayaan alam itu sampai kini belum dapat dinikmati oleh mayoritas rakyat Indonesia. Meski diliputi oleh limpahan kekayaan alam, puluhan juta rakyat negeri ini tergolong miskin. Mayoritas rakyat di negeri ini justru hidup dalam kondisi yang tertindas dan sengsara. Negeri ini juga dilanda aneka masalah di segala bidang: ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dsb.
Mengikuti arahan AS untuk terus menerus mengadopsi demokrasi tentu bukanlah pilihan yang bijak dan tepat, demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan saat kampanye atau sebelum Pemilu. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah dan bahkan presiden, lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, juga lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti PT Freeport, misanya, adalah bukti nyata bahwa aspirasi rakyat diabaikan dan Pemerintah tunduk pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat. Yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal.
Jelas, landasan sistem negara AS yaitu Sekularisme-Kapitalisme. Dengan sistem tersebut mereka berupaya menjadikan AS sebagai sebuah kekuatan utama di dunia. Landasan ideologis itulah yang mendorong AS saat ini bersikap demikian. Meski ideologi mereka (Kapitalisme-Sekular) merupakan ideologi yang salah dan keliru.
AS dimanapun berada dipastikan ingin menjadi negara berpengaruh. Tak memperdulikan batas-batas dan etika politik internasional. Peristiwa penting apa pun di dunia ini, tak berlepas dari pengaruh AS dan negara yang mengikutinya. Secara mendasar politik luar negeri AS adalah imperialisme (penjajahan) dan menyebarluaskan ideologinya. Penjajahan dilakukan dengan beragam bentuk; meliputi ekonomi, politik, militer, pendidikan, budaya, dan lainnya. Grand strategy ini tidak pernah berubah. Kalaupun berubah hanya pada aplikasi pada level menegah atau bawah.
AS, sebagaimana halnya negara-negara kapitalis, dikuasai oleh para pemilik perusahaan monopoli dan para pengusaha. Mereka itulah yang memiliki pengaruh terhadap politik AS. Adapun politik luar negeri AS adalah politik orang kaya dan para pemilik perusahaan monopoli. Artinya, politik AS adalah politik imperialisme murni, yang tidak mengenal nilai- nilai luhur. Meskipun kadang-kadang politisi AS nampak lugu dan hampir-hampir dungu, namun mereka berpikir secara mendalam yang mengungguli kebanyakan politisi di dunia. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi untuk berubah dengan cepat, kemudian membuat beraneka ragam strategi dan memecahkan masalah. Barangkali ambisi untuk menjajah, di samping pendidikan yang tinggi, berpengaruh terhadap aktivitas politik mereka. Para politisi AS menganggap seluruh dunia adalah ladang bercocok tanam milik mereka. Mereka memandang negara-negara besar lainnya tidak layak untuk mempunyai pengaruh, dan bahwa sekarang negara-negara besar itu harus mundur, keluar, dan rela terhadap keadaan dunia yang ada, yaitu adanya ketundukan terhadap dominasi pihak-pihak yang kuat.
Demokratisasi (termasuk HAM) dan liberalisme ekonomi menjadi dua pilar penting kebijakannya di luar negeri. Semangat AS menyebarluaskan dua pilar tersebut untuk semakin mengokohkan hegemoni di manapun. Intinya demi kepentingan dan keuntungan AS.
AS juga menguasai PBB dan juga segenap badan-badan dunia bentukan PBB. AS juga memiliki dana terbesar di Bank Dunia dan IMF, yang selanjutnya memiliki pengaruh politik yang luas yang menjadi bidang pekerjaan Bank Dunia dan IMF. Demikian pula AS berusaha memperkuat perdagangan dunia melalui politik globalisasi yang menjadi senjata WTO. WTO sebagai salah satu sarananya untuk mengintervensi pasar-pasar lokal dengan dalih tarif bea masuk bersama. Dengan demikian AS berupaya untuk melakukan liberalisasi perdagangan. Dan karena AS mempunyai kekuatan ekonomi yang besar, mempunyai perusahaan multinasional dan transnasional yang paling banyak, AS pun memanfaatkan kedok peraturan yang dikeluarkan oleh WTO untuk kepentingannya dalam rangka membuka pasar-pasar yang nyaris tertutup, atau sulit diintegrasikan dalam perekonomian global terbuka seperti yang dikehendaki.
Kemampuan-kemampuan militer, politik, dan ekonomi yang besar bagi AS ini, membuat AS mengintervensi seluruh negara yang ada di dunia ini. Hal itu juga membuat AS menjadi bagian politik lokal di setiap negara di dunia. Jadi, AS mencoba untuk mengelola politik hegemoni atas politik seluruh dunia tanpa kecuali. Tidak ada bedanya antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang, meskipun beberapa kali hegemoni itu telah gagal. Namun AS terus mencoba untuk melakukan hegemoni. Kalau sudah begini, apa untungnya indonesia bergandengan tangan dengan AS?
Oleh: Ainun Dawaun Nufus (Pengamat Sospol)
Kunjungan tersebut dilakukan di tengah-tengah menguatnya dominasi proyek infrastruktur oleh Tiongkok yang dimasukkan dan dijalankan melalui rezim Jokowi itu akan membuat cengkeraman asing Timur menancap di negeri ini. Cengkeraman oleh Timur itu melengkapi cengkeraman oleh Barat yang sudah lebih dulu menancap kuat dan terus diperdalam.
Kami melihat hubungan RI-AS tidaklah dalam hubungan kemitraan, tapi AS tampak lebih superior dalam mendikte berbagai kebijakan di Indonesia demi mengamankan kepentingan AS sendiri. Siapapun tidak bisa membantah fakta bahwa negeri ini sungguh dikaruniai oleh Allah SWT kekayaan alam yang berlimpah-ruah. Namun sayang, limpahan kekayaan alam itu sampai kini belum dapat dinikmati oleh mayoritas rakyat Indonesia. Meski diliputi oleh limpahan kekayaan alam, puluhan juta rakyat negeri ini tergolong miskin. Mayoritas rakyat di negeri ini justru hidup dalam kondisi yang tertindas dan sengsara. Negeri ini juga dilanda aneka masalah di segala bidang: ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dsb.
Mengikuti arahan AS untuk terus menerus mengadopsi demokrasi tentu bukanlah pilihan yang bijak dan tepat, demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan saat kampanye atau sebelum Pemilu. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah dan bahkan presiden, lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, juga lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti PT Freeport, misanya, adalah bukti nyata bahwa aspirasi rakyat diabaikan dan Pemerintah tunduk pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat. Yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal.
Jelas, landasan sistem negara AS yaitu Sekularisme-Kapitalisme. Dengan sistem tersebut mereka berupaya menjadikan AS sebagai sebuah kekuatan utama di dunia. Landasan ideologis itulah yang mendorong AS saat ini bersikap demikian. Meski ideologi mereka (Kapitalisme-Sekular) merupakan ideologi yang salah dan keliru.
AS dimanapun berada dipastikan ingin menjadi negara berpengaruh. Tak memperdulikan batas-batas dan etika politik internasional. Peristiwa penting apa pun di dunia ini, tak berlepas dari pengaruh AS dan negara yang mengikutinya. Secara mendasar politik luar negeri AS adalah imperialisme (penjajahan) dan menyebarluaskan ideologinya. Penjajahan dilakukan dengan beragam bentuk; meliputi ekonomi, politik, militer, pendidikan, budaya, dan lainnya. Grand strategy ini tidak pernah berubah. Kalaupun berubah hanya pada aplikasi pada level menegah atau bawah.
AS, sebagaimana halnya negara-negara kapitalis, dikuasai oleh para pemilik perusahaan monopoli dan para pengusaha. Mereka itulah yang memiliki pengaruh terhadap politik AS. Adapun politik luar negeri AS adalah politik orang kaya dan para pemilik perusahaan monopoli. Artinya, politik AS adalah politik imperialisme murni, yang tidak mengenal nilai- nilai luhur. Meskipun kadang-kadang politisi AS nampak lugu dan hampir-hampir dungu, namun mereka berpikir secara mendalam yang mengungguli kebanyakan politisi di dunia. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi untuk berubah dengan cepat, kemudian membuat beraneka ragam strategi dan memecahkan masalah. Barangkali ambisi untuk menjajah, di samping pendidikan yang tinggi, berpengaruh terhadap aktivitas politik mereka. Para politisi AS menganggap seluruh dunia adalah ladang bercocok tanam milik mereka. Mereka memandang negara-negara besar lainnya tidak layak untuk mempunyai pengaruh, dan bahwa sekarang negara-negara besar itu harus mundur, keluar, dan rela terhadap keadaan dunia yang ada, yaitu adanya ketundukan terhadap dominasi pihak-pihak yang kuat.
Demokratisasi (termasuk HAM) dan liberalisme ekonomi menjadi dua pilar penting kebijakannya di luar negeri. Semangat AS menyebarluaskan dua pilar tersebut untuk semakin mengokohkan hegemoni di manapun. Intinya demi kepentingan dan keuntungan AS.
AS juga menguasai PBB dan juga segenap badan-badan dunia bentukan PBB. AS juga memiliki dana terbesar di Bank Dunia dan IMF, yang selanjutnya memiliki pengaruh politik yang luas yang menjadi bidang pekerjaan Bank Dunia dan IMF. Demikian pula AS berusaha memperkuat perdagangan dunia melalui politik globalisasi yang menjadi senjata WTO. WTO sebagai salah satu sarananya untuk mengintervensi pasar-pasar lokal dengan dalih tarif bea masuk bersama. Dengan demikian AS berupaya untuk melakukan liberalisasi perdagangan. Dan karena AS mempunyai kekuatan ekonomi yang besar, mempunyai perusahaan multinasional dan transnasional yang paling banyak, AS pun memanfaatkan kedok peraturan yang dikeluarkan oleh WTO untuk kepentingannya dalam rangka membuka pasar-pasar yang nyaris tertutup, atau sulit diintegrasikan dalam perekonomian global terbuka seperti yang dikehendaki.
Kemampuan-kemampuan militer, politik, dan ekonomi yang besar bagi AS ini, membuat AS mengintervensi seluruh negara yang ada di dunia ini. Hal itu juga membuat AS menjadi bagian politik lokal di setiap negara di dunia. Jadi, AS mencoba untuk mengelola politik hegemoni atas politik seluruh dunia tanpa kecuali. Tidak ada bedanya antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang, meskipun beberapa kali hegemoni itu telah gagal. Namun AS terus mencoba untuk melakukan hegemoni. Kalau sudah begini, apa untungnya indonesia bergandengan tangan dengan AS?
Oleh: Ainun Dawaun Nufus (Pengamat Sospol)
0 Response to "Rencana Kedatangan Mike Pence (Wapres AS) : Apa Untungnya Indonesia Bergandengan Tangan dengan AS?"
Post a Comment