Damai dalam ‘Perbedaan’
Dakwah Media - Belakangan ini banyak suara-suara sumbang yang membenturkan antara Islam dengan Bhineka Tunggal Ika. Mereka menganggap bahwa agama islam sebagai agama radikal yang tidak mengenal perbedaan multikultural. Mereka juga menyebutkan bahwa islam anti kebhinekaan. Perlu kita pahami bersama, bahwa persatuan bangsa dan perbedaan memang harus dijunjung tinggi.
Sungguh disayangkan, dewasa ini makna kebhinekaan oleh orang-orang liberal dan sekuler diarahkan pada pluralisme. Islam memang agama pluralitas namun bukan berarti menjadi agama yang pluralisme, menganggab perbedaan sebagai asas tertinggi dan menganggab semua agama itu sama serta asas kebenaran yang relatif. Sehingga tidak heran jika makna tersebut dijadikan dalih sebagai alat untuk menyerang hak toleransi umat islam.
Sementara, berbeda dengan pluralitas, pluralisme adalah paham yang menempatkan keragaman sebagai nilai paling tinggi dalam masyarakat. Pluralisme agama adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Agama apapun dalam pandangan paham ini hanyalah merupakan jalan yang berbeda untuk menuju titik kebenaran yang sama (other way to the same truth). Karena itu, tidak boleh ada klaim kebenaran atau truth claim dari agama manapun bahwa agama itulah yang paling benar, dan juga tidak boleh ada klaim keselamatan atau truth salvation bahwa hanya bila memeluk agama itu saja umat manusia akan selamat dari siksa neraka. Menurut paham ini, karena agama yang ada hanya jalan yang berbeda menuju titik kebenaran yang sama, maka semua agama pasti akan menghantarkan pemeluknya menuju surga.
Isu pembangunan gereja ini kemudian dipolitisasi oleh kelompok-kelompok liberal untuk mengkampanyekan ide sesat mereka tentang pluralisme yang sudah difatwakan haram oleh MUI. Alasan melindungi pluralisme inilah yang digunakan untuk membenarkan kelompok-kelompok sesat yang menyimpang dari Islam. Sebaliknya, atas nama pluralisme pula mereka menuntut agar ormas-ormas Islam yang mereka cap radikal dibubarkan. Alasan menjaga pluralisme juga digunakan untuk membenarkan pembangunan gereja-gereja tanpa izin. Dengan alasan pluralisme pula, pihak Kristen membenarkan kegiatan misionaris mereka memurtadkan umat Islam. Semua ini menunjukkan memang ide pluralisme sangat berbahaya bagi umat Islam.
Logika minoritas yang ditindas oleh mayoritas juga sangat menyesatkan. Pasalnya, umat Islam yang mayoritas di Indonesia justru menjadi korban dari elit-elit minoritas sekular baik secara ekonomi maupun politik. Dengan kebijakan Kapitalisme, elit-elit minoritas ini menyengsarakan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Kita juga mempertanyakan, mengapa kelompok liberal-sekular yang mengklaim mendukung HAM diam seribu bahasa saat terjadi pembantaian terhadap umat Islam Palestina, Irak dan Afganistan, termasuk diam terhadap pembantaian umat Islam di Ambon dan Poso beberapa waktu lalu? Mereka juga diam terhadap ketika para aktifis dan ulama umat Islam diperlakukan semena-mena atas nama perang melawan terorisme ala Amerika.
Opini SARA dan kebhinekaan semakin kencang bergulir untuk menyerang umat Islam ketika umat islam bersuara lantang terkait keadilan dan hak umat. Setelah itu, secara terang-terangan orang liberal dan sekuler melabeli umat islam sebagai umat yang anti kebhinekaan. Suara-suara menuntut hak menjalankan syariat islam kaffah menjadi doktrinisasi sebagai paham ideologi tertutup, anti kebhinekaan dan radikal. Sekarang kita menyadari bahwa opini terkait kebhinekaan telah dijadikan unsur kepentingan politik. Hal tersebut tidak lain untuk membungkam suara-suara umat muslim yang mencoba meneriakan syiar Islam. Umat Islam dipaksa untuk menerima bentuk kebhinekan dengan asas pluralisme.
Islam telah mengajarkan untuk memberikan jaminan kebebasan beragama. Hal tersebut dibuktikan ketika Rosulullah menjadi nabi sekaligus kepala negara dengan adanya Watsiqah Madinah pada tahun 622, mengatur mengenai toleransi dan kebebasan bagi karagaman hidup antara umat begarama.
Ketika madinah berada pada naungan Islam dengan dijadikanya syariat Islam sebagai supremasi hukum, kehidupan umat antar agama sangat rukun. Rasulullah pernah ditanya oleh sahabatnya untuk memberikan bantuan terhadab seorang yahudi “Apakah kami boleh memberi bantuan kepada kaum Yahudi?” Beliau menjawab, “Boleh, sebab mereka juga makhluk Allah, dan Allah akan menerima sedekah kita.” Dari peristiwa tersebut bukan berarti Rasulullah menerima keimanan akidah mereka, namun sebatas mahkluk sosial yang diperintahkan untuk saling membantu. Maka tidak sewajarnya bahwa islam disebut sebagai agama yang tidak menjunjung tinggi asas kebhinekaan. Namun justru suara kebhinekaan muncul atas perlawan suara-suara islam yang terzholimi untuk menuntut keadilan.
Oleh : Taufik Setia Permana – (Dir. Geopolitical Intitute)
Sungguh disayangkan, dewasa ini makna kebhinekaan oleh orang-orang liberal dan sekuler diarahkan pada pluralisme. Islam memang agama pluralitas namun bukan berarti menjadi agama yang pluralisme, menganggab perbedaan sebagai asas tertinggi dan menganggab semua agama itu sama serta asas kebenaran yang relatif. Sehingga tidak heran jika makna tersebut dijadikan dalih sebagai alat untuk menyerang hak toleransi umat islam.
Sementara, berbeda dengan pluralitas, pluralisme adalah paham yang menempatkan keragaman sebagai nilai paling tinggi dalam masyarakat. Pluralisme agama adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Agama apapun dalam pandangan paham ini hanyalah merupakan jalan yang berbeda untuk menuju titik kebenaran yang sama (other way to the same truth). Karena itu, tidak boleh ada klaim kebenaran atau truth claim dari agama manapun bahwa agama itulah yang paling benar, dan juga tidak boleh ada klaim keselamatan atau truth salvation bahwa hanya bila memeluk agama itu saja umat manusia akan selamat dari siksa neraka. Menurut paham ini, karena agama yang ada hanya jalan yang berbeda menuju titik kebenaran yang sama, maka semua agama pasti akan menghantarkan pemeluknya menuju surga.
Isu pembangunan gereja ini kemudian dipolitisasi oleh kelompok-kelompok liberal untuk mengkampanyekan ide sesat mereka tentang pluralisme yang sudah difatwakan haram oleh MUI. Alasan melindungi pluralisme inilah yang digunakan untuk membenarkan kelompok-kelompok sesat yang menyimpang dari Islam. Sebaliknya, atas nama pluralisme pula mereka menuntut agar ormas-ormas Islam yang mereka cap radikal dibubarkan. Alasan menjaga pluralisme juga digunakan untuk membenarkan pembangunan gereja-gereja tanpa izin. Dengan alasan pluralisme pula, pihak Kristen membenarkan kegiatan misionaris mereka memurtadkan umat Islam. Semua ini menunjukkan memang ide pluralisme sangat berbahaya bagi umat Islam.
Logika minoritas yang ditindas oleh mayoritas juga sangat menyesatkan. Pasalnya, umat Islam yang mayoritas di Indonesia justru menjadi korban dari elit-elit minoritas sekular baik secara ekonomi maupun politik. Dengan kebijakan Kapitalisme, elit-elit minoritas ini menyengsarakan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Kita juga mempertanyakan, mengapa kelompok liberal-sekular yang mengklaim mendukung HAM diam seribu bahasa saat terjadi pembantaian terhadap umat Islam Palestina, Irak dan Afganistan, termasuk diam terhadap pembantaian umat Islam di Ambon dan Poso beberapa waktu lalu? Mereka juga diam terhadap ketika para aktifis dan ulama umat Islam diperlakukan semena-mena atas nama perang melawan terorisme ala Amerika.
Opini SARA dan kebhinekaan semakin kencang bergulir untuk menyerang umat Islam ketika umat islam bersuara lantang terkait keadilan dan hak umat. Setelah itu, secara terang-terangan orang liberal dan sekuler melabeli umat islam sebagai umat yang anti kebhinekaan. Suara-suara menuntut hak menjalankan syariat islam kaffah menjadi doktrinisasi sebagai paham ideologi tertutup, anti kebhinekaan dan radikal. Sekarang kita menyadari bahwa opini terkait kebhinekaan telah dijadikan unsur kepentingan politik. Hal tersebut tidak lain untuk membungkam suara-suara umat muslim yang mencoba meneriakan syiar Islam. Umat Islam dipaksa untuk menerima bentuk kebhinekan dengan asas pluralisme.
Islam telah mengajarkan untuk memberikan jaminan kebebasan beragama. Hal tersebut dibuktikan ketika Rosulullah menjadi nabi sekaligus kepala negara dengan adanya Watsiqah Madinah pada tahun 622, mengatur mengenai toleransi dan kebebasan bagi karagaman hidup antara umat begarama.
Ketika madinah berada pada naungan Islam dengan dijadikanya syariat Islam sebagai supremasi hukum, kehidupan umat antar agama sangat rukun. Rasulullah pernah ditanya oleh sahabatnya untuk memberikan bantuan terhadab seorang yahudi “Apakah kami boleh memberi bantuan kepada kaum Yahudi?” Beliau menjawab, “Boleh, sebab mereka juga makhluk Allah, dan Allah akan menerima sedekah kita.” Dari peristiwa tersebut bukan berarti Rasulullah menerima keimanan akidah mereka, namun sebatas mahkluk sosial yang diperintahkan untuk saling membantu. Maka tidak sewajarnya bahwa islam disebut sebagai agama yang tidak menjunjung tinggi asas kebhinekaan. Namun justru suara kebhinekaan muncul atas perlawan suara-suara islam yang terzholimi untuk menuntut keadilan.
Oleh : Taufik Setia Permana – (Dir. Geopolitical Intitute)
0 Response to "Damai dalam ‘Perbedaan’"
Post a Comment