-->

DEMOKRASI UNTUK KESEJAHTERAAN ATAU KESEJAHTERAAN UNTUK DEMOKRASI?


Apakah kata paling populer di dunia saat ini? Mungkin mayoritas orang akan menjawab demokrasi. Ya demokrasi. Demokrasi menjadi harapan banyak masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Menurut kebanyakan orang, demokrasi adalah password untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera.
Karena itu, saat ini, bangsa manapun, termasuk Indonesia, akan berjuang mati-matian menjadi negara demokrasi. Tak peduli berapapun biayanya, apapun dampak sosial dan ekonominya, juga tak peduli apakah bertentangan dengan Islam atau tidak, demi demokrasi, masyarakat siap melakukan apapun. Sebab, demokrasi adalah kunci kebaikan dan kesejahteraan.
Kemudian, atas kerja keras masyarakat Indonesia, pada tahun 2007, Indonesia mendapatakan “Medali Demokrasi” oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik). Indonesia dinobatkan sebagai negara demokrasi pertama untuk masyarakat berpenduduk muslim, dan dinilai telah sukes dalam menerapkan demokrasi. Sebagai pernghargaan terhadap kesuksesan demokrasi di Indonesia, pada tahun itu juga, Indonesia dipilih menjadi tempat pertemuan IAPC untuk mempromosikan demokrasi ke seluruh dunia. Apa hasil dari suksesnya Indonesia menjadi negara yang demokratis? Apakah semua masalah selesai? Apakah kesejahteraan dan keadilan terwujud? Apakah rakyat hidup dalam kemakmuran? Atau justru sebaliknya? Biasanya dijawab oleh para pemujanya secara diplomatis, “suatu saat nanti akan terwujud, sekarang kita baru belajar demokrasi.” Saat dinyatakan, bukannya kita justru juara demokrasi? Mereka hanya bisa diam atau mengalihkan pembicaraan yang lain.
Pertanyaan serius yang diajukan di sini: benarkah demokrasi itu akan membawa kesejahteraan atau justru kesejahteraan untuk demokrasi? Ini yang akan dibahas secara singkat.
******
Adakah hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan? Berbagai riset cross-section tentang pertumbuhan ekonomi menyimpulkan bahwa hubungan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dinyatakan secara pasti (University of Groningen). Itu baru hubungan demokrasi dengan pertumbuhan ekonomi, belum kesejahteraan. Padahal hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan, juga masih perlu pembahasan sendiri.
Sebuah studi oleh David Epstein dkk (2006) juga menunjukkan, negara-negara yang mengalami perbaikan indeks demokrasi antara 1972-2003 sama berpeluangnya untuk mengalami pertumbuhan PDB per kapita yang positif maupun negatif. Sama halnya dengan negara-negara yang mengalami penurunan indeks demokrasi punya peluang yang sama untuk mengalami peningkatan maupun penurunan PDB per kapita. Artinya demokrasi tidak ada hubungannya dengan pendapatan perkapita.
Sementara hubungan demokrasi dan kesejahteraan rakyat pernah diteliti oleh Michael Ross, Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA). Kesimpulan dari riset tersebut menyatakan, bahwa demokrasi ternyata juga tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kesejahteraan warga negaranya. Berdasarkan laporan penelitian Ross, yang diberi judul, “Is Democracy Good for the Poor?” pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum miskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000.
Bagaimana dengan negara-negara di Asia? Demokrasi dan kesejahteraan juga tidak ada hubungan. Saat dihantam krisis global, di Asia, hanya tiga negara yang ekonominya masih bertahan menghadapinya, yaitu China, India, dan Indonesia. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berjalan sesuai dengan pertumbuhan demokrasi.
Di China, misalnya, meski pertumbuhan ekonominya positif, demokrasinya berjalan di tempat, bahkan negatif. Sementara di India, pertumbuhan ekonominya positif dan diklaim pertumbuhan demokrasinya juga positif. Dikatakan, bahwa di bawah pemerintahan Manmohan Singh, keterbukaan India terhadap investasi asing dan pemberian peluang lebih besar kepada swasta untuk berperan dalam pengembangan perekonomian, telah menjadikan India dengan pertumbuhan rata-rata di atas 6%. Ekonomi India memang tumbuh, tetapi apakah masyarakatnya sejahtera? Ini pun masih misterius.
Bagaimana dengan Indonesia? Fenomena hubungan ekonomi dan demokrasi di Indonesia Boedio. Boediono pernah mengulas hubungan ekonomi dan demokrasi dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ekonomi UGM pada Februari 2007 di Yogyakarta, menyatakan demokrasi di Indonesia rawan jika pembangunan ekonomi tidak berhasil.
Indonesia saat itu, kata Boediono, masih berada pada zona risiko tinggi untuk kehidupan demokrasi. Hal ini terlihat dari segi pendapatan per kapitanya yang masih kurang mendukung terselenggaranya demokrasi secara baik.
Dengan pendapatan per kapita sekitar US$3.987 (pada 2008), ditegaskan oleh Boediono, Indonesia masih berada di zona rawan dalam demokrasi. Kenapa? Menurut penelitian, batas kritis bagi kelangsungan demokrasi di dunia adalah apabila pendapatan per kapita sebuah negara mencapai US$6.600.
Dari sebuah studi ekonomi dan demokrasi, tercatat bahwa pada kurun 1950-1990, rezim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 hanya mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Dan pada tingkat penghasilan per kapita di atas US$6.000, daya hidup sistem demokrasi di sebuah negara jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1:500.
Dari pernyataan Pak Boediono, menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa demokrasi tidak mengantarkan pada kesejahteraan. Sebaliknya, kesejahteraan justru untuk demokrasi, artinya kesejahteraan menjadi prasyarat agar demokrasi berjalan dengan baik.
Jika memang demikian, mengapa banyak orang tetap bersikukuh dengan demokrasi? Sebab, menurut asumsi mereka, ekonomi (kesejahteraan) adalah tanaman jangka pendek, sedangkan demokrasi adalah tanaman jangka panjang. Dalam istilah Boediono, demokrasi itu bersifat short term pain for long term gain. Tentu saja pernyataan ini, mengandung pertanyaan besar: BENARKAH?!? BENARKAH!?! DAN BENARKAH!?!?! Untuk menjawab ini, mungkin kita membutuhkan profesor ekonomi yang kepalanya sudah tidak ada rambutnya sama sekali.
Sungguh sangat menarik penyataan mantan PM Singapura Lee Kwan Yew. Lee pernah mengatakan, kurang lebih, “untuk mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi, masyarakat harus rela mengorbankan sedikit kemerdekaan sipil dan demokrasi. Dan jika masyarakat sudah mencapai taraf hidup yang tinggi, kemerdekaan dan demokrasi bukan lagi sebuah kebutuhan.” Dan memang benar, Singapura di bawah Lee, tanpa demokrasi, mengalami transformasi dari sebuah negara miskin di tahun 60-an menjadi negara maju dalam dua dekade. Hal yang sama terjadi pada Korea Selatan di bawah Park Chang-Sun.
Kembali ke “Medali Demokrasi”, lalu apa maknanya, bahwa indonesia dengan pendapatan perkapita di bawah batas kritis, tetapi mendapat “Medali Demokrasi” dan dinilai berhasil dalam berdemokrasi? Hal ini menunjukkan salah satu dari dua hal: Pertama, Indonesia memang super-duper hebat, sehingga hanya dengan perkapita separoh dari nilai kritis, tetapi bisa “berhasil”. Ibarat membangun rumah, yang secara aturan seharusnya menghabiskan 100 sak semen, tetapi Indonesia bisa membangun rumah hanya dengan 50 sak semen. Tetapi jangan tanyakan kondisi bangunan 10 tahun kemudian. Kedua, bisa jadi “Medali Demokrasi” itu hanya politik “Kuda Troya”. Maklum, kita ini adalah masyarakat yang “sangat gila” dengan pujian, meskipun pujian palsu. Kita lebih senang di puji secara palsu, dibanding menerima kenyataan yang agak pahit, dan dari kenyataan lalu berusaha memperbaiki diri.
Manakah diantara kedua kemungkinan ini yang benar? Wallahu a’lam.
******
Memang benar bahwa demokrasi bukan untuk kesejahteraan, tetapi kesejahteraan untuk demokrasi. Demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan yang super-duper mahal, tidak efektif dan efisien.
Menurut FITRA (lembaga Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) mencatat bahwa biaya pilkada, untuk kabupatan/kota menelan setidaknya Rp.25 miliar, dan untuk pilkada provinsi Rp.100 miliar. Keseluruhan pilkada di Indonesia menelan setidaknya Rp.17 triliun. Besarnya biaya pilkada langsung di 500 propinsi/kota/kabupaten sangat membebani keuangan negara dan menjadi sumber kerugian yang besar bagi ekonomi Indonesia. Sedangkan biaya untuk penyelenggaraan pemilihan legislatif diberitakan sebesar Rp.16 triliun dan penyelenggaraan pemilihan presiden dianggarkan Rp.7,9 triliun. Tentu saja itu baru biaya pemilihan, belum lagi untuk membayar ribuan anggota di DPR, DPRD, dan-lain-lain.
Penghematan anggaran setidaknya bisa berpuluh-puluh triliun rupian setiap tahun dapat dialokasikan untuk menambah ruang fiskal bagi pemerintah sehingga memungkinkan pemerintah menjalankan program-program untuk mengurangi angka kemiskian, mengurangi ketimpangan kesejahteraan, atau pembangunan infrastruktur yang lain.
Sementara dana pribadi yang dikeluarkan oleh para calon legislatif juga teramat-sangat-amat tinggi. Menurut Pramono Anung, politisi PDIP, jumlah biaya yang dikeluarkan oleh calon legislator pada saat kampanye minimal Rp 600 juta, yang standar antara Rp 600 juta hingga satu miliar, dan tentu saja bisa lebih besar dari satu miliar rupiah. Menurutnya, untuk incumbent saja ada yang mengeluarkan Rp 1,8 miliar sampai Rp 2,5 miliar. Lebih lanjut Pramono Anung mengurai, ada hubungan antara figur calon dan besarnya biaya kampanye. Katanya, biaya paling rendah adalah publik figur dan paling tinggi itu pengusaha, yang bisa mencapai milyaran rupiah. Bahkan Pramono Anung menulis buku khusus tentang hal ini dengan judul “Mahalnya Demokrasi, Memudarnya Ideologi: Potret Komunikasi Politik Legislator-Konstituen.” Buku ini diolah dari disertasi doktoral yang dipertahankannya di Universitas Padjajaran. Kata Pramono Anung model demokrasi yang dianut di Indonesia memiliki implikasi politik yang berdampak sistemik.
Itu biaya untuk legislatif, bagaimana biaya yang dikeluarkan oleh calon eksekutif. Memang susah melacak dana yang dikeluarkan oleh para calon eksekutif. Dari desas-desus di desa saya untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa, harus menyediakan uang minimal Rp. 500.000.000,-. Masih dari berbagai desas-desus, dana yang harus disediakan calon bupati atau walikota bisa mencapai puluhan milyar rupiah, calon gubernur mencapai ratusan milyar rupiah, dan untuk presiden mencapai trilyunan rupiah. Sekedar mengingatkan 1 trilyun itu tidak sedikit. 1 trilyun rupiah itu uang satu juta rupiah yang ditumpuk sebanyak 1 juta tumpukan, atau kalau ditulis Rp.1.000.000.000.000,-. Uang sebanyak itu kalau dibelikan beras dengan harga Rp. 10.000,- per kg, maka akan mendapat 100.000.000 kg. Kalau dimakan sendiri bisa untuk berapa ratus ribu tahun ya? Silahkan dihitung sendiri.
Dampak langsung dari demokrasi yang biayanya tinggi, adalah tingginya angka korupsi. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, yang mencatat 330 (86,22%) kepala daerah hasil pemilihan demokratis tersangkut perkara korupsi. Korupsi menjadi keniscayaan karena tekanan kebutuhan menutupi besarnya biaya kampanye atau untuk membayar jasa para kapitalis/pemodal melalui penjatahan proyek-proyek bernilai miliaran/triliunan rupiah, yang membebani APBD dan menurunkan kualitas layanan publik.
Demokrasi dengan slogan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” memang mustahil diterapkan dalam masyarakat. Yang terjadi sesungguhnya adalah “dari perusahaan, oleh perusahaan, dan untuk perusahaan” atau “dari konglomerat, oleh konglomerat, dan untuk konglomerat” Akhirnya, demokrasi hanya menjadi sarana bagi “pencarian keuntungan” dan “pemuas syahwat”. Ada yang mengatakan ini adalah penyimpangan demokrasi, bukan demokrasi ini sendiri. Bisa jadi memang ya, tetapi penyimpangan itu sangat sistemik. Sekedar tambahan, namun sayangnya orang yang argumentasi dengan ini, jutru sering menyerang sistem khilafah, dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada di dalamnya. Mengapa logika ini tidak diterapkan?
Memang ada yang mengatakan, bahwa meski demokrasi itu sangat mahal, tetapi sangat penting. Sebab jika tidak menerapkan demokrasi Indonesia akan menjadi negara tirani. Benarkah hal ini? Sebetulnya tidak menerapkan demokrasi bukan berarti menjadi negara tirani. Sebenarnya ada sebuah sistem pemerintahan yang bukan demokrasi, tetapi juga bukan tirani, sistem pemerintahan itu dinamakan khilafah islamiyah. Insya Allah, nanti akan kita bahas secara khusus pada tulisan yang lain.
Maka, siapa saja yang masih bermimpi bahwa kita akan menjadi sejahtera dengan menerapkan demokrasi, maka sebenarnya ia tertipu dengan ilusi demokrasi. Memang harus diakui salah satu kemampuan demokrasi yang paling menonjol adalah kemampuannya MENIPU masyarakat, dan yang aneh, kalangan yang paling banyak tertipu adalah kalangan “terpelajar”.
Terakhir, benarkah demokrasi itu akan membawa kesejahteraan atau justru kesejahteraan untuk demokrasi? Jawabnya: Demokrasi memang membawa kesejahteraan, tapi hanya untuk para politisi dan para kapitalis. Sementara untuk rakyat, hanya dapat “atas nama”. Kata tetangga saya: “Ora modal kok njaluk sejahtera!”. Nah loe!!!
Wallahu a’lam.

0 Response to "DEMOKRASI UNTUK KESEJAHTERAAN ATAU KESEJAHTERAAN UNTUK DEMOKRASI?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close