-->

Ketika Jakarta Dipimpin Aktivis Islam: Warga Tak Digusur, Mau Dibelikan Tanah (1)


Laporan Khusus

Kamis 28 Zulhijjah 1435 / 23 October 2014 21:36



Related

Laporkan iklan?


senen Ketika Jakarta Dipimpin Aktivis Islam: Warga Tak Digusur, Mau Dibelikan Tanah (1)

Kawasan Senen tahun 1950-an



Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)



Laporkan iklan ?


SEBELUM menjadi Walikota Jakarta Raya –jabatan setingkat Gubernur Jakarta -, dia adalah seorang yang ikut berjuang bersama pemuda-pemuda Bandung melawan penjajah Jepang. Ketika itu, dia diamanahi sebagai ketua KNIP Bandung yang bertugas mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang. Meskipun saat itu dia harus menghadapi para pemuda yang radikal dan pemerintah yang diplomatis, akan tetapi dia berhasil menggerakkan rakyat untuk menggertak Jepang, sampai akhirnya Jepang ketakutan dan menyerah tanpa ada pertumpahan darah.


Keberhasilan ini menarik hati pemerintah dan meyakinkan rakyat akan kepemimpinannya. Hingga pada bulan September 1945, dia dipilih oleh rakyat dan diangkat oleh pemerintah sebagai Walikota Bandung yang pertama, sejak berdirinya Republik Indonesia.[1]


Ketika dia menjadi Walikota Bandung, amanah yang dipikulnya menjadi tambah berat. Sebab tentara sekutu yang diboncengi tentara Belanda berhasil menduduki wilayah Bandung Utara. Akibatnya berkobarlah perlawanan pemuda terhadap markas-markas sekutu.


Tindakan pemuda ini membuat sekutu marah dan membom Bandung Selatan. Korban jiwa pun berjatuhan dan mayat-mayat bergelimpangan. Kota Bandung diliputi bau busuk kala itu.


Bangkitlah kemarahan dia atas kebiadaban sekutu ini. Melalui corong Radio Republik Indonesia Bandung, dia sampaikan protes kepada pihak sekutu. Namun pihak sekutu malah menjawab protes tersebut dengan mengeluarkan ultimatum akan membom kota Bandung Selatan bila para pemuda tidak mengosongkan kota tersebut. [2]


Berkenaan dengan ultimatum itu, dia bersama Komandan TRI, Divisi III, dan Kolonel A.H. Nasution mengadakan pertemuan. Hasilnya sepakat untuk mengadakan pengungsian rakyat ke luar kota dan Bandung akan dibumihanguskan. Tepat pukul 20.01 WIB, tanggal 24 Maret 1946, terdengarlah ledakan pertama yang disusul ledakan-ledakan selanjutnya di segala penjuru kota. Langit Bandung pun memerah dan menjadi lautan api kala itu.


Tak hanya mengemban amanah di Bandung, dia juga pernah menjadi Walikota Surakarta pada awal tahun 1947. Suasana Surakarta ketika itu tidak menyenangkan. Sebab ada pemberontakan PKI. Pemerintah Pusat memerintahkannya untuk tetap berada di kota sebelum rakyat diselamatkan. Dia menjalankan perintah tersebut dengan tidak mengungsi. Akibatnya, dia dijebloskan ke dalam penjara oleh Belanda.


Enam bulan lamanya dia meringkuk dalam penjara Belanda. Baru setelah terjadi perjanjian Roem-Royen dan berkat bantuan delegasi Republik Indonesia di Jakarta, dia bisa menghirup udara segar dan dipindahkan ke Jakarta.[3]


Kiprahnya terus berlanjut di Jakarta. Dia dipilih oleh Dewan Perwakilan Kota Sementara menjadi calon Walikota Jakarta Raya bersama calon lainnya seperti Mr. Mohamad Roem, Jahja Malik, dan Dr.Buntaran.


Dalam pemilihan di Dewan Perwakilan Kota Sementara, Mr. Mohamad Roem memperoleh suara terbanyak. Namun Pemerintah Pusat menetapkan dia sebagai Walikota Jakarta Raya karena dipercaya akan sanggup menghadapi tantangan dalam mengemudikan Pemerintahan Daerah Ibukota Negara, berdasarkan pengalamannya di Bandung dan Surakarta. Dan pada 27 Juni 1951, dia resmi menjadi Walikota Jakarta Raya ke-2 berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Juni 1951.[4]


Dia adalah Sjamsuridjal. Pria kelahiran Karanganyar 11 Oktober 1903 ini memiliki segudang pengalaman. Semasa mudanya, dia adalah Ketua Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam, yang kebanyakan anggotanya didikan Barat, namun hidup sebagai pejuang Islam. Kecintaan Sjamsuridjal-lah yang membuatnya tergerak untuk mendirikan JIB. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Haji Agus Salim:



Pimpinan kelompok pemuda beragama Islam ini, Sjamsuridjal, sangat sedih dan ketika pulang malam dari kongres itu aku mencoba menghiburnya dan berkata ; jangan sedih, mari kita segera bentuk persatuan pemuda Islam dan kita akan menerbitkan surat kabar Islam berjudul Het Licht (Sinar). Orang-orang itu telah mencoba mematikan sinar Ilahi tetapi tuhan tak akan membiarkannya! Maka disudut jalan itu, pada malam tahun baru jam 24.00, 1 Januari 1925 dibentuklah Jong Islamieten Bond (JIB).[5]



JIB kemudian memang menjadi organisasi yang berpengaruh luas. Selain menerbitkan majalah Het Licht JIB berperan sebagai poros dari pergerakan siswa muslim didikan Belanda yang memiliki ghirah (semangat) yang luar biasa terhadap Islam. Mulai dari membentuk forum-forum diskusi, membangun sekolah di berbagai wilayah Indonesia, hingga turut serta dalam penolakan zionisme.


Tak hanya JIB, Sjamsuridjal juga pernah menjadi anggota pengurus besar Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929. Dan menjadi anggota dewan pimpinan Masyumi pada tahun 1950.


Berbagai pengalaman Sjamsuridjal kala ditempa di JIB, PSII, dan Masyumi inilah yang nantinya menjadi modal dalam memikul amanah sebagai pemimpin Jakarta rentang 27 Juni 1951 – 1 November 1953.


Indonesia di awal tahun 1950-an adalah tahun-tahun ketika Indonesia baru melangkah kembali sebagai sebuah negara kesatuan. Memulai untuk berdiri kembali sebagai sebuah negara. Optimisme hadir sebagai sebuah bangsa. Kembalinya Sukarno ke Jakarta sebagai pusat pemerintahan, membuat Jakarta menjadi pusat dari segala dinamika yang terjadi di Indonesia.


Pada masa 1950-1965, Sukarno berperan besar membangun Jakarta. Dia memiliki visi menjadikan ibukota negara sebagai kota metropolis atau Great Jakarta (Jakarta Raya).[6] Jakarta kala itu dipenuhi patung orang yang tampak berteriak, melambaikan tangan, dan mengacungkan tinju. Begitu banyak monumen kepahlawanan yang dibuat olehnya. Tak hanya itu, dia telah membangun sebagian besar landmark terkenal masa kini.


Beberapa diantaranya Monumen Nasional, sebuah bangunan tinggi menjulang yang puncaknya dihiasi api berlapis emas di pusat kota; Hotel Indonesia, hotel bertingkat modern pertama di negeri ini; Sarinah, pusat perbelanjaan pertama; Jakarta Baypass dan Jembatan Semanggi, jalan raya modern pertama di Indonesia; dan masih banyak lagi. Semua ini adalah peninggalan Sukarno.[7]


Namun sayangnya, kemegahan fisik Jakarta kurang dihiasi kreativitas masyarakatnya. Pada 1952, Wakil Presiden Hatta menulis bahwa kota-kota besar Indonesia sangat terpengaruh oleh orang Barat. “Di tempat-tempat ini, sebagian besar orang kita hanya menjadi peniru. Seperti biasa, hal yang paling mudah ditiru pasti yang dangkal, dan hanya bagian luarnya saja ….” Dia menunjukkan fakta bahwa “sebagian besar kota kita tidak muncul dari masyarakat kita sendiri namun kepanjangan ekonomi asing. Kota-kota ini bukanlah pusat aktivitas kreatif rakyat sendiri, tetapi hanyalah pusat distribusi barang-barang asing.” Di Jakarta 1950-an, muncul cross boys, yaitu geng –geng muda yang mencontoh para berandal muda di film-film Barat.[8]


Ajip Rosidi, seorang Penyair yang bermigrasi Jakarta pernah mengungkapkan:



“… Saya merasa tiba di suatu kurungan yang memualkan, kehilangan akar dan tempat berpijak dalam galau kota Internasional yang membuka diri terhadap segala arus tanpa ada penepian lagi, kesibukan tak punya arah, duta, dan tipu.”[9]



Sementara cerpenis Pramoedya Ananta Toer memberikan gambaran bahwa Jakarta “hanyalah kumpulan besar desa-desa”. Dalam pandangannya, Jakarta tidak mempunyai kebudayaan urban sendiri, semua yang ada dibawa dari luar, dari provinsi lain, atau dari luar negeri.[10]


Selain budaya, korupsi juga menjadi masalah Jakarta. Menurut Mochtar Lubis, korupsi adalah penyakit utama Jakarta. Dalam novelnya, dia membandingkan gambaran kehidupan menyedihkan penduduk Jakarta kebanyakan –para tukang becak dan pemulung- dengan godaan suap yang dihadapi para pegawai negeri yang mengurusi krisis perumahan dan inflasi, perdebatan hambar tanpa akhir di kalangan intelektual Jakarta tentang kebudayaan nasional, serta kesepakatan korupsi antara para politikus, pengusaha, dan editor surat kabar.[11]


Itulah gambaran singkat Jakarta pada masa Soekarno. Soekarno tidak sendirian membangun Jakarta. Dia mengamanatkan Sjamsuridjal sebagai Walikota Jakarta agar dalam pelaksanaan pembangunan Jakarta harus berkonsepsi yang berani dan tidak melakukan hal-hal yang sepele.


Menjadi walikota pada masa pergolakan revolusi berbeda dengan masa pasca kemerdekaan. Tugasnya kini adalah mengisi kemerdekaan dan mengemban amanat penderitaan rakyat.


Demikianlah maka di dalam menghadapi pembangunan Kota Jakarta, Sjamsuridjal telah merumuskan konsepsinya, yang kemudian diumumkan kepada para wartawan ibukota pada tanggal 15 September 1951.


Pada pertemuannya itu, pertama-tama dia menekankan tiga masalah pokok yang sangat mendesak yang senantiasa menjadi masalah pemerintah Kotapraja Jakarta Raya yaitu masalah pembagian aliran listrik, penambahan air minum dan urusan tanah.


Menyinggung masalah kekurangan aliran listrik, dia mengatakan kepada wartawan bahwa dewasa ini kota Jakarta mengalami pemadaman listrik tiga hari sekali. Ini karena Jakarta hanya diberi jatah sebanyak 240 kw dari pusat, sementara yang diperlukan sebesar 272 kw. Untuk mengatasi itu, akan dibangun pusat tenaga listrik di Ancol dan diharapkan pemadaman listrik dapat diperkecil selama enam hari.


Selanjutnya soal kekurangan air minum dikatakan oleh Sjamsuridjal, bahwa Kotapraja mengusahakan Waterzuivering di daerah Karet yang diperkirakan dapat menambah 5.000 liter air per detik. Juga dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum ini, Kotapraja akan menambah pipa leding dan penambahan air dari sumbernya di Ciomas Bogor, meskipun hanya 60 liter air per detiknya.


Bagi penduduk yang bertempat tinggal di daerah-daerah kering, dibuatkan 230 hydrant. Dan penjualan-penjualannya kepada umum dengan perantaraan agen-agen yang telah ditetapkan.


Mengenai masalah tanah, Sjamsuridjal menjelaskan bahwa masalah tanah di Kotapraja Jakarta terbagi atas empat macam, yaitu tanah Kotapraja, tanah negara, tanah individual, dan tanah swasta.


Tanah yang menjadi pemikiran Kotapraja adalah masalah tanah swasta. Di Jakarta masih terdapat 3.566 ha tanah swasta milik 16 perusahaan yang sangat terlantar pengurusannya.


Kampung-kampung yang berada di atas tanah swasta ini sangat kotor. Jalan-jalannya tidak diaspal sehingga berdebu ketika musim kemarau. Bila musim hujan, jalan menjadi sukar dilalui karena becek dan berlumpur. Di sana sini terdapat comberan yang baunya menusuk hidung.


Keadaan perumahan penduduk sangat berjubel-jubel di atas sebidang tanah yang sempit sehingga sumur dan tempat buang air bergandengan dengan tidak memenuhi syarat hygiene sama sekali.


Solusi dari Sjamsoeridjal sangat cemerlang. Mereka tidak digusur atau dipaksa pindah. Pemerintah Kotapraja Jakarta Raya justru berencana membeli tanah-tanah tersebut dan kemudian memperbaki kampung sebagaimana layaknya tempat manusia merdeka. [bersambung]


[1] Supangkat, Karya Jaya Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966, PT Pangeran Djajakarta:Jakarta, 1977,hlm.53


[2] Supangkat, Ibid, hlm. 54


[3] Supangkat, Ibid, hlm. 57


[4] Supangkat, Ibid, hlm. 63


[5] Dikutip oleh Beggy Rizkiyansyah, http://ift.tt/1oxG6w2 dari 100 Tahun Haji Agus Salim. Jakarta : Sinar Harapan, 1996


[6] Christopher Silver, Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century, Routledge: London&New York, 2008, hlm. 88


[7] Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Masup Jakarta: Jakarta, 2011, hlm. 227-228


[8] Susan Blackburn, Ibid, hlm. 262-263


[9] Susan Blackburn, Ibid, hlm.264


[10] Susan Blackburn, Ibid, hlm.262


[11] Susan Blackburn, Ibid, hlm.265


[12] Supangkat, Ibid, hlm. 65


[13] Supangkat, Ibid, hlm. 67



Laporkan iklan ?




Redaktur: Rayhan


Ketika Jakarta Dipimpin Aktivis Islam: Tukang Becak Dibuatkan Rumah (2) »

« Jokowi dan Kabinet Koalisi Rakyat (2-Habis)



















Plis Like Fanpage Kami ya

Related Posts

0 Response to "Ketika Jakarta Dipimpin Aktivis Islam: Warga Tak Digusur, Mau Dibelikan Tanah (1)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close