Usai Titah Prabowo
Perspektif
Related
PRABOWO Subianto sudah lakukan peran apiknya sebagai calon pemimpin dengan menerima presiden terpilih Indonesia dan berkenan hadir dalam seremoni pelantikan. Sebuah keteladanan yang pantas dipuji. Prabowo juga telah tunaikan janji sebagai insan patriot pembela negeri ketika meminta para pendukungnya legawa mendukung pemerintahan baru di negeri ini. Persatuan dan kesatuan demi majunya Indonesia menjadi satu pengikat kebersamaan.
Dengan keberterimaan Prabowo itu, banyak media arus utama yang berada di kubu pendukung pemerintahan terpilih menggadang-gadang hal menggembirakan. Mulai dari suhu politik yang mendingin hingga respons pasar keuangan yang positif. Entah bagaimana parameter penilaian media-media itu setiap ada “kepanasan” dan “pelonjakan” ekonomi dan sosial-politik dalam empat bulan terakhir ini acap dikaitkan dengan Prabowo dan pendukungnya.
Suhu politik mencair dan pentas kekuasaan pun bisa dilangsungkan dengan normal tentu saja ‘realitas’ yang diciptakan dengan intensif oleh media-media tadi. Publik digiring untuk menerima kekondusifan yang bakal tercipta dari pemerintahan baru. Apa pun yang terjadi sudah dikesankan sebagai ejawantah aspirasi publik dengan mengatasnamakan rakyat. Maka, mengingkarinya menjadi sebuah perlawanan pada misi kerakyatan tersebut.
Sudah tentu, kritis pada keadaan kebangsaan buat lima tahun ke depan harus menjadi pegangan setiap Muslim. Retorika apa pun dari Prabowo tidak menjadi pemacu sadarnya kita. Yang menjadi pedoman adalan sendi keagamaan kita. Bungkamnya Prabowo pada mudarat pemerintahan ke depan pun tidak berarti kita turut diam pula! Kritis adalah sebuah manifestasi dakwah kepada penguasa baru negeri. Tentu saja kritis diiringi akhlak, dan bukan mengekor perilaku amoral dan nir-adab sebagian pemuja penguasa baru negeri ini.
Kita tetap menaruh respek pada ucapan-ucapan penguasa baru Indonesia. Memberikannya kesempatan untuk menunaikan janji-janjinya dengan kerja konkret. Setiap kebajikan yang dicipta, patut kita dukung. Seberat apa pun kebencian kita kepada pendukungnya, kebajikan yang dihadirkan harus kita puji. Sebaliknya, tatkala kemungkaran dihadirkan oleh penguasa, sekuat dan semasif pembelaan apologetik media, harus kita lawan.
Yang ditangkap oleh indra lahiriah kita atas praktik kekuasaan belum tentu sesuai dengan faktanya. Inilah yang kudu dikritisi setiap Muslim yang masih bangga dengan agamanya. Kerangka berpikir kemuslimannya menjadi rujukan dalam mengkritisi jalannya pemerintahan. Bukan, bukan demi dendam. Karena penguasa baru negeri sejatinya lelaki baik, namun orang-orang di sekeliling dan para pengendalinyalah yang amat membahayakan.
Titah Prabowo sesungguhnya bukan hanya bagi pendukungnya, namun juga berlaku bagi setiap rakyat negeri ini. Realitas indah bertaburkan pesta, kidung, syair, testimoni penuh haru-biru dan kebanggaan pada pemimpin ‘penuh harapan’ kelak akan terbuktikan apakah fakta asli ataukah sekadar simulasi pencitraan yang berhasil menipu jutaan rakyat. Yang kita tungguh bukan hiperrealitas bentukan media dan jejaringnya, melainkan kerja nyata yang memihak rakyat Indonesia—dan tentunya umat Islam selaku mayoritas.
Mengawal kesatuan-persatuan berarti menjaga Indonesia dari hadirnya perampok berkerah putih yang kerap datang dengan pesona proyek kemanusiaan dan kemajuan demokrasi. Di sinilah kehadiran siapa saja untuk terpanggil membaktikan diri. Politik nasional elit boleh adem ayem lantara pembagian kekuasaan sudah berlangsung lancar diam-diam. Prabowo boleh jadi akan berbalik menerima apa saja yang diperbuat penguasa baru (semoga saja tidak). Tapi, yang tidak boleh berubah adalah kepekaan kita melihat kemungkaran yang diperbuat penguasa dan orang-orang di sekelilingnya.
Menjadi terasing hanya karena tidak mau tunduk pada era pemalsuan kesadaran, bukan masalah. Ini sudah tabiat sejarah. Dulu, para orangtua kita juga dijauhi hanya karena tidak mau bergabung dalam Nasakom. Sebuah ide pemimpin besar kala itu yang mampu menyedot dukungan si awam hingga si alim. Orde Baru dan era simulasi citra sekarang pasti menarik si awam hingga si alim jua untuk bergabung dalam jamaah oprtunis zaman. Dari alasan perut bagi preman pasar hingga keterapduan ayat dan pasal ilmiah buat si alim. Tidak, tidak, Muslim yang baik justru harus bertanya ketika ada ‘sihir’ citra melenakan mata. Ya, itu sebuah tetanda ada ketidakberesan.
Kawan, selamat bergabung dalam barisan pemuja penguasa baru, ataukah jamaah pendoa penguasa baru agar insyaf sembari terus mengawal kekritisan diri dari beribu bujukan. []
Laporkan iklan ?
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Usai Titah Prabowo"
Post a Comment