Dicari Pemuda Rindu Masjid, Bukan Perindu Sinetron!
Kita rindu remaja yang meneteskan air matanya di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala di kala malam, bukan sebagaimana remaja Barat yang sibuk dengan pesta alkohol semalaman
Oleh: Syamsul Alam
“JIKA penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam telah menjadi kenyataan dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti. Kita akan mendapatkan bagian dari dari apa yang telah menjadi janji dari hadits ini, berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada para pasukan satu persatu bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan menjadikan syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran,” demikian khutbah yang diucapkan Sultan Muhammad Al-Fatih di hadapan para pasukannya menjelang detik-detik penaklukan Konstantinopel. [Buku Muhammad Al Fatih 1453 M, Felix Shiaw]
Konstantinopel (Kostantiniyye, Turki) yang sekarang adalah Istanbul, ibu kota Turki dahulunya adalah simbol Kekaisaran Romawi Timur. Hampir selama Abad Pertengahan, Konstantinopel merupakan kota terbesar dan termakmur di Eropa sebelum kemudian ditaklukkan oleh Utsmaniyah pada 1453 di bawah panglima gagah berani, Sultan Muhammad Al Fatih atau juga dikenal Sultan Mehmet II.
Ketika dia harus menggantikan ayahnya Sultan Murad II, usia Sultan Al Fatih masih sangat muda, 21 tahun. Rasanya tidak layak bagi anak remaja memimpin negara. Namun faktanya, di usia itulah ia telah mengantarkannya berkarya di pentas dunia dan namanya dikenang dalam sepanjang sejarah.
Kisah Sultan Muhammad Al Fatih adalah fakta kisah heroik seorang pemuda Islam yang sangat gigih meninggikan kalimat tauhid, seorang pemuda yang ingin membuktikan bisyarah, sebuah kabar gembira yang diturunkan Allah kepada umat Islam, sebagaimana sebuah hadits Rasulnya yang diriwayatkan oleh Ahmad berbunyi, “Sungguh, Konstantinopel akan ditaklukkan oleh kalian. Maka sebaik-sebaik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkannya.”
***
Kini, setelah hampir lima abad era Muhammad Al Fatih (tepatnya 516 tahun), mari bandingkan kualitas anak-anak muda hari ini.
Lima bulan lalu, tepat beberapa hari sebelum pemilihan legislatif 9 April 2014, umat Islam di Ranah Minang, negeri yang dikenal kukuh dengan ‘adat bersandikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah’ justru dikejutkan dengan berita tentang adanya “arisan seks” di kalangan remaja di Kabupaten Lima Puluh Kota. Berita tidak sedap ini muncul pertama kali di sebuah koran lokal, Padangekpres.
Angka ini belum termasuk moralitas lainnya remaja kita hari ini; sebut temuan-temuan terbaru berbagai perilaku remaja kita misalnya hubungan seks di luar nikah, tawuran, penggunaan obat-obatan terlarang, bahkan hal-hal yang sampai mengarah pada tindak pidana.
Data di atas menunjukkan kondisi pemuda yang cukup memprihatinkan. Masalahnya, tidak semua diantara mereka yang menjadi korban, bahkan diantara mereka sudah menjadi pelaku, bagaimana aksi sodomi massal yang terjadi di Jawa Barat, anak remaja kelas 2 SMA di Gresik yang sudah menjadi pembunuh 2 siswi sekaligus memperkosa 7 siswi lainnya.
Tahun 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak menemukan 21 remaja perempuan yang usianya rekatif belia –antara 14 dan 16 tahun– yang tertangkap basah bekerja sebagai ‘mami’ alias mucikari. Menariknya, mereka melakukan transaksi seks dengan hanya menggunakan pesan telepon dan media sosial.
Bagian lain dampak negatif jejaring sosial yang sangat menggurita dan menyerbu remaja Muslim saat ini adalah serangan budaya hingga banyak dari mereka kehilangan identitas dan jati diri.
Jangankan mengenal prinsip agama dan bangsanya, mempertahankan dirinya saja dari serbuan pengaruh hegemoni budaya Barat saja begitu sulit.
Lihatlah betapa antusiame pemuda/pemudi Muslim di negara ini terhadap figur-figur artis? Sangat nampak ketika pada Januari 20111, sekitar 1.000 beliebers (penggemar Justin Bieber) Indonesia rela mengantri untuk mendapatkan tiket konser sang idola di EX Plaza, Jakarta, hingga mencapai 1 kilometer jaraknya.
Padatnya antrian sempat menyebabkan beberapa orang pingsan. Padahal konsernya baru dilaksanakan tiga bulan lagi.
Ketika generasi kita dilanda deman artis-artis Korea (K-POP), banak calon pembeli tiket konser Super Show 4, konser boyband Korea Selatan Super Junior (Suju), akhirnya harus menanggung kecewa dan menangis. Padahal mereka sudah menginap di depan loket dua hari.
Dampak Hilangnya Identitas
Salah satu bagian penting yang banyak diungkap ahli sejarah tentang kalahnya umat Islam dalam Perang Salib –oleh gabungan negara-negara dari daratan Eropa— tidak lain karena lemahnya negeri dan pemimpin-pemimpin Islam akibat dari hilangnya persatuan, jati diri dan budaya agama mereka.
Akibatnya, antara satu muslim dengan muslim yang lain tidak saling mengikat dan memperhatikan. Mereka menjadi lemah karena disibukkan budaya-budaya asing dan perpecahan antar mereka sendiri.
Di bawah pimpinan raja-raja yang lemah secara tauhid, pribadi dan kepemimpinannya, jadikan kerajaan-kerajaan Islam dikalahkan tanpa sedikitpun perlawanan.
Seperti halnya sekarang ini, di mana banyak remaja-remaja Muslim telah kehilangan jati diri, akibat kepungan westernisasi budaya. Maka bukan tidak mungkin kelak mereka akan menjadi generasi lemah terhadap musuh, sehingga begitu mudah musuh menaklukkan kita.
Tidak ada salahnya kita berbuat sesuatu. Setidaknya menyiapkan anak dan adik-adik kita menjadi pemuda Muslim berkarakter, remaja Muslim yang rindu majelis-majelis ilmu sebagaimana Imam Syafi’i dan Imam Nawawi, yang hatinya selalu condong pada ilmu dengan Masjid, bukan pada musik dan sinetron.
Kita rindu remaja yang meneteskan air matanya di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala di kala malam, bukan sebagaimana remaja Barat yang sibuk dengan pesta alkohol dari malam hingga pagi.
Indonesia butuh remaja yang mempunyai tekad menegakkan panji-panji Islam layakya seperti Muhammad Al Fatih Bin Murad Atau Solahuddin Al Ayyubi sang penakluk Jerussalem. Wallah a’lam bi ash-shawab.*
Penulis adalah guru, perindu generasi Shalahuddin
0 Response to "Dicari Pemuda Rindu Masjid, Bukan Perindu Sinetron!"
Post a Comment