Kerumitan Berpikir
ADA satu tradisi positif yang berlaku dan dikembangkan di salah satu sekolah tinggi filsafat terkemuka di negeri ini. Kampus yang didirikan dan diasuh para romo katolik ini tidak menghendaki dosen-dosennya menjadi selebritas televisi. Sebagai akademisi, tugas mereka hanya belajar dan mendidik; bukan tampil menjadi narasumber di layar kaca. Komitmen ini betul-betul diterapkan. Seorang dosennya yang belakangan sering muncul di media dikeluarkan.
Beberapa kenalan saya semasa kuliah dulu banyak yang mendamba ingin masuk ke sekolah filsafat itu. Meski nuansa katolik masih terasa, kampus itu terkesan didesekulerkan, dalam artian tidak eksklusif menerima mahasiswa dari satu agama. Soal ada penyelewengan agama mahasiswa sesuai arah berpikir kampus tersebut, suatu hal niscaya dan mungkin saja terjadi.
Harus diakui, keberadaan nama-nama akademisi yang lebih populer di kalangan pencinta filsafat dan bacaan ‘berat’ itu memiliki kedudukan terhormat. Mereka relatif berwibawa ketimbang para narasumber yang berseliweran di televisi. Meski jarang tampil, saat muncul dan dirujuk, para dosen tersebut bukan sepert orang yang gegar budaya.
Keketatan akademisi katolik itu, sungguh, sebuah pelajaran bagi kita. Mereka tidak berepot untuk tampil di media, terlebih di era pencitraan para pejabat dan/atau politisi sedemikian ekstensif juga masif. Dengan bobot dan wibawa yang tidak mau dibujuk rayu media, rasa-rasanya kesan ‘tidak mudah dibeli’ sukar dielakkan.
Tapi, awal pekan bulan ini, saat mereka berhimpun membicarakan kepemimpinan dan kenegarawanan dalam perspektif filsafat, semua kebaikan yang melekat itu terkikis lantaran kegetola buta membela Basuki Purnama alias Ahok—gubernur pengganti Joko Widodo. Tidak salah membela dan memahami seseorang sebagai sebuah toleransi dan penghargaaan atas proses atau sistem yang berjalan. Hanya ketika filsafat dipakai untuk mengonfirmasi kecenderungan politiknya para intelegensia di sekolah filsafat itu, sungguh tidak elok.
Ada kebaikan pada seseorang pemimpin, tapi ada pula kemungkinan untuk dibenahi atau diberi masukan. Keadilan menimbang ini sebuah adab yang abadi dalam moral Islam. Sepelik apa pun filsafat, kalau muaranya pada politisasi dan penundukkan etika, sama saja dengan perilaku para preman saat berbincang di tepi jalan. Bedanya, yang akademisi cuma romo itu diselubungi keilmiahan dan bahasa rumit. Sementara para preman berbicara dengan ungkapan lugas bahkan sarat cacian.
Sesungguhnya filsafat itu ingin menemukan hakikat secara jujur. Sejatinya tidak ada benturan dengan akal apalagi nurani. Bukan membela Ahoknya yang salah, melainkan membenarkan semua kebijakan Ahok dengan menyandingkannya pada sebuah ketokohan seorang filosof, itulah yang keliru. Jika hendak mendukung Ahok (dan memang benar nama ini menajdi salah satu tema sentral), tidak perlu membahasakan atau merumitkan logika andai premis-premisnya sumir dan kamuflase suara primoridal selama ini. Ahok sebagai simbol minoritas dan keniscayaan dibela dari pesta kesempatan, melupakan kredibilitas para romo-filosof itu. Pokok Ahok kudu dibela, kesannya seperti itu.
Entah mengapa, dalam sejarah pergulatan kekuasaan dan relasi integensia, kalangan katolik acap alami keterbelahan-jiwa. Awalnya atau saat di luar kekuasaan, kritis dan jernih memandang sesuatu. Tapi begitu kepentingan kelompok atau isu primordial menguat bagi dirinya, kejernihan itu pudar. Orde Baru pada era sebelum ICMI atau Habibie kokoh pastilah diingat sebagai keemasan katolik di pusara kekuasaan bersama Suharto.
Poin penting yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah betapa jalan berpikir yang tampak canggih dan intelek, sering kali sebatas kasing ponsel yang tidak stabil kekuatan banting dan sinyalnya. Hanya karena kelompok dan ambisi, semua dipertaruhkan. Yang penting kepentingan menang dan terjaga, posisi wibawa yang dibangun pun rela dipudarkan oleh ulanya. Di kemudan hari punya siasat untuk menyelubungi kesilapan ini.
Belum lama ini seorang jurnalis bercerita bahwa salah seorang purnawirawan jenderal pendukung Joko Widodo begitu masygul dengan komposisi menteri. Jelas sang jenderal paham kapasitas dan kapabilitas para menteri Jokowi. Sayangnya, ia tidak sedikit pun menyesal dengan pilihannya betapapun otak warasnya kecewa. Baginya, asal bukan Prabowo jauh lebih penting dan berharga. Lagi-lagi kepentingan mengalahkan akal sehat dan nurani.
Sang jenderal selama ini ternyata merumit-rumitkan alasan membela Jokowi. Terkesan jantan dan patriotis demi negara. Dia tahu yang didukungnya tidak ideal. Yang dia lakukan sekadar berspekulasi, dan itu dianggapnya sebuah kebaikan.
Merumitkan pikiran sebagai jalan menutupi ambisi dan kepentingan sudah sering dilakukan banyak figur penting, kelompok, dan belakangan media massa. Semuanya tidak malu mengindahkan sesuatu sebagai sebuah hal muluk, padahal hakikatnya biasa-biasa saja. Saat ini, hal-hal yang biasa-biasa itu sudah tampil sebagai pemenang, dan banyak yang kemudian tersadar. Sebagian, karena gengsi, memilih membela buta. Sebagian yang lain, dan ini kantong para intelegensia macam rohianiawan dan eks jenderal di atas, memilih ‘memfilsafatkan’ keadaan. Padahal, sesungguhnya mereka tengah lakukan pembualan lewat kata-kata rumit. []
Redaktur: Saad Saefullah
0 Response to "Kerumitan Berpikir"
Post a Comment