-->

Mengkritik para Alim

banner yusuf2 Mengkritik para Alim


INDONESIA memang sungguh negara amat demokratis. Saking demokratisnya, siapa saja bisa bersuara mengomentari pikiran atau pendapat orang. Ucapan atau ide orang segera disahut karena ketidaksetujuan atau menyinggung keyakinan.


Bila yang dibantah itu orang awam dan tidak paham ilmu, tidak mengapa. Anggap saja sekadar keriuhan ala warung kopi atau angkringan. Berbeda opini tidak kenal henti karena yang dikehendaki kegayengannya berdiskusi. Lain halnya bila yang bicara memiliki kompetensi, kiranya sanggahan kita perlu bijak bestari. Andaipun si alim silap bertutur, adab dijaga beriringan dengan kuatnya hujjah kita.


Berhati-hati mengkritik para alim peneguh agama tentu saja salah besar bila dimaknai memelihara kritik. Bahkan alim yang mumpuni justru bangga ketika dirinya dikritik atau diberikan saran. Nabi Muhammad dan para sahabatnya pun demikian. Otoriter dan antikritik tidak dikenal dalam khazanah kemuliaan dan keilmuan Islam.


Maka, tidak ada larangan menasihati seorang alim dari Bandung ketika beliau dianggap bergegas mencemasi perilaku merokok salah satu menteri di pemerintahan sekarang. Bisa saja nasihat sang ulama itu keliru. Tapi, menuding sang alim tidak adil bersikap hanya lantaran dianggap tidak bersuara soal kebohongan, korupsi, dan perilaku takpatut lainnya dari banyak pejabat publik, juga tidaklah tepat. Menghendaki alim tersebut mengkritik pejabat yang tidak menepati janjinya, sebagaimana saat beliau mencemasi perilaku merokok seorang menteri, sering kali hanyalah permainan emosi simpati kita pada kubu yang selama ini kadung dicintai.


Kita menuntut keadilan menilai pada alim tadi. Penguasa terdahulu berjanji ini dan itu, dan dianggapnya sang alim diam saja. Padahal, menurutnya, berbohong juga dosa yang patut dicemasi bakal ditiru anak-anak. Analogi ini sekilas mirip, tapi—sekali lagi—sekadar alibi penutup lemahnya kita menerima kritik bagi orang yang dipuja. Andai saja orang yang mencela itu rutin dan lengkap mendengarkan ceramah-ceramah alim dari Bandung, bakal ditemui dakwah bahaya berdusta, pentingnya amanah, dan seterusnya yang konteksnya tidak berbeda jauh dengan harapan si pencela hari ini.


Apakah karena sang alim dahulu tidak menyebut eksplisit, katakanlah (mantan) Presiden SBY dalam kasus pengingkaran janji menangani kasus Munir, sebagaimana dalam kasus menteri perokok, maka dakwah-dakwah soal amanah dan kejujuran tidak bisa dikatakan ada? Haruskah alim Bandung itu tegas menyebutkan si fulan begini dan begitu seperti mengarahkan perhatian publik dalam kasus menteri perokok?


Tidak adil kiranya, dakwah-dakwah yang berisikan ajakan menjaga amanah dan kejujuran dianggap tidak ada hanya karena tiadanya ucapan tegas dan jelas menyebut seseorang sebagai pelaku ketidakpatutan yang rentan ditiru anak-anak.


Kebergegasan dan kepekaan sebagian orang pada ucapan alim-alim nan saleh memang seolah ekspresi berdemokrasi paripurna. Senyampang kasus alim Bandung, alim Betawi ‘terpeleset’ dengan ungkapan bahasa Arab sebagai bahasa satu-satunya di surga. Banyak yang tersinggung dan menganggapnya tidak berdalil. Lantas, dirundunglah sang alim tanpa pelakunya merasa bersalah. Seolah alim tidak boleh salah, kita tidak mempersilakan adanya adab mengklarifikasi.


Ada yang meminta soal dalil, padahal yang memintanya sering kali beraktivitas tanpa dalil. Tumben-tumbennya menagih dalil pada opini yang dianggapnya ‘aneh’. Ada lagi yang menyebutkan kekeliruan semantik dan mantik (logika). Secara silogisme, bisa saja. Kerapian bahasa, penyusunan premis hingga kesimpulan sang alim Betawi ini boleh jadi keliru. Tapi, adab mencaci jelas tidak elok pertanda tidak dihargainya andil beliau terhadap negeri ini. Jelas sekali, ucapannya bukan untuk menegasikan hak masuk surga bagi siapa pun. Karena toh beliau tidak berotoritas memasukkan siapa pun ke surga ataukah neraka.


Terpakunya kita pada penampakan kebahasaan dan logika, melupakan kenyataan bahwa ucapan sang alim Betawi itu harus dilihat dari balik selubung bahasa. Tidak sekadar kata-kata rapi sehingga jernih dan benar penarikan kesimpulannya. Kita lupa, ucapan ‘lugas‘ dan mungkin tidak lempang secara logika itu tidak mengurangi metafisis di baliknya. Ucapan sang alim tidak berdiri sendiri dengan aturan yang menjiwai keyakinannya, dalam hal ini: Islam.


Maka, melihat ucapan tersebut semata dari logika dan kebahasaan jelas akan buntu dan berbeda orientasi. Menagih dalil mungkin lebih mending walaupun harus dibedakan antara teks tuturan si alim dengan teks sumber berotoritas (Quran dan Hadits). Meluruskan ataupun mengkritik dengan dalil akan lebih elegan. Atau syukur dengan metafisis moral khususnya. Semua bahasa di dunia punah kecuali bahasa Arab, perlu dilihat sebagai ucapan transenden; bukan kekinian dalam perspektif multikulturalisme atau bahkan politis. Curiga tidak berkehabisan yang muncul!


Ucapan sang alim Betawi jelas hanya refleksi saripati ajaran keislaman yang dipahaminya. Keyakinan Islamnya menyebutkan yang selamat di alam akhirat adalah hamba-Nya yang beriman; dan untuk beriman, jelaslah yang merujuk perilakunya dengan Quran dan Hadits. Jadi, dalam hal ini tidak ada kemajemukan untuk menafsirkan. Bisa rusak tatanan moral agama bila semena-mena tafsiran diperbolehkan. Soal eksklusifnya ucapan sang alim, itu karena dia punya sumber referensi. Nah, masalahnya, kita yang menginginkan siapa pun bisa dan berhak ke surga tanpa melihat kualitas iman atau bahkan pilihan keyakinan (baca: agama), apakah sahih rujukannya?


Si alim jelas tidak sedang menjadi malaikat penyeleksi umat manusia. Lewat premis kontroversialnya dia sekadar memotivasi atau memantulkan sebagian sendi keyakinannya—dan itu berdasar dalil pula. Tidak ada penghakiman, baik tersirat apalagi tersurat, bahwa yang belum bisa atau tidak bisa berbahasa Arab tidak masuk surga. Bukan, bukan relasi “jika ini… maka itu”. Juga ucapan itu tidak mengingkari fakta betapa banyaknya orang Arab yang fasih berbahasa Arab tapi tidak terbebas dari ancaman bui neraka.


Bila demikian, mengapa sebagian orang begitu peka dengan silogisme sang alim? Jangan-jangan resah kita bukan karena penarikan kesimpulan logika yang ngawur, melainkan karena kita sendiri tidak betul-betul siap disebut beragama secara hanif. Kita kadung peka seakan ucapan itu tertuju khusus pada kita, padahal tidak ada niatan sama sekali.


Begitulah, alim-alim di negeri ini menjadi bulan-bulanan sebagian umatnya. Umat yang merasa perlu meluruskan ‘kebenaran’, kendati sebenarnya dia tanpa sadar mengokohkan ideologi atau kepentingan kelompok. Umat yang merasa perlu mengoreksi ‘sesat pikir’ alim tertentu, walau sebenarnya kita gagal masuk ke alam metafisis keislaman. Dan konyolnya pula, kadang kita tidak lengkap mengikuti jalan berpikir saling alim, sebelum akhirnya kita memberikan catatan kritis. []


Redaktur: Saad Saefullah


0 Response to "Mengkritik para Alim"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close