Ngulik Definisi dan Subtansi antara NEGARA, PEMERINTAH, REZIM, DAN POLITISI, APA BEDANYA?
Oleh : Choirul Anam
Banyak orang menganggap bahwa bahasa dan definisi itu tidak terlalu penting, yang terpenting adalah substansinya. Pernyataan itu memang tidak salah, bahwa yang penting memang substansi dan faktanya, bukan sekedar bahasa yang digunakan. Sekedar contoh masalah riba, apapun namanya, riba adalah riba. Riba memiliki fakta dan merujuk pada akad mua’malah tertentu. Fakta itu tidak berubah hanya karena diubah namanya. Meskipun diberi nama wadi’ah, mudlorobah, murabahah atau nama apapun, secantik dan seislami apapun namanya, jika faktanya adalah riba, maka ia tetap riba dan diharamkan oleh Islam.
Namun demikian, bahasa dan definisi tidak bisa diabaikan begitu. Bahasa dan definisi merupakan hal yang sangat penting. Orang sering salah bertindak dan bersikap hanya karena kesalahan bahasa dan definisi yang digunakan. Contohnya adalah tentang terorisme. Terorisme adalah sebuah kata yang memiliki definisi tertentu. Menurut ilmu politik, terorisme adalah sebuah tindakan menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau negara tertentu, untuk mencapai tujuan politik tertentu. Jika definisinya seperti itu, seorang politisi atau parpol yang menggunakan intimidasi dan kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu, bisa dikatakan pelaku terorisme. Tetapi apa ada yang mengatakan bahwa parpol itu teroris, apalagi ditangkap densus 88. Kalaupun ada yang menangkap, itu pasti KPK, bukan densus 88. Jika definisi terorisme seperti itu, maka tindakan Amerika menyerang Irak, jelas tindakan terorisme. Tapi kenyataannya, apa berani densus 88 mengatakan bahwa AS adalah negara teroris. Bagi AS sendiri, terorisme didefinisikan sebagai semua tindakan yang dilakukan individu, kelompok atau negara tertentu yang mengganggu kepentingan AS. Dengan definisi ini, AS tak akan pernah menganggap bahwa Negara Israel adalah negara teroris, karena Israel adalah waliyyun hamim (kekasih yang mesra) baginya. Dengan definisi itu pula, AS kemudian menganggap bahwa gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan Syariah dan Khilafah sebagai pelaku terorisme, meskipun gerakan-gerakan Islam itu tidak pernah menggunakan kekerasan fisik dalam perjuangannya. Lalu, AS mengajak seluruh negara di dunia untuk berperang melawan terorisme, sesuai dengan definisi AS. Jadi, tampak bahwa penggunaan bahasa dan definisi yang berbda, sangat berpengaruh pada sikap dan tindakan yang berbeda pula.
Karena itu, dalam kehidupan ini, kita harus berusaha memahami fakta dan substansi suatu hal dengan baik, juga memahami bahasa yang tepat dan definisi yang benar. Dengan demikian kita akan mampu bersikap dan bertindak dengan benar, juga tidak mudah diombang-ombing oleh isu dan opini yang dihembuskan oleh kelompok tertentu.
Pada tulisan yang lalu, kita telah membahas definisi negara dan bangsa. Saat ini kita akan membahas definisi negara, pemerintah dan rezim. Banyak orang yang terbalik-balik dan keliru dalam menggunakan istilah ini, sehingga berdampak pada sikap dan tindakan yang keliru juga. Ada pula orang yang dengan sengaja mengacaukan istilah ini untuk kepentingan tertentu. Banyak politisi yang membela dan bekerja untuk rezim tertentu, tetapi katanya bekerja untuk kepentingan negara. Yang lebih dramatis, banyak orang yang menumpuk uang untuk kepentingan pribadinya serta merusak bangsa dan masyarakatnya, tetapi berkoar-koar bahwa dia bekerja demi negara dan bangsanya yang tercinta.
*****
Pada pembahasan sebelumnya, negara diartikan sebagai organisasi dalam suatu wilayah tertentu yang diatur oleh kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Negara adalah organisasi yang dibuat untuk mengatur masyarakat. Negara dibuat oleh masyarakat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Negara sendiri terdiri dari empat komponen penyusun, yaitu masyarakat, wilayah, pemerintahan, dan kedaulatan.
Dari penjelasan tersebut tampak, bahwa pemerintahan bukanlah negara. Pemerintahan merupakan bagian dari penyusun negara. Pemerintahan merupakan alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan dari didirikannya negara. Sementara pemerintah adalah pihak yang memimpin organisasi pemerintahan.
Lalu apa itu rezim?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan bahwa rezim adalah pemerintahan yang berkuasa: misalnya, diberitahukan bahwa rezim lama sudah jatuh; rezim
militer sistem pengelola pemerintahan yang dijalankan oleh militer.
militer sistem pengelola pemerintahan yang dijalankan oleh militer.
Jadi, rezim adalah kelompok tertentu yang sedang menduduki pemerintahan pada periode tertentu. Misalnya, Rezim Soekarno, Rezim Soeharto, Rezim Habibie, Rezim Abdur Rahman Wahid, Rezim Megamwati, Rezim Sosilo Bambang Yudoyono (SBY), dan Rezim Joko Widodo (Jokowi). Penyebutan rezim dengan nama kepala negara ini hanya untuk memudahkan identifikasi. Rezim Soeharto misalnya, tentu bukan hanya Pak Soeharto saja, tetapi semua orang yang terlibat dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Pak Soeharto. Oleh karena itu, jika terjadi kesalahan, tentu bukan hanya Pak Soeharto saja yang disalahkan, tetapi semua pihak yang terlibat di dalamnya, meskipun beliau adalah orang yang memang paling bertanggung jawab. Demikian pula jika mendapatkan pujian, tentu bukan hanya beliau saja secara pribadi. Rezim di sini merupakan istilah yang netral, tidak negatif dan tidak pula positif. Meskipun saat ini terkesan negatif, karena rezim sering dijadikan sebagai rujukan kepada pemerintah yang dianggap menindas atau tidak sah, sehingga dalam konteks ini, kata tersebut mengandung makna penolakan moral ataupun oposisi politik
Dalam setiap rezim, pasti terdapat banyak politisi. Politisi merupakan orang yang secara normatif mengabdikan dirinya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Para politisi inilah yang mengisi berbagai pos dalam sebuah pemerintahan dan rezim tertentu. Meskipun banyak pula para politisi yang berada di luar pemerintahan dan rezim tertentu.
Dengan memperhatikan definisi di atas, tampak bahwa negara berbeda dengan pemerintah, pemerintah berbeda dengan rezim, dan rezim berbeda dengan politisi. Perbedaan ini tampak jelas, seperti berbedanya pohon, dahan, ranting, daun, dan buah. Ketika disebutkan nama rambutan, konotasinya biasanya memang buah rambutan. Seperti pertanyaan: rambutannya enak nggak? Pasti yang dimaksud adalah buah rambutan. Namun bisa jadi ketika disebut rambutan yang dimaksud adalah pohon rambutan, ranting pohon rambutan atau daun rambutan. Seperti, enaknya ya, duduk di bawah rambutan...
Karena fakta dari keempatnya (negara, pemerintah, rezim, politisi) berbeda, maka dalam penggunaan dan penempatan juga harus berbeda. Namun terkadang, semua dicampur aduk sehingga menimbulkan kebingungan. Adanya kebingungan ini memang akan memberikan keuntungan bagi kelompok tertentu untuk mengail di air yang keruh.
*****
Mungkin muncul pertanyaan, saat seorang politisi menduduki pos tertentu dalam sebuah pemerintahan atau rezim berkuasa, untuk kepentingan siapakah mereka bekerja? Jawabnya, tentu saja sangat beragam. Saat mereka berkuasa mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda, sehingga pihak yang dibela juga berbeda-beda. Pada Gambar di bawah terdapat hirarki kepentingan yang dibela oleh seorang politisi, atau sebuah rezim, atau sebuah pemerintahan.
Mungkin muncul pertanyaan, saat seorang politisi menduduki pos tertentu dalam sebuah pemerintahan atau rezim berkuasa, untuk kepentingan siapakah mereka bekerja? Jawabnya, tentu saja sangat beragam. Saat mereka berkuasa mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda, sehingga pihak yang dibela juga berbeda-beda. Pada Gambar di bawah terdapat hirarki kepentingan yang dibela oleh seorang politisi, atau sebuah rezim, atau sebuah pemerintahan.
Seharusnya, siapapun politisi, rezim atau pemerintasan berkuasa, kebijakan yang diambil adalah untuk kepentingan masyarakat. Sebab, negara dibuat sejak awal, memang untuk kepentingan masyarakat yang ada di wilayah itu. Mereka juga dibayar dari dana masyarakat, baik dibayarkan secara langsung oleh masyarakat dalam bentuk pajak, atau dari harta umum milik masyarakat seperti tambang minyak dan lain sebagainya. Jadi, seharusnya mereka memang harus bekerja untuk kepentingan masyarakat.
Namun, apakah kenyatannya mereka selalu bekerja untuk kepentingan masyarakat? Tentu saja, belum tentu. Antara SEHARUSNYA dan SENYATANYA memang belum tentu sama. Hal ini, TERUTAMA sangat di pengaruhi oleh sudut pandang dan sistem yang digunakan.
Terkadang kebijakan diambil itu hanya untuk kepentingan PRIBADI POLITISI atau pejabat. Mereka tak peduli lagi dengan masyarakat atau yang lainnya. Tambang-tambang minyak, emas, batu baru, hutan dan lainnya, diserahkan kepada sawasta, baik asing atau domestik, hal ini sering sekali semata-mata untuk kepentingan pribadi para politisi pengambil kebijakan. Sekedar contoh, seorang pejabat terkadang butuh uang sangat besar, baik untuk bayar hutang (karena saat kampanye membutuhkan biaya yang sangat besar dan diperoleh dari pinjaman) atau untuk ditimbun buat anak dan cucunya. Mereka menyerahkan tambang tertentu ke swasta, lalu secara personal ia meminta sejumlah uang dengan nilai tertentu sebagai kompensasi. Ini bukan praktik yang langka. Di Indonesia, praktik seperti ini terlalu banyak untuk disebutkan. Praktik seperti ini memang dapat terjadi pada sistem apapun, namun sistem demokrasi menumbuh-suburkan praktik-praktik seperti ini. Sebagaimana diketahui, sistem demokrasi mengharuskan biaya yang teramat mahal bagi seseorang untuk dapat menduduki pos tertentu di dalam sebuah pemerintahan, apalagi pucuk pimpinan pemerintahan. Sehingga saat seseorang menempati posisi tertentu, yang dipikirkan adalah balik modal dan profit taking.
Terkadang kebijakan diambil itu hanya untuk kepentingan KELOMPOK tertentu, bukan lagi individu tertentu. Kelompok tertentu ini bisa jadi kelompok politisi tertentu, atau kelompok kapitalis tertentu atau yang lain. Sekedar contoh, kita bisa saksikan dengan kasat mata fenomena saat ini. Saat partai tertentu mendapat jatah kursi di kabinet, maka konsekuensinya partai itu harus mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Lalu individu politisi yang ada pada partai tertentu, konsekuensinya juga harus mendukung kebijakan partainya yang mendukung kebijakan pemerintah. Misalnya saat kebijakan kenaikan BBM, politisi tidak lagi berpikir masyarakat, mereka hanya melihat kepentingan partainya. Kalau partainya mendukung, mereka ikut mendukung, saat partainya menolak mereka juga ikut menolak. Dengan sikap seperti itu kepentingan kelompoknya akan terpenuhi. Kursi empuknya akan aman. Maka, jangan heran jika mereka plin-plan, misalnya dulu menolak kenaikan BBM, sekarang mendukung kenaikan BBM. Mereka sebenarnya bukan plin-plan, tetapi konsisten, yaitu konsisten dalam mendukung kepentingan kelompoknya (partainya) dan konsisten dalam mengabaikan kepentingan rakyat.
Terkadang kebijakan diambil itu hanya untuk kepentingan REZIM tertentu. Misalnya kebijakan untuk mengambil hutang ke IMF. Kebijakan ini jelas tak ada manfaatnya bagi masyarakat, juga tak ada manfaatnya bagi pemerintah secara keseluruhan. Namun, pengambilan hutang ini sangat menguntungkan rezim yang berkuasa, karena tersedia cash money dalam nilai yang besar, sehingga rezim yang ada bebas menggunakannya. Kebijakan ini tentu membebani masyarakat dan rezim berikutnya.
Terkadang kebijakan diambil itu hanya untuk kepentingan PEMERINTAH. Iya untuk kepentingan makhluk bernama pemerintah. Contoh paling sederhana adalah masalah kenaikan BBM. Menurut pemerintah subsidi BBM sudah sangat membebani pemerintah (meski ini masih diperdebatkan kebenarannya), karenanya subsidi harus dicabut, meskipun harus menyengsarakan masyarakat, terutama masyarakat yang kurang mampu. Bagi pemerintah, yang harus diringankan adalah beban pemerintah, bukan beban masyarakat. Masalah beban masyarakat itu urusan belakangan. Apalagi jika masa pemilu masih lama... Jadi terkadang, pemerintah kaya, tapi rakyatnya miskin, dan sebaliknya pemrintahannya miskin tapi rakyatnya kaya. Karena memang keduanya dua hal yang berbeda.
Terkadang kebijakan diambil itu hanya untuk kepentingan NEGARA. Berbagai proyek mercusuar di bangun dengan dana yang teramat-sangat besar, sementara rakyat mengalami kesulitan hidup yang luar biasa. Atau diadakan pesta dan perayaan yang teramat sangat megah, misal miss universe, worl cup dan lain sebagainya. Apakah semua itu bermanfaat bagi rakyat? Mungkin iya, satu atau dua gelintir orang, tetapi secara umum tidak ada manfaatnya. Namun, pengambil kebijakan biasanya tetap ngotot. Lalu apa alasannya? Ini adalah demi harga diri kita, negara kita.
Padahal, kebijakan diambil seharusnya untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk yang lain.
*****
Apakah bentuk organisasi negara berimplikasi pada kebijakan yang diambil? Tentu saja, iya.
Dalam organisasi pemerintahan model kerajaan, kebijakan diambil untuk kepentingan raja dan kelompoknya. Rakyat hanya akan diperhatikan kepentingannya, jika raja berbaik hati. Aturan mainnya memang begitu.
Apakah bentuk organisasi negara berimplikasi pada kebijakan yang diambil? Tentu saja, iya.
Dalam organisasi pemerintahan model kerajaan, kebijakan diambil untuk kepentingan raja dan kelompoknya. Rakyat hanya akan diperhatikan kepentingannya, jika raja berbaik hati. Aturan mainnya memang begitu.
Dalam model demokrasi (kapitalisme), kebijakan diambil sesuai kesepakan masyarakat. Masyarakat di sini diwakili oleh pihak tertentu yang dinamakan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Jadi, dalam demokrasi segala kebijakan ditentukan berdasarkan kesepakatan para wakil rakyat, bukan rakyat. Dalam demokrasi, untuk dapat menjadi wakil rakyt harus didukung oleh rakyat, sementara untuk mendapat dukungan harus membutuhkan biaya yang sangat besar, dan yang memiliki modal adalah para kapitalis. Karena itu, seorang politisi agar memperoleh pos tertentu, harus didukung oleh para pemilik modal atau dia sendiri seorang pemilik modal. Pesta demokrasi ini berjalan secara rutin secara berkala, sehingga untuk tetap bertahan di posisinya, ia harus selalu didukung dengan modal yang besar. Inilah yang menyebabkan sistem demokrasi sangat mahal. Sementara rakyat itu hanya atas nama saja. Jadi sederhananya, semua kebijakan di dalam model demokrasi, diputuskan berdasarkan kesepakatan wakil rakyat yang dikendalikan oleh para kapitalis. Aturan mainnya memang begitu.
Dalam sistem Khilafah, kebijakan yang diambil harus bersumber dari syariah Islam, bukan untuk kepentingan khalifah atau yang lain. Syariah Islam adalah aturan yang berasal dari Sanga Pencipta, yang aturannya pasti sangat adil. Karena itu, dipahami dengan sangat mendalam oleh masyarakat, bahwa syariah Islam adalah untuk kebaikan masyarakat. Dalam model Khilafah, seoarang pemimpin atau wakil rakyat, tidak mendapat hak istimewa apapun.
Bentuk organisasi negara adalah masalah kesepakatan masyarakat. Sementara kesepakatan masyarakat tergantung pemahaman masyarakat. Bagi masyarakat yang memahami bahwa demokrasi adalah sistem organisasi terbaik, mereka akan mati-matian membela demokrasi. Sebaliknya, masyarakat yang memahami bahwa khilafah adalah sumber dari segala sumber kekacauan di masyarakat, lalu mereka memahami bahwa organisasi pemerintahan terbaik adalah Khilafah, maka mereka akan menolak demokrasi dan berjuang dengan sungguh-sungguh agar Khilafah bisa tegak kembali. Oleh karena itu perubahan di masyarakat harus dimulai dari mengubah pemahaman masyarakat. Ini memang aktivitas yang berat dan tidak kasat mata, tetapi begitulah satu-satunya mengubah masyarakat.
Wallahu a’lam.
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Ngulik Definisi dan Subtansi antara NEGARA, PEMERINTAH, REZIM, DAN POLITISI, APA BEDANYA?"
Post a Comment