Tahun 2015, Pemuda Islam Jangan Lagi Takut Bersuara
Siapapun bisa menjadi agen dakwah, saat itulah peranan pemuda terasa di masyarakat
Related
Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Bachtiar Nasir
Hidayatullah.com–Tahun 2015 akan kita masuki hanya dalam hitungan jam. Ada banyak persoalan umat yang menunggu diselesaikan. Berbekal iman dan ilmu, pemuda Islam diharapkan berada di garis terdepan estafet dakwah. Demikian dikatakan Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Bachtiar Nasir.
“Begitulah seharusnya sikap pemuda Islam. Keberadaannya terasa karena Ia berperan di masyarakat. Ketika masyarakat membutuhkan perlindungan, pemuda Islam yang tampil. Ketika masyarakat membutuhkan bantuan, pemuda Islam yang ambil peran,” ujar pria yang belum di hadapan ratusan pemuda yang menghadiri Qur’anic Generation (Q-Gen) Big Festival, di AQL Islamic Center, Jakarta.
Lebih jauh, Bachtiar mendukung keberanian pemuda untuk bersuara. Diharapkan, pemuda Islam menjadi tulang punggung masyarakat yang sedang mencari perlindungan.
Bachtiar juga meyakinkan, berbekal iman dan ilmu, pemuda Islam akan disegani lawan. Bergerak di masyarakat, tidak hanya bermodal keberanian. Membekali diri dengan ilmu syariah dan pengetahuan umum, wajib hukumnya bagi setiap pemuda Islam.
Ia mencontohkan seperti kurikulum pendidikan nasional tahun 2013 yang belakangan ini hangat dibicarakan. Kurikulum tersebut juga perlu dibaca sebelum advokasi dilakukan.
Begitu juga dengan kebijakan pelarangan siswi berjilbab di sekolah. Pemuda Islam harus mengetahui secara jelas kemana arah pelarangan itu sebelum mendatangi Kepala Sekolah.
Penyampaiannya, lanjut Bachtiar, tidak harus dengan kekerasan. Seringkali keberanian berbalut kesantunan lebih efektif menuai simpati. Hal itu seperti yang dialami oleh seorang kawannya yang menginap di sebuah hotel di Pekanbaru, Riau.
Menjelang perayaan Natal, hotel itu mewajibkan seluruh karyawannya memakai topi Sinterklas terutama saat penyambutan tamu hotel. Padahal, sebagian besar karyawan beragama Islam.
“Karena resah, teman saya itu mendatangi manajer hotel dan mengatakan, “Maaf, Pak, Riau ini mayoritas penduduknya muslim. Karyawan non Islam di sini juga tidak pernah dipaksa untuk memakai peci ketika Idul Fitri. Lalu, kenapa karyawan Muslim disuruh pakai topi Sinterklas?”,” tanya sang teman yang tetap menjaga nada suaranya.
Pendapat yang disampaikan dengan ketenangan itu akhirnya ditindaklanjuti dengan perintah untuk tidak lagi memakai topi Sinterklas keesokan harinya.
Cerita itu, kata Bachtiar, bisa menyemangati para pemuda Islam untuk tidak takut bersuara. Siapapun bisa menjadi agen dakwah. Saat itulah peranan pemuda terasa di masyarakat.
“Seorang pemuda akan dibutuhkan masyarakat jika terasa perlindungan serta manfaatnya,” tukas alumni Universitas Islam Madinah itu.*
0 Response to "Tahun 2015, Pemuda Islam Jangan Lagi Takut Bersuara"
Post a Comment