KHILAFAH ITU MENGIKUTI MADZHAB APA?
Oleh : Muhammad Choirul Anam (Disadur dari Buku " Cinta Indonesia Rindu Khilafah"
Banyak sekali orang yang menanyakan: Khilafah itu mengikuti madzhab apa? Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah, Ja’fariyah atau yang lain? Lalu jika Khilafah mengikuti madzhab tertentu, nanti bagaimana dengan umat Islam yang tidak mengikuti madzhab yang sama dengan Khilafah? Apakah mereka akan dipaksa meninggalkan madzhab-nya atau bagaimana?
Banyak sekali orang yang menanyakan: Khilafah itu mengikuti madzhab apa? Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah, Ja’fariyah atau yang lain? Lalu jika Khilafah mengikuti madzhab tertentu, nanti bagaimana dengan umat Islam yang tidak mengikuti madzhab yang sama dengan Khilafah? Apakah mereka akan dipaksa meninggalkan madzhab-nya atau bagaimana?
Pertanyaan
ini diajukan, biasanya karena tiga alasan: Pertama,
untuk meminta kejelasan tentang madzhab
yang akan diadopsi Khilafah. Pihak yang mengajukan pertanyaan memang dengan
tulus untuk meminta penjelasan seputar madzhab
dalam Khilafah. Kedua, terkadang ada
yang mengajukan pertanyaan ini karena adanya ketakutan dalam dirinya seandainya
nanti ada semacam pemaksaan untuk mengikuti madzhab
tertentu. Saya pernah ditanya oleh sebagian masyarakat: bagaimana dengan tahlilan dan qunut, apakah nanti akan dilarang? Pertanyaan ini hal yang sangat
wajar, mengingat saat ini, beberapa pemerintahan yang mengaku menerapkan Islam
(meskipun sebenarnya penerapan Islam itu hanya dalam sebagian kecil hukum
Islam), mereka memaksa rakyatnya mengikuti madzhab
yang diadopsi oleh penguasa. Ketiga,
terkadang ada yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini dalam rangka
mencari-cari alasan (ta’annut) agar
terkesan bahwa Khilafah itu tidak operasional, utopis, banyak problem, tidak
cocok untuk kondisi sekarang, dan lain-lain. Permasalahan madzhab hanya dijadikan alasan untuk menebarkan keraguan tentang
wajibnya Khilafah dan untuk mempertahankan status quo.
Di
sini, tidak akan dibahas tentang motivasi pertanyaan tersebut lebih lanjut,
karena membahas motivasi tidak terlalu penting. Justru yang terpenting adalah
membahas substansi pertanyaan: apakah Khilafah nanti akan mengadopsi madzhab tertentu? Bolehkah Khilafah
mengadopsi madzhab tertentu?
Bagaimana ketentuan tentang madzhab
dalam Khilafah?.
Pembahasan
hal ini sebenarnya cukup panjang. Dalam pembahasan ini akan diulas poin-poin
yang penting saja.
******
Bolehkah Khilafah mengadopsi madzhab
tertentu?. Jawabannya
jelas, yaitu tidak boleh. Ada beberapa hal yang membuat Khilafah tidak boleh
mengadopsi madzhab tertentu,
diantaranya:
Pertama, karena Khilafah adalah
negara bagi umat Islam di seluruh dunia, yang menjadi wadah bagi mereka, yang
menyatukan mereka, meskipun mereka memiliki perbedaan latar belakang paham
keagamaan, madzhab dan bangsa. Dengan
begitu, umat ini akan menjadi satu umat, satu negara, dan satu kepemimpinan. Sebab,
memang tidak akan pernah ada Islam kecuali dengan jamaah (persatuan), dan tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan (Khilafah), dan tidak ada
kepemimpinan kecuali dengan keta’atan. Dalam hal ini, Sayyidina Umar bin
al-Khatthab pernah menyatakan:
]لاَ
إِسْلاَمَ إِلاَّ بِالْجَمَاعَةِ وَلاَ جَمَاعَةً إِلاَّ بِالإِمَارَةِ وَلاَ إِمَارَةَ
إِلاَّ بِالطَّاعَةِ[
“Tidak
ada Islam tanpa jamaah (persatuan umat). Tidak ada jamaah tanpa
kepemimpinan (Khilafah). Dan tidak ada kepemimpinan tanpa keta’atan.”
Artinya,
dengan adanya kepemimpinan (Khalifah) itulah jamaah (persatuan dan kesatuan) kaum Muslim di seluruh dunia akan
bisa diwujudkan. Karena itu, Khilafah akan menyatukan hal-hal yang harus
disatukan, tetapi tetap membiarkan terjadinya perbedaan pada ha-hal yang diijinkan berbeda oleh Islam,
diantaranya tentang perbedaan madzhab.
Kedua,
bahwa
umat Islam di seluruh dunia memang wajib bersatu adalah perkara ma'lum minad
diin bidh-dharurah (sesuatu yang
sudah diketahui secara pasti dalam agama). Hanya saja, tidak bisa dinafikan
bahwa umat Islam memiliki berbagai mazhab
keislaman, yang berbeda baik dalam hal cabang-cabang akidah maupun cabang-cabang
hukum syariah. Perbedaan pemahaman ini merupakan keniscayaan yang tidak dapat
dihindari, karena dua faktor yang sama-sama dibenarkan oleh Islam; (1) faktor nash yang dzonni, baik tsubut
(penetapannya) maupun dalalah
(penunjukannya), yang berpotensi untuk dipahami secara berbeda. Dalam hal tsubut (penetapan), umat terkadang
berbeda, misalnya tentang apakah hadits dhoif
bisa dijadikan hujjah, dan lain-lain.
Dalam hal dalalah (penunjukan), umat
terkadang berbeda dalam memahami makna amar
(perintah), apakah perintah bermakna wajib atau sunnah atau mubah, dan lain
sebagainya. (2) faktor intelektual, pengalaman, dan latar belakang di kalangan
umat. Hal ini juga berpotensi untuk menghasilkan pemahaman terhadap nash secara berbeda satu sama lain. Perbedaan
dalam urusan furu’, itu hal yang
sangat lazim di dalam Islam. Sekedar contoh, sebagaimana dikutib Syeikh Hasyim Asy’ari dalam kitab At-tibyan fi An- nahyi ‘An Muqoti'atil Arham
wal Aqorib wal Ikhwan, bahwa telah terjadi ikhtilaf dalam urusan furu'
antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Malik dalam masalah yang sangat banyak,
bahkan sampai kira-kira 14.000 masalah, baik dalam masalah ibadah maupun
mu'amalah.
Masalah
ikthilaf ini, telah dibahas secara lengkap oleh Syeikh Muhammad Syuwaiki dalam kitab Al-Kholas wa Ikhtilafu An-Naas.
Dengan
kenyataan ini, bukan berarti persatuan dan kesatuan umat Islam di seluruh dunia
tidak bisa diwujudkan. Persatuan itu tetap bisa diwujudkan, meski terjadi
perbedaan-bedaan pada hal-hal tertentu. Kesatuan umat bisa diwujudkan jika ada
negara yang menyatukannya, dan negara tersebut tidak berpihak pada mazhab tertentu, tetapi mengayomi semua mazhab.
Fakta-fakta
di atas hanya bisa diwujudkan jika Khilafah dibangun berdasarkan akidah dan
hukum Islam, bukan mazhab tertentu,
baik dalam hal akidah maupun syariah. Ini artinya, Khilafah tidak boleh
mengadopsi dan memaksakan pemikiran mazhab
dan furu' akidah tertentu. Karena dengan diadopsinya pemikiran mazhab dan furu' akidah tertentu,
berarti negara akan memaksa orang yang telah memeluk Islam untuk memeluk
pemikiran akidah tertentu. Tentu ini lebih tidak boleh, karena memaksa orang
kafir (yang notabene belum memeluk Islam) untuk memeluk Islam saja tidak boleh.
Allah Swt. berfirman:
]لاَ إِكْرَاهَ
فِي الدِّيْنِ[
Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama Islam. (QS al-Baqarah [2]: 258).
Ketiga, jika Khilafah mengadopsi dan
memaksakan suatu madzhab tertentu
kepada masyarakat, maka kebijakan Khilafah ini pasti akan menimbulkan haraj (kesulitan)
di tengah-tengah kehidupan umat, sementara hal ini juga tidak dibenarkan dalam
Islam. Allah Swt. berfirman:
]وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ[
Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kalian suatu kesempitan dalam agama. (QS
al-Hajj [22]: 78).
Karena
itulah, Imam Malik menolak keinginan Khalifah Ja‘far al-Manshur
untuk menjadikan kitabnya, al-Muwattha', sebagai undang-undang
yang diadopsi oleh negara. Penolakan ini tentu bukan karena beliau menolak
formalisasi syariah, tetapi beliau menolak untuk menjadikan Khilafah sebagai
negara mazhab Maliki.
*****
Lalu,
kalau begitu apa yang harus diadopsi oleh Khilafah, sebab katanya Khilafah
harus berdasarkan akidah dan semua hukum yang berlaku harus hukum syariah?
Padahal katanya, Khilafah menerapkan kaidah syara’: “Seorang sulthan (Khalifah)
berhak menetapkan hukum berdasarkan kasus yang sedang terjadi.” dan “Perintah seorang Imam (Khilafah)
wajib dilaksanakan, secara lahir dan batin”, bagaimana mengimplementasikan
kaidah ini?
Memang
benar, bahwa Khilafah harus menjadikan akidah Islam secara umum sebagai
landasan dalam
segala hal. Memang
benar, Khilafah dalam mengadopsi
suatu hukum harus hukum syariah, yaitu
hukum yang digali dari akidah Islam (dari alqur’an dan al hadits). Memang
benar, bahwa hanya Khalifah yang diberi hak untuk mengadopsi hukum dalam
masalah publik dan kemasyarakatan. Memang benar, bahwa hanya keputusan Khalifah
yang dapat menghilangkan sengketa di tengah-tengah masyarakat. Semua itu memang
benar.
Namun
demikian, seluruh hukum dan pemikiran yang ditetapkan oleh Khalifah menjadi
undang-undang harus dibangun berdasarkan prinsip, bahwa semuanya itu merupakan “hukum
dan pemikiran Islam”, bukan “hukum dan pemikiran” mazhab tertentu. Meski pada awalnya, hukum dan pemikiran tersebut,
bisa jadi, diambil dari mazhab
tertentu. Ketika suatu hukum ditetapkan oleh Khalifah, maka Khalifah menetapkannya
bukan sebagai pandangan mazhab
tertentu, melainkan sebagai hukum syariah bagi warga negara. Setelah itu, hukum
tersebut akan menjadi hukum positif yang mengikat semua warga negara, apapun mazhab yang dianutnya.
Artinya,
sekalipun banyak pandangan ke-mazhab-an
yang dimiliki oleh kaum Muslim dalam Khilafah, namun dalam praktiknya, hukum
positif yang berlaku adalah satu, yaitu hukum syariah Islam yang ditetapkan
oleh Khalifah. Itu pun semata-mata ditetapkan karena
hukum tersebut adalah hukum Islam.
Namun,
harus dipahami bahwa adopsi hukum oleh Khalifah hanya boleh untuk masalah publik. Khalifah sama sekali
tidak boleh menetapkan hukum dalam masalah yang sifatnya personal atau privat,
misalnya tentang tata cara sholat dan lain-lain. Dalam hal akidah juga sama, Khalifah
hanya mengadopsi yang menjadi pokok akidah, bukan cabang (furu’) akidah. Dan yang paling penting lagi, keputusan Khalifah ini
dapat dikritik dan dikoreksi, seandainya memang ada kesalahan dalam pengambilan
dalilnya.
Mungkin
akan muncul pertanyaan, saat Khalifah menetapkan hukum tertentu dalam masalah
publik, apakah keputusan Khalifah juga mengikat semua warga negara, meskipun pemahamannya
berbeda? Jawabnya, ya. Sebab, dalam negara hanya boleh ada satu hukum positif.
Namun, untuk mengajarkan dan menyebarkan pemahaman yang berbeda tetap diijinkan
selama berdasar pada qur’an dan hadits.
Mungkin
hal ini akan terasa aneh, meskipun sebenarnya sama sekali tidak aneh. Sebab,
memang harus dibedakan antara menerapkan hukum atau pemikiran tertentu, dengan
mengajarkannya.
Dalam menerapkan hukum, hukum yang diterapkan harus satu, yaitu hukum yang
diadopsi dan diterapkan oleh negara untuk seluruh rakyat. Tetapi, dalam
pengajaran atau dakwah, adanya hukum lain, selain yang diadopsi oleh negara,
tetap diperbolehkan. Karena itu, sangat
dibolehkan mengajarkan atau mendak-wahkan hukum tertentu, sementara
dalam pelaksanaannya, hukum positif yang diterapkan tetap merupakan hukum yang
diadopsi oleh negara.
Contoh
sederhana, sebenarnya kita temui dalam kehidupan sehari-hari, meskipun tidak
dalam Khilafah dan tidak dalam kerangka hukum syariah. Misalnya, saat seorang
ahli hukum diadili di pengadilan karena suatu perkara, kemudian dia diputuskan
salah. Bisa jadi menurut ilmu hukum yang dia pahami bahwa dia sebenarnya tidak
bersalah, dan dia juga berhak menyampaikan dan mengajarkan bahwa yang ia pahami
tidak salah. Tetapi, hukum yang berlaku adalah keputusan bahwa dia bersalah.
Karena itulah keputusan dari pihak yang berwenang. Sementara itu, dia bebas
menyebarkan atau mengajarkan pemahaman hukumnya kepada orang lain. Itu sekedar
contoh. Jadi, sama sekali tidak ada yang aneh.
******
Jadi,
Khilafah bukanlah negara madzhab. Khilafah
juga tidak akan mengadopsi madzhab
tertentu. Semua madzhab diberi ruang
untuk berkembang. Sebab, berkembangnya madzhab,
berarti berkembang pula ilmu hukum syariah. Namun demikian, dalam masalah
publik, memang hanya ada satu hukum positif. Inilah yang menjamin adanya kepastian
hukum di dalam negara. Hukum
yang diterapkan hanya satu. Tetapi, untuk tujuan dakwah dan pendidikan, negara
tetap akan membuka diajarkannya hukum lain (selama digali dari al qur’an
dan as sunnah), selain yang diadopsi oleh negara.
Sementara
dalam masalah privat dan personal, maka masyarakat diberikan kebebasan untuk
melaksanakan dan mengamalkan ajaran syariah sesuai dengan pemahamannya atau
sesuai dengan madzhab yang dianutnya.
Dengan begitu, Khilafah
akan tetap bisa mengayomi semua mazhab,
termasuk membuka lebar-lebar pintu ijtihad.
Umat Islam, termasuk para ulama dan intelektualnya, juga tidak akan kehilangan
peluang untuk terus berkarya, menyampaikan dan mengembangkan mazhab-nya.
Jadi,
sebenarnya masyarakat tidak perlu khawatir nanti dipaksa kalau sholat harus
pakai qunut, dan lain sebagainya.
Dalam masalah yang privat seperti ini, Khilafah tidak akan mengadopsi madzhab tertentu. Karena itu, jika ada
yang bertanya: madzhab mana yang akan
diterapkan dalam Khilafah? Maka sebetulnya pertanyaan ini tidak relevan lagi.
Sebab, khilafah tidak menganut madzhab
tertentu. Hanya saja dalam masalah publik dan masalah ijtihadiyah, hukum syariah akan diputuskan Khalifah, sesuai dengan ijtihad yang menurutnya lebih kuat.
Tentu saja, antara satu Khalifah dengan Khalifah berikutnya bisa berubah. Itu
dalam masalah publik yang dzonni,
sementara dalam masalah publik yang qoth’i,
seperti haramnya khamr, maka hal ini
sangat jelas.
Terakhir,
jika ada pengagum demokrasi yang bertanya semata-mata hanya untuk cari alasan, semisal:
“bagaimana syariah dapat diterapkan dalam negara Khilafah, padahal madzhab
Islam itu banyak?” Jawabnya adalah pertanyaan: “bagaimana demokrasi dapat
diterapkan dalam sebuah negara, padahal ada banyak madzhab dalam demokrasi?”.
Wallahu
a‘lam.
0 Response to "KHILAFAH ITU MENGIKUTI MADZHAB APA?"
Post a Comment