ASAL SUATU PERBUATAN TERIKAT DENGAN HUKUM SYARA' BUKAN MUBAH ATAUPUN HARAM
Pengertian mubah adalah apa yang ditunjukkan oleh dalil sam'i (dalil yang sampai pada kita melalui riwayat) yang berasal dari seruan syari'at Allah yang mengandung dua pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, mubah adalah apa yang menjadi pilihan seseorang antara berbuat atau meninggalkan berdasarkan syara'.
Ibahah (kebolehan) termasuk salah satu hukum syara', sedangkan mubah adalah hukum syara'nya. Hukum syara' membutuhkan dalil yang menunjukkan kedudukan hukum tersebut. Selama tidak ada dalil yang menunjukkannya maka hukum syara' tentang hal itu tidak ada.
Mengetahui hukum Allah atas perbuatan yang menunjukkan mubah membutuhkan pula adanya dalil syara'. Tidak adanya dalil syara' atas suatu perbuatan tidak menunjukkan bahwa perbuatan itu mubah, karena tidak adanya dalil tidak menunjukkan hukum ibahah atau tidak pula menunjukkan adanya suatu hukum pun atas perbuatan tersebut, akan tetapi hanya menunjukkan belum adanya hukum atas perbuatan itu. Serta menunjukkan wajibnya mencari dalil untuk mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut, sehingga dapat ditentukan sikapnya. Dengan demikian mengetahui hukum syara' dalam suatu perbuatan tertentu adalah wajib bagi setiap mukallaf agar dapat memutuskan sikapnya atas perbuatan itu, apakah dia harus mengerjakan atau meninggalkan. Jadi ibahah adalah seruan dari syara' untuk memilih antara dua pilihan mengerjakan atau meninggalkan. Maka selama tidak mengetahui seruan syara', seseorang tidak akan mengetahui hukum syara'. Dengan demikian selama tidak ditemukan seruan syara' tentang kebolehan, maka tidak ada hukum mubah. Dengan sendirinya tidak ada hukum bagi perbuatan manusia sebelum datangnya syara'.
Atas dasar inilah maka menentukan perbuatan itu mubah, mandub, makruh, fardlu, dan haram harus didasarkan pada (adanya) dalil sam'i tentang hukum-hukum tersebut. Tidak adanya dalil sam'i tidak mungkin menetapkan suatu hukum atas perbuatan tersebut, dan tidak mungkin menetapkan pula bahwa perbuatan ini mubah, ataupun haram atau hukum lainnya dari hukum yang lima di atas, kecuali setelah diketahui adanya dalil sam'i yang menetapkannya. Ini bukan berarti meninggalkan tuntutan untuk mencari hukum Allah atas perbuatan tersebut, dan membatalkan hukum syara' atau meninggalkan tugas dan kewajiban hidup dengan alasan tidak mengetahui hukum Allah, karena semuanya ini tidak dibenarkan oleh hukum syara'. Akan tetapi perbuatan manusia membutuhkan pengetahuan tentang hukum Allah, yaitu diwajibkannya mencari dalil-dalil syar'i dan menyesuaikan dalil-dalil dengan fakta tersebut sehingga dapat diketahui hukum Allah atas perbuatan itu, apakah haram, makruh, mubah, mandub, atau fardlu. Hal ini disebabkan tolok ukur perbuatan bagi seorang muslim berupa perintah dan larangan. Allah yang telah mewajibkan setiap muslim untuk mengetahui lebih dahulu hukum Allah atas perbuatan yang akan dilakukannya, apakah itu haram, makruh, mubah, mandub, ataukah fardlu. Jadi setiap perbuatan mesti berkaitan dengan hukum yang lima tadi, antara haram, makruh, mubah, mandub, atau fardlu. Dan setiap perbuatan yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui lebih dahulu hukumnya, karena Allah akan meminta tanggung jawab atas setiap perbuatannya. Sebagaimana firman Allah:
"Maka demi Rabb-mu, pasti kami akan menanyakan (menghisab) mereka tentang apa yang mereka kerjakan dahulu." (QS Al Hijr: 92-93).
"Kami tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat Al Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya." (QS Yunus: 61).
Yang dimaksud dengan "Kami menjadi saksi" dalam ayat di atas berupa pemberitahuan dari Allah kepada hambaNya bahwa Dia menyaksikan perbuatan mereka dan bahwasanya Dia akan menghisab dan menanyakan mereka. Rasulullahpun menjelaskan tentang wajibnya melakukan perbuatan sesuai dengan hukum Islam, dengan sabdanya:
"Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak." Para sahabat r.a selalu bertanya kepada Rasul saw lebih dahulu tentang perilaku mereka hingga mereka mengetahui hukum Allah sebelum melakukannya.
Ibnul Mubarak telah mengeluarkan hadits bahwa Usman bin Madh'un telah datang kepada Rasul saw dan bertanya: Apakah aku diizinkan melakukan ikhtisha' (pengebirian)? Jawab Rasul; 'Bukan tergolong umatku yang melakukan pengebirian, baik terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain, dan sesungguhnya pengendalian syahwat bagi umatku adalah shaum. Kemudian dia bertanya lagi: 'Apakah aku diizinkan melakukan perjalanan (melancong ke berbagai negara)? maka Rasul menjawab: "Perjalanan (melancong) bagi umatku adalah jihad fisabilillah." Ibnu Madh'unpun bertanya lagi; "Apakah aku diizinkan bertapa? Maka Rasul menjawab lagi: 'Bertapanya umatku adalah duduk di dalam masjid sambil menunggu shalat".
Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa para sahabat selamanya tidak mendahulukan perbuatan, kecuali bertanya lebih dahulu kepada Rasul. Seandainya asal dari perbuatan adalah mubah, niscaya mereka akan melakukannya, dan mereka tidak akan bertanya kepada Rasul karena apabila Allah mengharamkan (perbuatan tersebut) tentu mereka akan meninggalkannya, kalau tidak mereka tentu melakukannya dan tidak perlu bertanya lagi.
Adapun diamnya Syari' (Allah SWT) terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dijelaskan hukumnya, sedangkan manusia melakukannya bukan berarti tidak ada ketentuan hukum dari Syari' (tentang perbuatan tersebut) baik itu berupa ucapan ataupun perbuatan, bahwa hal ini merupakan dalil untuk membolehkan perbuatan yang nash tidak melarangnya secara jelas baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan (Rasul). Akan tetapi arti diam di sini ialah bahwa perbuatan yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Rasul saw bahwasanya orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Rasul telah mengerjakannya, menunjukkan bolehnya perbuatan-perbuatan itu saja, tidak menunjukkan perbuatan-perbuatan mereka (manusia) secara mutlaq, karena diamnya Rasul (taqrir) atas perbuatan-perbuatan tersebut (yang merupakan pengakuan beliau) adalah dalil yang menunjukkan bolehnya perbuatan itu.
Maka diamnya Rasul saw terhadap suatu perbuatan dapat dianggap sebagai dalil yang membolehkannya, dengan syarat hal itu diketahui oleh beliau, misalnya dikerjakan di hadapan beliau atau telah sampai beritanya kepada beliau. Sedangkan, apabila diamnya Rasul terhadap suatu perbuatan karena belum sampai beritanya pada beliau atau telah terjadi di luar kekuasaan (wilayah Islam) meskipun beliau mengetahuinya, maka hal ini tidak dianggap pengakuan yang termasuk salah satu macam dalil-dalil syara'.
Yang dimaksud taqrir/pengakuan yang menunjukkan kebolehan, adalah diamnya Rasul, bukan diamnya Al Qur'an, karena Al Qur'an merupakan kalamullah, Allah Maha Mengetahui atas setiap perbuatan, baik yang belum, sedang terjadi maupun yang akan terjadi. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa tidak adanya penjelasan dari Al Qur'an (tentang suatu perbuatan) berarti hukum atas perbuatan itu didiamkan, akan tetapi yang dimaksud diam dalam suatu perbuatan adalah diamnya Rasul saw dengan syarat beliau mengetahuinya, yaitu suatu perbuatan dikerjakan di hadapan Rasul atau berada dalam kekuasaan Rasul yang diketahuinya kemudian beliau mendiamkannya.
Sebagai contoh sikap sebagian shahabat yang mengambil dalil atas dibolehkannya 'azl (menumpahkan air mani di luar tempatnya) karena Nabi saw mendiamkannya, dalil tersebut adalah riwayat yang ditunjukkan oleh perkataan mereka: "Kami melakukan 'azl sedangkan Al Qur'an masih turun". Artinya, Rasul saw masih hidup. Hal ini difahami dari teks riwayat "sedangkan Al Qur'an masih turun". Kalimat ini adalah kiasan bahwa Rasul saw masih ada ditengah-tengah mereka, namun beliau tidak melarangnya. Begitu juga sebagian para mujtahid beralasan mengambil dalil atas dibolehkannya memakan daging biawak, karena diamnya Rasul di mana telah diriwayatkan bahwa daging biawak telah dihidangkan di atas nampan lalu dimakan (para shahabat) sedangkan Rasul saat itu tidak memakannya. Sikap Rasul yang mendiamkan para sahabat memakan daging biawak yang telah dihidangkan di rumah beliau menunjukkan kebolehannya. Oleh karena itu, diamnya Syari' atas suatu perbuatan yang telah diketahuinya adalah dalil tentang kebolehannya, bukan sebaliknya tidak adanya penjelasan dan ketentuan hukum dari Syari' terhadap suatu perbuatan dijadikan dalil untuk membolehkan perbuatan tersebut. Terdapat perbedaan antara diamnya Syari' (Rasul) dengan tidak adanya penjelasan ditinjau dari segi dalalah.
Dari sini jelaslah bahwa asal setiap perbuatan merupakan hukum syara' yang wajib bagi seseorang untuk mencari dalil syara' yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan itu sebelum dilakukan. Ditetapkannya status hukum suatu perbuatan sebagai mubah, fardlu, mandub, haram, atau makruh, ditentukan dari adanya dalil sam'iy bagi hukum tersebut, yaitu dalil yang bersumber dari Al Kitab, Sunnah, Ijma' (sahabat) dan qiyas.
0 Response to "ASAL SUATU PERBUATAN TERIKAT DENGAN HUKUM SYARA' BUKAN MUBAH ATAUPUN HARAM "
Post a Comment