Bertaqwa Sungguh Istimewa, Menjadi Muttaqin Why Not?
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (TQS. Al Hasyr: 18).
Bertaqwa adalah kata yang tentu tidak asing di telinga manusia pada umumnya, utamanya muslim. Bertaqwa merupakan seruan Allah yang berulang kali dikatakan Allah SWT di dalam Al Qur’an dalam banyak ayat-Nya. Seruan tersebut spesial ditujukan kepada manusia-manusia yang beriman (orang-orang mukmin) atau yang mengaku beriman kepada Allah SWT, malaikat-malaikatNya, Kitabullah, Rasulullah, Hari Akhir dan Qadla-Qadar, agar memenuhi seruan taqwa ini. Jika kita bagian dari orang-orang yang beriman, maka seruan taqwa ini berlaku untuk kita.
Seruan taqwa ini pun ditujukan kepada orang-orang yang berakal (ulul albab) serta dikatakan bahwa taqwa adalah perbekalan terbaik. Sebagaimana perkataan Allah SWT dalam QS. Al Baqarah ayat 197, yang artinya “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. Jika kita mengaku tergolong orang-orang yang berakal, maka seruan taqwa ini pun ditujukan kepada kita.
Iman dan akal memiliki korelasi. Dalam sebuah buku “Peraturan Hidup dalam Islam” yang ditulis oleh oleh Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, seorang qadhi (hakim), hafidz, penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Kekhilafahan Utsmani, dalam Bab 1 “Jalan Menuju Iman”, telah sangat jelas untuk menuju keimanan, dapat dilalui dengan (1) jalan aqli (akal), dimana berpikir menyeluruh tentang hidup, alam semesta dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya dan (2) jalan naqli (mengutip) Al Qur’an dan as Sunnah. Sejalan dengan apa yang Allah SWT firmankan dalam QS. Ath Thalaq ayat 10, “Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.”
Apa itu Taqwa?
Taqwa telah dimaknai sebagai upaya melindungi diri kita dari murka dan adzab Allah SWT, dengan cara menjalankan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT, serta menjauhkan diri dari perkara mubah (perkara yang boleh dikerjakan) namun kawatir dapat menjerumuskan kepada kemaksiyatan atau lalai kepada ketaatan.
Saat Umar Radhiallahuanhu bertanya kepada Ubay bin Ka’ab apakah TAQWA itu? Dia menjawab; “Pernahkah kamu melalui jala berduri?” Umar menjawab; “Pernah!” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab; “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata; “Maka demikian pulalah TAQWA!”
Bertaqwa 100%
Ketika kita ber-azzam (berkomitmen) bertaqwa kepada Allah SWT, tentu komitmen tersebut harus dilandasi karena dorongan keimanan kepada-Nya, agar apa yang kita komitmenkan kokoh seperti karang walau diterjang ombak; berdiri kokoh seperti pohon yang tetap teguh meski angin, hujan, badai menerpanya; kuat seperti baja, meskipun api menyambarnya, ia tidak akan rapuh layaknya kayu. Begitupun kita sebagai manusia-manusia yang berakal, yang memfungsikan akal dengan benar hingga menemukan keimanan yang mantap, tentu betapapun beratnya ujian dan seberapapun banyaknya ujian keimanan yang kita hadapi, kita akan tetap teguh memegang keimanan, ketaqwaan dan keberislaman.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (TQS. Ali Imran: 102).
Dalam ayat tersebut, sangat jelas seruan bagi kita agar benar-benar bertaqwa atau bertaqwa secara totalitas, utuh 100%, tidak setengah hati, tidak ragu, tidak paruh waktu, tidak kompromi dan tidak menggadaikan perkara yang haq dengan yang bathil. Sebenar-benar ketaqwaan itulah yang dibenarkan dalam pandangan syariat Islam, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun kondisinya, baik berat maupun ringan, sempit ataupun lapang, lama maupun sebentar, bersabarlah pada jalan taqwa, sebenar-benar taqwa.
Bertaqwa Itu Tidak Instan
Setiap ketaqwaan ada prosesnya. Dengan kata lain, tidaklah instan, tidak serta merta menjadi taqwa, tanpa melakukan sebab-sebab yang dapat menghantarkannya pada akibat. Sebagaimana yang tertera dalam ayat yang familiar digemakan dalam menyambut bulan Ramadhan, yaitu “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (TQS. Al Baqarah: 183)”.
Dalam ayat tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa untuk menuju taqwa, bisa diraih dengan menjalankan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, sekitar sebulan lamanya. Puasa (shaum) diartikan menahan diri dari apa-apa yang haram untuk dikerjakan sepanjang waktu terbit hingga terbenamnya matahari. Sepanjang bulan Ramadhan, kaum muslim terlatih untuk bertaqwa kepada Allah SWT. Ini menjadi titik awal dan titik tolak bagi kita semua untuk terbiasa menjalankan ketaatan tidak hanya terhenti di bulan Ramadhan saja, melainkan ditindaklanjuti pada sebelas bulan berikutnya.
Peluang ibadah yang bisa dikerjakan dalam bulan Ramadhan tidak terbatas pada wajibnya mengerjakan ibadah puasa, namun juga layaknya muslim dan muslimah kaffah beribadah secara menyeluruh, menjalankan aturan Allah SWT di segala dimensi kehidupan, baik di dimensi pertama (aturan terkait hubungan manusia dengan Allah SWT), seperti akidah, ibadah (puasa, solat, zakat, haji, jihad); dimensi kedua (aturan terkait hubungan manusia dengan dirinya sendiri), seperti makanan, minuman, pakaian serta akhlak; juga dimensi ketiga (aturan terkait hubungan manusia dengan manusia), seperti pergaulan, sanksi, ekonomi, pemerintahan, politik dan sebagainya. Ketika menjalankan keseluruhan ibadah atau amal shalih secara ikhlas, sabar, istiqomah dan maksimal, insyaAllah buah yang akan kita petik pasca Ramadhan adalah menjadi insan-insan yang bertaqwa.
Buah Manis Ketaqwaan
“.. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” (TQS. At Taubah: 4).
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (TQS. An Nahl: 128).
“.. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (TQS. At Thalaq: 4).
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS. Al Hadid: 28).
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan[607]. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar (TQS. Al Anfaal: 29). [607]. Artinya: petunjuk yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil, dapat juga diartikan disini sebagai pertolongan.
Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang taqwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertaqwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka (TQS. Ar Ra’du: 35). Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (TQS. Ali Imran: 133).
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan[1046] (TQS. An Nuur: 52). Yang dimaksud dengan takut kepada Allah ialah takut kepada Allah disebabkan dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan yang dimaksud dengan taqwa ialah memelihara diri dari segala macam dosa-dosa yang mungkin terjadi.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (TQS. Al Hujurat: 13). Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu (TQS. Al Lail: 17).
Banyak kabar gembira yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang bertaqwa. Kabar gembira ini menjadi motivasi yang menggiurkan untuk saling berlomba-lomba menjadi yang paling taqwa, sekaliber Rasul dan para Sahabat yang telah sukses dan lulus membuktikan ketaqwaannya dengan predikat mumtaz atau cum laude. Memang sulit untuk dapat menandingi Rasul dan para Sahabat disebabkan ketinggian ilmu dan imannya, namun bukan tidak mungkin kita meneladani mereka dan berupaya semaksimal mungkin untuk mengerjakan apa yang beliau-beliau kerjakan sehari-harinya, baik di waktu pagi, siang, petang dan malam-malamnya, selalu menghiasi dan dihiasi dengan nuansa ketaqwaan dimanapun, kapanpun dan dalam segala kondisi.
Buah dari ketaqwaan akan terasa manis, ketika tujuan dari segala tujuan hidup kita adalah Surga. Tentu balasan-balasan bagi orang-orang yang bertaqwa yang telah Allah swt kabarkan dalam ayat-Nya, sudah lebih dari cukup, bahkan kesenangan-kesenangan dunia sekalipun tak sebanding dan tak mampu menandingi balasan dari perniagaan dengan Allah SWT. Tatkala di dunia, mungkin kita menelan pahit dan sakit, namun yakinilah kehidupan dunia dengan segala kesenangan di dalamnya hanyalah sementara, semu dan akan cepat berakhir. Justru dengan bertaqwa, kita dapat menemukan arti bahagia yang sebenarnya yaitu teraihnya ridha Allah SWT, dan mampu merasakan kebahagiaan dunia yang sejatinya, serta kelak kebahagiaan akhirat yang tak ada tandingannya serta kekal akan menjadi ganti segala pengorbanan dan perjuangan yang kita berikan demi mempertahankan ketaqwaan.
Jalan Taqwa: Mengikuti Rasul
Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertaqwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (TQS. Al A’raaf: 35).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[1407] dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (TQS. Al Hujurat: 1). [1407] Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya.
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (TQS. Al Maidah: 8).
Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan (TQS. Al Mujadilah: 9).
Berjalan pada jalan taqwa memang tidaklah mudah. Diakui atau tidak, sungguhlah sulit, mengingat dan mengindera bahwa kita hidup di tengah gempuran pemikiran dan hukum yang fasad (rusak) serta bathil (salah); godaan-godaan syaithan dari kalangan jin dan manusia di setiap detiknya dari berbagai sisi; lingkungan sekitar, baik keluarga, sekolah, rumah yang kurang kondusif dan cenderung permissif (serba boleh); media-media yang riskan untuk dikonsumsi turut beredar tanpa kendali; sistem yang sekuler-liberal-kapitalistik, yang notabene telah banyak memunculkan beragam kerusakan dimana-mana. Kesemuanya itu tentu menjadi tantangan yang luar biasa hebat untuk mempertahankan ketaqwaan.
Begitu banyak ibrah (pelajaran) yang bisa kita ambil tatkala kita mau berpikir dan belajar. Sederetan ayat-ayat di atas cukup menggambarkan kepada kita bahwa jalan taqwa akan dapat kita capai, tatkala kita mengikuti apa yang Rasulullah saw teladankan; bagaimana keseharian Rasul, bagaimana Rasul dalam dakwahnya, bagaimana Rasul mendidik, bagaimana Rasul dalam mengambil pilihan-pilihan hidup, menentukan sikap, serta yang tak kalah penting bagaimana Rasulullah sebagai seorang pemimpin negara memutus perkara dengan hukum-hukum Allah swt secara adil dan amanah, telah menorehkan pencapaian emas bagi peradaban dunia, menjadikannya sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), menjadi manusia yang paling berpengaruh di jagad raya ini.
Karenanya, perlu bagi kita seorang muslim mengenali, mendalami, dan memelihara ketaqwaan agar menghujam dalam diri kita, merasuk ke dalam aliran darah dan menjadi daging, memancarkan ketaqwaan pada seluruh anggota tubuh kita, agar keistimewaan dalam bertaqwa mampu kita raih, sebab tidak ada alasan kuat bagi kita untuk tidak menjadi bagian dari muttaqin (orang-orang yang bertaqwa). Bertaqwa sungguh istimewa, menjadi muttaqin why not (mengapa tidak)?
Wallahu ‘alam bi ash-shawwab
Oleh: Ismi Tri Wahyuni
(Mahasiswi S1 Sastra Inggris UNEJ, Aktivis Muslimah HTI Jember)
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Bertaqwa Sungguh Istimewa, Menjadi Muttaqin Why Not?"
Post a Comment