-->

Pork Festival Tetap Berjalan, Ada Pemelintiran Kesepakatan


Dakwah Media - Komunitas pencinta kuliner Kota Semarang, Brotherfood Kuliner Semarang, kembali menggelar festival makanan olahan daging babi atau Pork Festival. Hal ini dilakukan dalam menyambut Imlek tahun 2017. Acara ini akan digelar tempat yang sama seperti tahun lalu, di Mall Sri Ratu di Jl. Pemuda, Semarang pada 23-29 Januari 2017.

Festival yang sudah berlangsung tahun lalu ini masih menyisakan pro dan kontra. Pada tahun 2016 lalu saja, pada saat perdana acara tersebut sempat mendapat penolakan dari organisasi masyarakat (Ormas) Islam di Semarang. Meski demikian, penolakan itu tak berdampak pada pembatalan acara tersebut, sehingga acara tetap berlangsung (semarangpos.com, 2017).

Mengutip apa yang disampaikan oleh Ketua Brotherfood Semarang, Firdaus Adi Nugroho yang menyatakan bahwa, “Kali ini kami juga yakin tak akan ada gangguan dari pihak-pihak luar yang tidak setuju. Saya yakin karena masyarakat di Semarang memiliki toleransi yang tinggi. Toh, sudah jelas jika makanan yang disajikan adalah daging babi, jadi yang tidak sesuai keyakinan, dimohon untuk tidak datang apalagi mencicipi,” beber Daus (semarangpos.com, 2017).


Pernyataan Ketua Brotherfood Semarang tersebut merupakan bentuk kebablasan toleransi yang dijamin oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Penyelenggaraan Pork Festival ini merupakan toleransi yang kebablasan dari Pemkot semarang yang gagal paham dalam mengatur hal tersebut ditengah mayoritas muslim Semarang, terlebih acara di selenggarakan di tempat umum. Seharusnya acara-acara tersebut di selenggarakan di tempat yang terbatas pada komunitas mereka saja, tanpa mengurangi hak-hak mereka.

Ada Pemlintiran Kesepakatan

Berikut adalah kronologisnya, pada hari Jum’at (20/1-2017), Forum Umat Islam Semarang (FUIS) melakukan audiensi ke Polrestabes Semarang terkait penolakan Pork Festival, juga hadir di sana Panitia Penyelenggara acara, yaitu Firdaus. Berikut isi kesepakatannya yang ditandatangani oleh Firdaus Adinegoro dan FUIS (Forum Umat Islam Semarang).

“Bersama ini menyatakan dengan tanpa ada paksaan, 
penyelenggaraan Pork Festival dibatalkan dan 
akan fokus menyelenggarakan Perayaan IMLEK. 
Dan kami berjanji tidak akan menyelenggarakan 
Pork Festival dan sejenisnya di waktu mendatang. 
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dapat dijadikan 
maklum adanya.”


Namun pada tanggal 23 Januari 2017, acara tersebut tetap berjalan dengan pengubahan nama, dari Pork Festival menjadi Festival Kuliner Imlek, walaupun namanya diubah, tetapi sama esensinya. Penyelenggaraan Pork Festival memang dibatalkan, namun Perayaan IMLEK tetap berjalan di tempat yang sama dan tetap terdapat makanan olahan daging babi.

Padahal jelas-jelas tidak ada kalimat yang menyatakan boleh menyelenggarakan acara dengan mengganti nama acara, atau kalimat-kalimat yang semisalnya dalam nota kesepakatan tersebut. Dan jelas bahwa panitia berjanji untuk tidak akan menyelenggarakan Pork Festival dan sejenisnya di waktu mendatang. Ada indikasi pemlintiran dan kepentingan di sini agar acara tetap berjalan.

Dilema Umat Islam Dalam Demokrasi

Dalam Islam terdapat batasan-batasan tentang hal ini, Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.”

Dalam kepimimpinan Islam, acara-acara non-muslim tersebut harus dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang publik. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, atau mengadakan event yang mempromosikan minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam. Aturan ini adalah konsekwensi dari Pemimpin Muslim dan Kepemimpinan Islam yang telah Rasulullah contohkan.

Ini menjadi dilema kaum muslim yang menolak event ini. Karena dari pihak panitia sendiri sudah melarang orang islam untuk datang ke acara Pork Festival. Justru ketika kita melarangnya akan menimbulkan tuduhan atau cap sebagai kaum intoleran, seperti yang diucapkan oleh Firdaus selaku Ketua Brotherfood Semarang, “Sama seperti tahun lalu, ia pun meminta kepada warga Muslim agar tak datang ke lokasi Pork Festival. Ini demi mengantisipasi protes dari kaum intoleran yang selama ini ada di Ibukota Jateng” (metrosemarang.com, 2017).

Inilah kalau pemimpin muslim tapi tidak menerapkan sistem Islam, hanya muslimnya saja yang memimpin, namun bukan Islamnya yang mempimpin. Artinya Islam belum menjadi kepemimpinan ditengah-tengah umat, sehingga hal-hal dilematis ini akan tetap ada di tubuh kaum muslim, kewajiban karena tuntutan aqidah akan berujung pada cap intoleran, radikal, melanggar HAM dan cap-cap lainnya. Maka kita kaum muslim juga butuh kepemimpinan Islam, bukan hanya pemimpin yang muslim saja. Kemaksiatan yang berbalut kebablasan toleransi akan tetap ada dan bahkan umat Islam akan juga terus diserang dengan toleransi ala Demokrasi.

Allah Swt menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah saw sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya muslim saja, apapun warna kulit, agama, ras, dan segala latar belakang mereka.

"Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam" (TQS. al-Anbiya [21]: 107).

Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan melihat betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum Muslim, juga non-Muslim, yang hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Penerapan syariat terhadap non-Muslim merupakan metode praktis dakwah Islam kepada non-Muslim. Adakah cara yang lebih baik bagi non-Muslim untuk melihat kebenaran Islam selain dengan hidup berdasarkan sistem Islam itu sendiri, dan mengalami kedamaian dan keadilan hukum Allah Swt?.

Wallahu a’lam bishowab  

Oleh : Septian Wahyu (Lajnah Khusus Mahasiswa HTI Kota Semarang)

0 Response to "Pork Festival Tetap Berjalan, Ada Pemelintiran Kesepakatan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close