Empat Opsi Skema Freeport Pasca-2021
Dakwah Media - Demi melanggengkan operasi tambang PT Freeport Indonesia (PTFI), Pemerintah menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan. PP ini selanjutnya dioperasionalisasi oleh dua Peraturan Menteri ESDM, yaitu Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen Nomor 6 Tahun 2017. Khusus yang terkait dengan PTFI, kedua Permen ESDM ini mengatur mengenai ketentuan: (1) PTFI dapat mengubah kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK); dan (2) perubahan KK menjadi IUPK tersebut membuat PTFI dapat mengekspor konsentrat tanpa harus dimurnikan di dalam negeri.
Kedua substansi hukum dalam regulasi tersebut jelas dalam rangka mengamankan kepentingan PTFI. Padahal, secara yuridis normatif, PP Nomor 1 Tahun 2017 dan kedua Permen ESDM ini "memakar" UUD 1945 dan UU Minerba. Bentuk makar ini yaitu, pertama, Pasal 103 dan Pasal 170 UU Minerba melarang segala bentuk ekspor mineral mentah (ore/konsentrat) ke luar negeri pasca-2014. Hal ini dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VII/2014. Kedua, perubahan KK menjadi IUPK tidak dapat dilakukan karena dalam UU Minerba diatur bahwa untuk mendapatkan IUPK harus memenuhi dua syarat umum, yaitu syarat kewilayahan dan syarat keadministrasian.
Syarat kewilayahan itu terkait dengan ketentuan bahwa untuk mendapatkan IUPK, maka prosesnya harus dimulai dari adanya penetapan suatu wilayah menjadi wilayah pencadangan negara (WPN) berdasarkan persetujuan DPR RI. Lalu, WPN diubah menjadi wilayah usaha pertambangan khusus (WUPK), dan selanjutnya WUPK menjadi beberapa wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK), yang selanjutnya ditawarkan ke BUMN. Apabila BUMN tidak berminat, WIUPK dilelang kepada swasta.
Selanjutnya, syarat keadministrasian, yaitu untuk mendapat IUPK, PTFI harus memenuhi syarat teknis, lingkungan, finansial, dan administrasi. Setelah semua persyaratan dinyatakan lengkap secara formil dan memenuhi syarat materiil, PTFI baru mendapatkan IUPK. PTFI tidak dapat sekonyong-konyong mengubah KK-nya menjadi IUPK tanpa memenuhi kedua persyaratan tersebut.
Meninjau Ulang Keberadaan PTFI
Beberapa akrobat hukum yang dilakukan oleh pemerintah melalui penerbitan PP dan Permen ESDM menunjukkan betapa lemah dan tidak berdayanya negara ini, khususnya pemerintah atas tekanan dan kemauan PTFI. Padahal, perusahaan ini memiliki tradisi potensi pelanggaran perjanjian (KK) dan UU, misalnya terkait dengan kewajiban divestasi saham 51%, kewajiban pembangunan smelter, kewajiban pembayaran dividen atas 9,36% saham pemerintah, kewajiban penyesuaian KK sesuai dengan pasal-pasal dalam UU Minerba, serta tidak mampunya PTFI membagi secara adil hasil eksplotasi mineralnya kepada bangsa Indonesia dengan besaran royalti yang hanya 1% sampai 2014, yang selanjutnya menjadi 3,75% sejak 2014. PTFI selalu berlindung dalam tameng pacta sunt servanda KK.
Seyogianya, sebagai bangsa yang waras, ketika pada 2021 KK PTFI berakhir, pemerintah dan DPR RI tidak melanjutkan izin operasi tambang PTFI yang telah lebih dari 40 tahun ini dengan mengeksploitasi besar-besaran Tanah Air di Papua. Apalagi, hingga saat ini kompleks tambang Grasberg masih merupakan salah satu penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan tembaga terbesar di dunia.
Grasberg berada di jantung wilayah mineral yang sangat melimpah dan berusia panjang. Keberadaan PTFI melalui KK PTFI yang ditandatangani pada 7 April 1967 dan telah diperbarui pada 30 Desember 1991 menjadi instrumen hukum bagi PTFI untuk melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, secara besar-besaran.
Berakhirnya KK PTFI pada 2021 seharusnya menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk mengelola sendiri wilayah tambang eks-PTFI ini dengan beberapa skema, misalnya, pemerintah membentuk BUMN baru untuk melanjutkan operasi produksi tambang eks PTFI. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk BUMN PT Inalum setelah pemerintah tidak meneruskan kontrak dan mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium peruhasaan Jepang pada 2013.
Kedua, pemerintah dapat menugaskan konsorsium atau holding BUMN baru yang terdiri atas PT Bukit Asam, PT Nikel, PT Antam, PT Timah, dan beberapa BUMN di bidang perbankan semisal PT BNI, PT Mandiri, atau PT BRI untuk membantu pembiayaan kepada BUMN pertambangan dalam mengelola wilayah tambang eks PTFI.
Skema ketiga yaitu dengan membeli saham divestasi PTFI sebagaimana yang diatur dalam Pasal 112 UU Minerba. Kepemilikan saham pemerintah PTFI harus 51% sesuai dengan ketentuan dalam PP Nomor 1/2017. Melalui saham mayoritas, maka akan terjadi peralihan kepemilikan dan peralihan keuntungan dari PTFI kepada Pemerintah Indonesia.
Namun, pilihan ketiga tersebut bukanlah pilihan yang ideal, karena saham divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah tentunya memerlukan dana yang sangat besar dan akan membebani APBN, Padahal, pasca-2021, dengan tidak memperpajang operasi PTFI pemerintah mendapatkan cuma-cuma eks wilayah PTFI yang bisa dikelola oleh BUMN. Sehingga menunggu hingga 2021, ketika KK PT Freeport berakhir dan tidak diperpanjang dalam bentuk IUPK --serta memberikan IUPK kepada BUMN-- menjadi salah satu pilihan terbaik agar dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Skema keempat, pemerintah dapat memperpanjang operasi PTFI pasca-2021 asalkan pemerintah memiliki saham PTFI sebesar 51% secara cuma-cuma. Saham cuma-cuma tersebut diperolah dari sumber/cadangan mineral yang akan dioperasi-produksi PTFI sebagai saham pemerintah.
Ingat, seluruh kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh negara, termasuk mineral yang akan dioperasikan oleh PTFI. Artinya, kekayaan alam itu menjadi modal bagi pemerintah. Skema tersebut, dapat dipertimbangkan oleh pemerintah. Bukan seperti kondisi saat ini, di mana pemerintah terkesan terlalu sibuk berakrobasi dengan membongkar dan menabrak berbagai regulasi demi memperpanjang operasi PTFI.
Akhinya, bangsa Indonesia harus mulai menentukan pilihan agar sumber daya alamnya harus mulai dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Kalaupun akhirnya harus dikelola asing, manfaat maksimal harus diberikan kepada bangsa Indonesia dan pengelolaannya harus dibawah kendali Pemerintah Indonesia. Bukan secara arogan perusahaan menjadi "tuan" bagi Pemerintah Indonesia.
Oleh: Dr. Ahmad Redi
Pengamat Hukum Energi dan Sumber Daya Alam FH Universitas Tarumanagara
Related
Selanjutnya, syarat keadministrasian, yaitu untuk mendapat IUPK, PTFI harus memenuhi syarat teknis, lingkungan, finansial, dan administrasi. Setelah semua persyaratan dinyatakan lengkap secara formil dan memenuhi syarat materiil, PTFI baru mendapatkan IUPK. PTFI tidak dapat sekonyong-konyong mengubah KK-nya menjadi IUPK tanpa memenuhi kedua persyaratan tersebut.
Meninjau Ulang Keberadaan PTFI
Seyogianya, sebagai bangsa yang waras, ketika pada 2021 KK PTFI berakhir, pemerintah dan DPR RI tidak melanjutkan izin operasi tambang PTFI yang telah lebih dari 40 tahun ini dengan mengeksploitasi besar-besaran Tanah Air di Papua. Apalagi, hingga saat ini kompleks tambang Grasberg masih merupakan salah satu penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan tembaga terbesar di dunia.
Grasberg berada di jantung wilayah mineral yang sangat melimpah dan berusia panjang. Keberadaan PTFI melalui KK PTFI yang ditandatangani pada 7 April 1967 dan telah diperbarui pada 30 Desember 1991 menjadi instrumen hukum bagi PTFI untuk melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, secara besar-besaran.
Berakhirnya KK PTFI pada 2021 seharusnya menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk mengelola sendiri wilayah tambang eks-PTFI ini dengan beberapa skema, misalnya, pemerintah membentuk BUMN baru untuk melanjutkan operasi produksi tambang eks PTFI. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk BUMN PT Inalum setelah pemerintah tidak meneruskan kontrak dan mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium peruhasaan Jepang pada 2013.
Kedua, pemerintah dapat menugaskan konsorsium atau holding BUMN baru yang terdiri atas PT Bukit Asam, PT Nikel, PT Antam, PT Timah, dan beberapa BUMN di bidang perbankan semisal PT BNI, PT Mandiri, atau PT BRI untuk membantu pembiayaan kepada BUMN pertambangan dalam mengelola wilayah tambang eks PTFI.
Skema ketiga yaitu dengan membeli saham divestasi PTFI sebagaimana yang diatur dalam Pasal 112 UU Minerba. Kepemilikan saham pemerintah PTFI harus 51% sesuai dengan ketentuan dalam PP Nomor 1/2017. Melalui saham mayoritas, maka akan terjadi peralihan kepemilikan dan peralihan keuntungan dari PTFI kepada Pemerintah Indonesia.
Namun, pilihan ketiga tersebut bukanlah pilihan yang ideal, karena saham divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah tentunya memerlukan dana yang sangat besar dan akan membebani APBN, Padahal, pasca-2021, dengan tidak memperpajang operasi PTFI pemerintah mendapatkan cuma-cuma eks wilayah PTFI yang bisa dikelola oleh BUMN. Sehingga menunggu hingga 2021, ketika KK PT Freeport berakhir dan tidak diperpanjang dalam bentuk IUPK --serta memberikan IUPK kepada BUMN-- menjadi salah satu pilihan terbaik agar dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Skema keempat, pemerintah dapat memperpanjang operasi PTFI pasca-2021 asalkan pemerintah memiliki saham PTFI sebesar 51% secara cuma-cuma. Saham cuma-cuma tersebut diperolah dari sumber/cadangan mineral yang akan dioperasi-produksi PTFI sebagai saham pemerintah.
Ingat, seluruh kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh negara, termasuk mineral yang akan dioperasikan oleh PTFI. Artinya, kekayaan alam itu menjadi modal bagi pemerintah. Skema tersebut, dapat dipertimbangkan oleh pemerintah. Bukan seperti kondisi saat ini, di mana pemerintah terkesan terlalu sibuk berakrobasi dengan membongkar dan menabrak berbagai regulasi demi memperpanjang operasi PTFI.
Akhinya, bangsa Indonesia harus mulai menentukan pilihan agar sumber daya alamnya harus mulai dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Kalaupun akhirnya harus dikelola asing, manfaat maksimal harus diberikan kepada bangsa Indonesia dan pengelolaannya harus dibawah kendali Pemerintah Indonesia. Bukan secara arogan perusahaan menjadi "tuan" bagi Pemerintah Indonesia.
Oleh: Dr. Ahmad Redi
Pengamat Hukum Energi dan Sumber Daya Alam FH Universitas Tarumanagara
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Empat Opsi Skema Freeport Pasca-2021"
Post a Comment