Habis Kriminalisasi Terbitlah Intimidasi
Dakwah Media - Pendataan ulama pesantren oleh polisi di Kabupaten Jombang, Jawa Timur membuat para kiai di Kota Santri Jombang resah. Dalam situasi seperti sekarang para kiai khawatir pendataan tersebut akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Kekhawatiran para kiai pesantren atas pendataan yang dilakukan polisi sebagaimana diungkapkan KH Mohamad Irfan Yusuf, salah satu pengasuh pondok pesantren di Dusun Tebu Ireng Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Gus Irfan panggilan akrab Kiai Mohamad Irfan Yusuf mengaku bingung dan bertanya-tanya kenapa polisi mendata para kiai. Menurut dia, yang dilakukan polisi ini mirip dengan situasi seperti pada zaman PKI puluhan tahun silam. Cara polisi meminta data menurutnya juga tidak etis.
Saat itu, kata dia, polisi tiba-tiba datang ke pesantren dan meninggalkan blangko atau angket agar diisi oleh kiai tanpa memberikan penjelasan maksud dan tujuannya. (daerah.sindonews.com, 3/2/2017).
Catatan Sejarah
Seorang penulis bernama Agus Sunyoto menuliskan betapa kejamnya PKI dalam menumpas ulama, berikut kutipan artikelnya.
"Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang. Mesjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak."
"Sejarah mencatat, bahwa antara tanggal 18 – 21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama. Dengan kekejaman khas kaum komunis – seperti kelak dipraktekkan lagi di Kampuchea selama rezim Pol Pot berkuasa — bagian terbesar dari mayat-mayat yang dibunuh dengan sangat kejam oleh FDR/PKI itu dimasukkan ke dalam sumur-sumur “neraka” secara tumpuk-menumpuk dan tumpang-tindih. Sebagian lagi di antara tawanan FDR/PKI ditembak di “Ladang Pembantaian” di Pabrik Gula Gorang-gareng maupun di Alas Tuwa."
Artikel tersebut Pertama kali dimuat di buletin Risalah edisi 36 tahun IV 1433 H/ 2012 hal 24-29.
Penulis artikel tersebut adalah peneliti sejarah peristiwa Madiun 1948 yang diterbitkan dalam buku berjudul “LUBANG-LUBANG PEMBANTAIAN: GERAKAN MAKAR FDR/PKI 1948 DI MADIUN” (1990). Beliau juga peneliti konflik Banser-PKI 1965 di Jawa Tengah yang diterbitkan dalam buku berjudul “BANSER BERJIHAD MENUMPAS PKI” (1995). Selain itu beliau pun peneliti operasi Trisula 1966-1968 di Blitar yang dimuat bersambung di harian Jawa Pos September-Oktober 1995.
Wujud Intimidasi
Adanya pendataan ulama dan kyai secara tidak langsung mengingatkan para ulama dan kyai akan peristiwa di atas. Sebelum peristiwa itu terjadi sebagaimana dijelaskan oleh gus irfan, Saat itu, kata dia, polisi tiba-tiba datang ke pesantren dan meninggalkan blangko atau angket agar diisi oleh kiai tanpa memberikan penjelasan maksud dan tujuannya.
Dengan adanya pergerakan umat islam akhir-akhir ini yang digerakkan oleh ulama dalam melakukan pembelaan atas agama dan ulama agaknya membuat rezim yang berkuasa saat ini panik. Pasalnya rezim ini terkesan melindungi si penista agama dan ulama. Maka dengan berbagai macam cara mereka berupaya membendung pergerakan itu. Setelah sebelumnya adanya Kriminalisasi terhadap ulama maka sekarang muncullah ide untuk mengintimidasi para ulama dengan mengingatkan mereka pada sejarah kelam kejamnya PKI pada masa silam. Harapannya tidak akan ada lagi para ulama yang berani melakukan mobilisasi pergerakan umat menentang kebijakan rezim saat ini. Mereka mengharapkan ulama diam dan tidak ikut campur dalam urusan kenegaraan, termasuk salah satunya agar tidak ikut campur mendorong umat untuk menuntaskan hukuman atas penista agama dan ulama.
Ulama Wajib Tegas dan Tegar
Dalam kondisi carut marutnya hukum saat ini justru peran ulama yang tegas dan tegar sangat dibutuhkan oleh umat. Dengan berbagai makar yang dilakukan terhadap ulama tidak boleh menjadikan ulama sebagai penerang umat menjadi padam. Ulama harus tetap menjadi penggerak hakiki umat untuk melawan kezaliman yang ada. Karena motivasi yang diberikan ulama adalah motivasi akidah yang sejatinya telah ada dalam benak umat.
Selain itu ulama pun juga wajib menjelaskan kepada umat bahwa segala problematika umat yang terjadi ini diakibatkan meninggalkan Hukum - hukum Allah SWT. Sehingga keadilan hukum menjadi sangat relatif dan subjektif, tergantung siapa yang mampu membeli keadilan. Ini akibat diterapkannya sistem demokrasi yang mengabaikan hukum Allah. Oleh karenanya ulama wajib menjelaskan kepada umat akan pentingnya kembali menerapkan syariat islam secara kaffah untuk menuju kepada keadilan hukum yang hakiki. Selain itu syariat islam pun juga akan mampu memberikan pencegahan dari berbagai macam bentuk penistaan agama dan ulama. Lebih daripada itu jika syariat islam diterapkan secara total akan menghasilkan sebuah peradaban yang mulia dan menyejahterakan yang senantiasa diliputi oleh keridhoan Allah SWT.
Peradaban itu hanya mampu terwujud jika ditegakkannya Khilafah Islamiyah. Maka ulama harus menjadi penggerak utama bagi umat untuk berjuang menegakkannya dengan berbagi macam konsekuensi perjuangan. Karena sorban-sorban ulama yang Sholeh saja lah yang mampu menyatukan umat untuk bersama-sama berjuang untuk menegakkan Khilafah secara efektif dan kokoh.
Oleh : A. R. Zakarya (Aktivis HTI Jombang)
Kekhawatiran para kiai pesantren atas pendataan yang dilakukan polisi sebagaimana diungkapkan KH Mohamad Irfan Yusuf, salah satu pengasuh pondok pesantren di Dusun Tebu Ireng Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Gus Irfan panggilan akrab Kiai Mohamad Irfan Yusuf mengaku bingung dan bertanya-tanya kenapa polisi mendata para kiai. Menurut dia, yang dilakukan polisi ini mirip dengan situasi seperti pada zaman PKI puluhan tahun silam. Cara polisi meminta data menurutnya juga tidak etis.
Saat itu, kata dia, polisi tiba-tiba datang ke pesantren dan meninggalkan blangko atau angket agar diisi oleh kiai tanpa memberikan penjelasan maksud dan tujuannya. (daerah.sindonews.com, 3/2/2017).
Catatan Sejarah
Seorang penulis bernama Agus Sunyoto menuliskan betapa kejamnya PKI dalam menumpas ulama, berikut kutipan artikelnya.
"Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang. Mesjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak."
"Sejarah mencatat, bahwa antara tanggal 18 – 21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama. Dengan kekejaman khas kaum komunis – seperti kelak dipraktekkan lagi di Kampuchea selama rezim Pol Pot berkuasa — bagian terbesar dari mayat-mayat yang dibunuh dengan sangat kejam oleh FDR/PKI itu dimasukkan ke dalam sumur-sumur “neraka” secara tumpuk-menumpuk dan tumpang-tindih. Sebagian lagi di antara tawanan FDR/PKI ditembak di “Ladang Pembantaian” di Pabrik Gula Gorang-gareng maupun di Alas Tuwa."
Artikel tersebut Pertama kali dimuat di buletin Risalah edisi 36 tahun IV 1433 H/ 2012 hal 24-29.
Penulis artikel tersebut adalah peneliti sejarah peristiwa Madiun 1948 yang diterbitkan dalam buku berjudul “LUBANG-LUBANG PEMBANTAIAN: GERAKAN MAKAR FDR/PKI 1948 DI MADIUN” (1990). Beliau juga peneliti konflik Banser-PKI 1965 di Jawa Tengah yang diterbitkan dalam buku berjudul “BANSER BERJIHAD MENUMPAS PKI” (1995). Selain itu beliau pun peneliti operasi Trisula 1966-1968 di Blitar yang dimuat bersambung di harian Jawa Pos September-Oktober 1995.
Wujud Intimidasi
Adanya pendataan ulama dan kyai secara tidak langsung mengingatkan para ulama dan kyai akan peristiwa di atas. Sebelum peristiwa itu terjadi sebagaimana dijelaskan oleh gus irfan, Saat itu, kata dia, polisi tiba-tiba datang ke pesantren dan meninggalkan blangko atau angket agar diisi oleh kiai tanpa memberikan penjelasan maksud dan tujuannya.
Dengan adanya pergerakan umat islam akhir-akhir ini yang digerakkan oleh ulama dalam melakukan pembelaan atas agama dan ulama agaknya membuat rezim yang berkuasa saat ini panik. Pasalnya rezim ini terkesan melindungi si penista agama dan ulama. Maka dengan berbagai macam cara mereka berupaya membendung pergerakan itu. Setelah sebelumnya adanya Kriminalisasi terhadap ulama maka sekarang muncullah ide untuk mengintimidasi para ulama dengan mengingatkan mereka pada sejarah kelam kejamnya PKI pada masa silam. Harapannya tidak akan ada lagi para ulama yang berani melakukan mobilisasi pergerakan umat menentang kebijakan rezim saat ini. Mereka mengharapkan ulama diam dan tidak ikut campur dalam urusan kenegaraan, termasuk salah satunya agar tidak ikut campur mendorong umat untuk menuntaskan hukuman atas penista agama dan ulama.
Ulama Wajib Tegas dan Tegar
Dalam kondisi carut marutnya hukum saat ini justru peran ulama yang tegas dan tegar sangat dibutuhkan oleh umat. Dengan berbagai makar yang dilakukan terhadap ulama tidak boleh menjadikan ulama sebagai penerang umat menjadi padam. Ulama harus tetap menjadi penggerak hakiki umat untuk melawan kezaliman yang ada. Karena motivasi yang diberikan ulama adalah motivasi akidah yang sejatinya telah ada dalam benak umat.
Selain itu ulama pun juga wajib menjelaskan kepada umat bahwa segala problematika umat yang terjadi ini diakibatkan meninggalkan Hukum - hukum Allah SWT. Sehingga keadilan hukum menjadi sangat relatif dan subjektif, tergantung siapa yang mampu membeli keadilan. Ini akibat diterapkannya sistem demokrasi yang mengabaikan hukum Allah. Oleh karenanya ulama wajib menjelaskan kepada umat akan pentingnya kembali menerapkan syariat islam secara kaffah untuk menuju kepada keadilan hukum yang hakiki. Selain itu syariat islam pun juga akan mampu memberikan pencegahan dari berbagai macam bentuk penistaan agama dan ulama. Lebih daripada itu jika syariat islam diterapkan secara total akan menghasilkan sebuah peradaban yang mulia dan menyejahterakan yang senantiasa diliputi oleh keridhoan Allah SWT.
Peradaban itu hanya mampu terwujud jika ditegakkannya Khilafah Islamiyah. Maka ulama harus menjadi penggerak utama bagi umat untuk berjuang menegakkannya dengan berbagi macam konsekuensi perjuangan. Karena sorban-sorban ulama yang Sholeh saja lah yang mampu menyatukan umat untuk bersama-sama berjuang untuk menegakkan Khilafah secara efektif dan kokoh.
Oleh : A. R. Zakarya (Aktivis HTI Jombang)
0 Response to "Habis Kriminalisasi Terbitlah Intimidasi"
Post a Comment