Guru; Digugu lan Ditiru
Dakwah Media - Guruku, teladanku. Kalimat itu semakin jarang dan sulit dijumpai di kalangan pelajar saat ini. “Aku kesel sama guruku di kelas hari ini. Gurunya galak, nyebelin lagi. Pokoknya aku gak suka sama dia. Males aku.” begitu keluh salah seorang teman penulis di apartment. Bahkan hampir setiap hari kalimat-kalimat itu jadi pembuka setiap dia pulang dari markaz tempatnya belajar. Lalu, komentar apa yang seharusnya penulis berikan?
Sesungguhnya guru memiliki peran yang sangat besar dalam penyebaran ilmu, terlebih jika yang disampaikan adalah ilmu agama yang mulia ini, Islam. ‘Para pewaris Nabi’ begitulah gelar yang disematkan mereka, para pemegang kemulian ilmu agama yang tidak memisahkannya dari kehidupan (sekularisme). Begitu tinggi kedudukan mereka di hadapan Sang Pencipta, Allah azza wa jalla. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bersabda:
ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad)
Tersirat dari perkataan beliau saw bahwa mereka para ulama wajib di perlakukan sesuai dengan haknya. Akhlak serta adab yang baik merupakan kewajiban yang tak boleh dilupakan bagi seorang murid terhadap gurunya. Baik ketika sedang bertatap muka atau setelah ketiadaannya seperti halnya membicarakan hal-hal yang tidak layak di belakang sang guru.
Seperti perkataan salah seorang sahabat, Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu beliau berkata:
كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara.” (HR. Bukhari)
Ibnu Abbas seorang sahabat yang ‘alim, mufassir Al-Quran umat ini, seorang dari Ahli Bait Nabi pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiallahu anhu dan berkata:
هكذا أمرنا أن نفعل بعلمائنا
“Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami”.
Kemudian berkata Abdurahman bin Harmalah Al Aslami:
ما كان إنسان يجترئ على سعيد بن المسيب يسأله عن شيء حتى يستأذنه كما يستأذن الأمير
“Tidaklah sesorang berani bertanya kepada Said bin Musayyib, sampai dia meminta izin, layaknya meminta izin kepada seorang raja”.
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata:
مَا وَاللَّهِ اجْتَرَأْتُ أَنْ أَشْرَبَ الْمَاءَ وَالشَّافِعِيُّ يَنْظُرُ إِلَيَّ هَيْبَةً لَهُ
“Demi Allah, aku tidak berani meminum air dalam keadaan Asy-Syafi’i melihatku karena segan kepadanya”.
Diriwayatkan oleh Al–Imam Baihaqi, Umar bin Khatthab mengatakan:
تواضعوا لمن تعلمون منه
“Tawadhulah kalian terhadap orang yang mengajari kalian”.
Al Imam Asy- Syafi’i berkata:
كنت أصفح الورقة بين يدي مالك صفحًا رفيقًا هيبة له لئلا يسمع وقعها
“Dulu aku membolak balikkan kertas di depan Malik dengan sangat lembut karena segan padanya dan supaya dia tak mendengarnya”.
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata, “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang dari guruku, karena Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Kalau sekiranya mereka sabar, sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya” (QS. Al Hujurat: 5).
Sungguh mulia akhlak mereka, para tauladan kaum muslimin, tidaklah heran jika mereka menjadi ulama besar umat ini, sungguh keberkahan ilmu mereka adalah buah dari akhlak mulia terhadap guru. Lalu, bagaimana kondisi pelajar saat ini?
Kondisi pelajar saat ini sudah jauh sekali dari cerminan kehidupan para sahabat, ulama di masa kegemilangan Islam pada waktu itu. Sehingga wajar saja jika keberkahan ilmu menjadi sesuatu yang mahal bagi seorang pelajar. Berbicara kasar di depan guru sudah menjadi hal yang lazim, menggunjing guru menjadi menu harian sebelum guru memasuki kelas. Dan ini sudah dianggap wajar. Padahal kondisi semacam ini adalah bentuk kegagalan dunia pendidikan dalam mencetak generasi peradaban umat.
Di dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan asas bagi seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh Negara Khilafah. Oleh karena itu, Negara menjamin setiap rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan dari berbagai kalangan bisa mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa memungut biaya.
Pendidikan Islam menjadikan aqidah Islam sebagai landasan kurikulum pendidikan. Dengan keyakinan penuh bahwa untuk mewujudkan generasi berjiwa pemimpin memerlukan kurikulum berkualitas yang disusun berdasarkan dan berorientasikan ideologi Islam sehingga mampu mencetak generasi yang berkepribadian Islam. Generasi yang mampu menjadikan pola pikir dan pola sikapnya selaras dengan syariat.
Materi dan metode pendidikan didesain sedemikian rupa sehingga peserta didik mampu memahami dan meyakini bahwa eksistensi Allah swt dengan segala sifat-sifat uluhiyahnya adalah kebenaran, kesadaran ini kemudian diwujudkan dengan memandang keridhoan Allah swt sebagai kebahagiaan tertinggi dan keterikatan kepada syariat Allah swt adalah hal yang mutlak. Disamping itu peserta didik juga memandang bahwa Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan yang layak bagi manusia. Di atas prinsip-prinsip ini nilai-nilai, akhlak mulia benar-benar menghiasi segenap aktivitas pelajar.
Dengan pendidikan Islam, maka akan mampu mencetak pelajar, penuntut ilmu berakhlak baik kepada gurunya. Ibnu Utsaimin berkata: “Jika gurumu itu sangat baik akhlaknya, jadikanlah dia qudwah atau contoh untukmu dalam berakhlak. Namun bila keadaan malah sebaliknya, maka jangan jadikan akhlak buruknya sebagai contoh untukmu, karena seorang guru dijadikan contoh dalam akhlak yang baik, bukan akhlak buruknya, karena tujuan seorang penuntut ilmu duduk di majelis seorang guru mengambil ilmunya kemudian akhlaknya.”
Bagi seorang muslim, terlebih bagi pelajar tidak ada yang lebih baik kecuali bersama orang orang yang berilmu dan yang selalu menyeru Allah Azza wa Jalla yakni taat kepada seluruh syariat dan larangan-Nya bukan setengah-setengah. Al Imam Asy- Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
اصبر على مر من الجفا معلم فإن رسوب العلم في نفراته
“Bersabarlah terhadapt kerasnya sikap seorang guru. Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya.” Waallahu ‘aliimun bish shawwab.
Oleh: Ima Susiati (Mahasiswi Darul Lughah Univ. Al Azhar Cairo Mesir)
Related
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad)
Tersirat dari perkataan beliau saw bahwa mereka para ulama wajib di perlakukan sesuai dengan haknya. Akhlak serta adab yang baik merupakan kewajiban yang tak boleh dilupakan bagi seorang murid terhadap gurunya. Baik ketika sedang bertatap muka atau setelah ketiadaannya seperti halnya membicarakan hal-hal yang tidak layak di belakang sang guru.
كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara.” (HR. Bukhari)
Ibnu Abbas seorang sahabat yang ‘alim, mufassir Al-Quran umat ini, seorang dari Ahli Bait Nabi pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiallahu anhu dan berkata:
هكذا أمرنا أن نفعل بعلمائنا
“Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami”.
Kemudian berkata Abdurahman bin Harmalah Al Aslami:
ما كان إنسان يجترئ على سعيد بن المسيب يسأله عن شيء حتى يستأذنه كما يستأذن الأمير
“Tidaklah sesorang berani bertanya kepada Said bin Musayyib, sampai dia meminta izin, layaknya meminta izin kepada seorang raja”.
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata:
مَا وَاللَّهِ اجْتَرَأْتُ أَنْ أَشْرَبَ الْمَاءَ وَالشَّافِعِيُّ يَنْظُرُ إِلَيَّ هَيْبَةً لَهُ
“Demi Allah, aku tidak berani meminum air dalam keadaan Asy-Syafi’i melihatku karena segan kepadanya”.
Diriwayatkan oleh Al–Imam Baihaqi, Umar bin Khatthab mengatakan:
تواضعوا لمن تعلمون منه
“Tawadhulah kalian terhadap orang yang mengajari kalian”.
Al Imam Asy- Syafi’i berkata:
كنت أصفح الورقة بين يدي مالك صفحًا رفيقًا هيبة له لئلا يسمع وقعها
“Dulu aku membolak balikkan kertas di depan Malik dengan sangat lembut karena segan padanya dan supaya dia tak mendengarnya”.
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata, “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang dari guruku, karena Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Kalau sekiranya mereka sabar, sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya” (QS. Al Hujurat: 5).
Sungguh mulia akhlak mereka, para tauladan kaum muslimin, tidaklah heran jika mereka menjadi ulama besar umat ini, sungguh keberkahan ilmu mereka adalah buah dari akhlak mulia terhadap guru. Lalu, bagaimana kondisi pelajar saat ini?
Kondisi pelajar saat ini sudah jauh sekali dari cerminan kehidupan para sahabat, ulama di masa kegemilangan Islam pada waktu itu. Sehingga wajar saja jika keberkahan ilmu menjadi sesuatu yang mahal bagi seorang pelajar. Berbicara kasar di depan guru sudah menjadi hal yang lazim, menggunjing guru menjadi menu harian sebelum guru memasuki kelas. Dan ini sudah dianggap wajar. Padahal kondisi semacam ini adalah bentuk kegagalan dunia pendidikan dalam mencetak generasi peradaban umat.
Di dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan asas bagi seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh Negara Khilafah. Oleh karena itu, Negara menjamin setiap rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan dari berbagai kalangan bisa mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa memungut biaya.
Pendidikan Islam menjadikan aqidah Islam sebagai landasan kurikulum pendidikan. Dengan keyakinan penuh bahwa untuk mewujudkan generasi berjiwa pemimpin memerlukan kurikulum berkualitas yang disusun berdasarkan dan berorientasikan ideologi Islam sehingga mampu mencetak generasi yang berkepribadian Islam. Generasi yang mampu menjadikan pola pikir dan pola sikapnya selaras dengan syariat.
Materi dan metode pendidikan didesain sedemikian rupa sehingga peserta didik mampu memahami dan meyakini bahwa eksistensi Allah swt dengan segala sifat-sifat uluhiyahnya adalah kebenaran, kesadaran ini kemudian diwujudkan dengan memandang keridhoan Allah swt sebagai kebahagiaan tertinggi dan keterikatan kepada syariat Allah swt adalah hal yang mutlak. Disamping itu peserta didik juga memandang bahwa Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan yang layak bagi manusia. Di atas prinsip-prinsip ini nilai-nilai, akhlak mulia benar-benar menghiasi segenap aktivitas pelajar.
Dengan pendidikan Islam, maka akan mampu mencetak pelajar, penuntut ilmu berakhlak baik kepada gurunya. Ibnu Utsaimin berkata: “Jika gurumu itu sangat baik akhlaknya, jadikanlah dia qudwah atau contoh untukmu dalam berakhlak. Namun bila keadaan malah sebaliknya, maka jangan jadikan akhlak buruknya sebagai contoh untukmu, karena seorang guru dijadikan contoh dalam akhlak yang baik, bukan akhlak buruknya, karena tujuan seorang penuntut ilmu duduk di majelis seorang guru mengambil ilmunya kemudian akhlaknya.”
Bagi seorang muslim, terlebih bagi pelajar tidak ada yang lebih baik kecuali bersama orang orang yang berilmu dan yang selalu menyeru Allah Azza wa Jalla yakni taat kepada seluruh syariat dan larangan-Nya bukan setengah-setengah. Al Imam Asy- Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
اصبر على مر من الجفا معلم فإن رسوب العلم في نفراته
“Bersabarlah terhadapt kerasnya sikap seorang guru. Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya.” Waallahu ‘aliimun bish shawwab.
Oleh: Ima Susiati (Mahasiswi Darul Lughah Univ. Al Azhar Cairo Mesir)
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Guru; Digugu lan Ditiru"
Post a Comment