Stop DeIslamisasi!
Dakwah Media - Opini stereotip radikalisme dan terorisme selalu diangkat ke permukaan. Tujuannya, apalagi jika bukan untuk terus memojokkan Islam dan kaum Muslim, terutama mereka yang selama ini istiqamah memperjuangkan tegaknya syariah Islam. Sebaliknya, tindak kekerasan oleh negara, termasuk AS, yang bahkan telah menimbulkan jutaan korban jiwa di sejumlah negeri Muslim tidak dianggap sebagai terorisme. Amerika Serikat dan Inggris yang bersaing pengaruh atas Papua sama sekali tidak dicurigai sebagai teroris. Sementara menteri-menteri yang “menjual” aset BUMN dengan menghutang pada asing, melakukan liberalisasi di sana sini, yang jelas-jelas berbahaya bagi NKRI, tidak dipahami membahayakan negara.
Media melakukan hal hal di atas adalah bagian dari prilaku phobia terhadap Islam,bahkan lebih cenderung pada pengingkaran sejarah Islam dari waktu ke waktu.Melupakan peran penting peradaban Islam dan kaum Muslim di berbagai tempat dan waktu yang berbeda.Dari mulai Islam muncul hingga mencapai puncak peradaban,hingga Islam menjadi terpuruk dan sasaran ketidak adilan media hari ini.
Sejauh ini Pemerintah Indonesia dengan kacamata kudanya (subyektif), memandang radikalisme secara dominan sebagai gejala yang lahir dari tafsiran teologi yang menyimpang. Pemerintah abai terhadap realitas berupa meluasnya sikap apatisme dan frustasi sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan, dan tekanan hidup yang berat. Semua itu korelatif dengan peran imperialisme global yang dikomandani Amerika Serikat terhadap Indonesia. Karena itu, berapapun anak-anak negeri ini ditembak mati karena alasan terorisme sesungguhnya tidak akan bisa memadamkan potensi lahirnya “teroris-teroris” baru jika faktor kompleks—termasuk di dalamnya kezaliman global oleh dunia Barat terhadap Dunia Islam—yang menjadi akar masalahnya diabaikan.
Pemerintah malah membuat langkah deradikalisasi secara massif diimplementasikan dengan konsentrasi pada perubahan orentasi dan tafsiran dalam keberagamaan seseorang agar lebih moderat (wasatiyyah), toleran dan liberal. Ini sesungguhnya bukan solusi karena akan menciptakan polarisasi dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Praktik devide et impera (strategi belah bambu) akan menjadi pemicu permanen lahirnya sikap radikal.
Deradikalisasi cukup berbahaya untuk umat Islam karena berpotensi menyimpang, melahirkan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan terhadap nash-nash syariah, membangun pemahaman yang konstruksi dalil dan argumentasi (hujah)-nya lemah, menyelaraskan nash-nash syariah terhadap realitas sekular dan memaksakan dalil mengikuti konteks aktualnya. Contohnya adalah upaya tahrif (penyimpangan) pada makna jihad, tasamuh (toleransi), syura dan demokrasi, hijrah, thagut, muslim dan kafir, ummat[an] washat, klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS al-Baqarah [2]: 217) serta upaya mengkriminalisasi dan monsterisasi terminologi Daulah Islam dan Khilafah.
Aneh, Islam yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmatan lil ‘alamin selalu saja dikait-kaitkan dengan teror. Tidak logis, Islam mengharamkan teror, apalagi di negeri Muslim, namun tetap saja teror dihubung-hubungkan dengan Islam dan orang yang memperjuangkan Islam. Korbannya pun negeri Muslim. Orang yang meninggal dan luka pun mayoritas Muslim. Negeri dan umat Islam menjadi korban. Lantas? Teror ini bukan atas dasar Islam. Bukan pula untuk kepentingan umat Islam. Bagaimana mungkin peristiwa itu dikaitkan dengan Islam padahal bertentangan dengan Islam. Bagaimana pula kejadian tersebut dihubungkan dengan umat Islam padahal umat Islam itu justru sebagai korban.
Seluruh elemen kaum Muslim sepatutnya menyadari taktik belah bambu yang digunakan Barat untuk menghentikan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah, baik itu dengan menghadapkan vis a vis kalangan wahabi dengan tradisional, atau radikal dengan moderat. Agenda deradikalisasi adalah kedok dari program deislamisasi. BNPT adalah pion yang dipakai Barat untuk memerangi perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah dalam agenda ‘globar war on terror’.
Hal yang menggembirakan yaitu kian naiknya resistensi umat Islam terhadap gerakan deradikalisasi dan kontraterorisme yang dilakukan pemerintah. Kesadaran masyarakat awam akan kemungkinan rekayasa, fitnah terhadap dakwah Islam sudah mulai tumbuh. Seandainya saja gerakan deradikalisasi dan kontraterorisme tidak didukung oleh media massa sekular, atau ada media massa yang berani mengambil sikap berseberangan dengan mereka, bisa dipastikan program deradikalisasi dan kontraterorisme ini mendekati ajalnya. Bagi umat Islam, ketidakadilan global ini harus dihentikan. Berharap pada negara-negara imperialis untuk menghentikan kejahatan mereka sangatlah sulit. Karena selama Barat mengadopsi ideologi Kapitalisme, penjajahan akan menjadi metode baku yang tidak berubah.
Oleh: Mahfud Abdullah (Kediri)
Media melakukan hal hal di atas adalah bagian dari prilaku phobia terhadap Islam,bahkan lebih cenderung pada pengingkaran sejarah Islam dari waktu ke waktu.Melupakan peran penting peradaban Islam dan kaum Muslim di berbagai tempat dan waktu yang berbeda.Dari mulai Islam muncul hingga mencapai puncak peradaban,hingga Islam menjadi terpuruk dan sasaran ketidak adilan media hari ini.
Sejauh ini Pemerintah Indonesia dengan kacamata kudanya (subyektif), memandang radikalisme secara dominan sebagai gejala yang lahir dari tafsiran teologi yang menyimpang. Pemerintah abai terhadap realitas berupa meluasnya sikap apatisme dan frustasi sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan, dan tekanan hidup yang berat. Semua itu korelatif dengan peran imperialisme global yang dikomandani Amerika Serikat terhadap Indonesia. Karena itu, berapapun anak-anak negeri ini ditembak mati karena alasan terorisme sesungguhnya tidak akan bisa memadamkan potensi lahirnya “teroris-teroris” baru jika faktor kompleks—termasuk di dalamnya kezaliman global oleh dunia Barat terhadap Dunia Islam—yang menjadi akar masalahnya diabaikan.
Pemerintah malah membuat langkah deradikalisasi secara massif diimplementasikan dengan konsentrasi pada perubahan orentasi dan tafsiran dalam keberagamaan seseorang agar lebih moderat (wasatiyyah), toleran dan liberal. Ini sesungguhnya bukan solusi karena akan menciptakan polarisasi dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Praktik devide et impera (strategi belah bambu) akan menjadi pemicu permanen lahirnya sikap radikal.
Deradikalisasi cukup berbahaya untuk umat Islam karena berpotensi menyimpang, melahirkan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan terhadap nash-nash syariah, membangun pemahaman yang konstruksi dalil dan argumentasi (hujah)-nya lemah, menyelaraskan nash-nash syariah terhadap realitas sekular dan memaksakan dalil mengikuti konteks aktualnya. Contohnya adalah upaya tahrif (penyimpangan) pada makna jihad, tasamuh (toleransi), syura dan demokrasi, hijrah, thagut, muslim dan kafir, ummat[an] washat, klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS al-Baqarah [2]: 217) serta upaya mengkriminalisasi dan monsterisasi terminologi Daulah Islam dan Khilafah.
Aneh, Islam yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmatan lil ‘alamin selalu saja dikait-kaitkan dengan teror. Tidak logis, Islam mengharamkan teror, apalagi di negeri Muslim, namun tetap saja teror dihubung-hubungkan dengan Islam dan orang yang memperjuangkan Islam. Korbannya pun negeri Muslim. Orang yang meninggal dan luka pun mayoritas Muslim. Negeri dan umat Islam menjadi korban. Lantas? Teror ini bukan atas dasar Islam. Bukan pula untuk kepentingan umat Islam. Bagaimana mungkin peristiwa itu dikaitkan dengan Islam padahal bertentangan dengan Islam. Bagaimana pula kejadian tersebut dihubungkan dengan umat Islam padahal umat Islam itu justru sebagai korban.
Seluruh elemen kaum Muslim sepatutnya menyadari taktik belah bambu yang digunakan Barat untuk menghentikan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah, baik itu dengan menghadapkan vis a vis kalangan wahabi dengan tradisional, atau radikal dengan moderat. Agenda deradikalisasi adalah kedok dari program deislamisasi. BNPT adalah pion yang dipakai Barat untuk memerangi perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah dalam agenda ‘globar war on terror’.
Hal yang menggembirakan yaitu kian naiknya resistensi umat Islam terhadap gerakan deradikalisasi dan kontraterorisme yang dilakukan pemerintah. Kesadaran masyarakat awam akan kemungkinan rekayasa, fitnah terhadap dakwah Islam sudah mulai tumbuh. Seandainya saja gerakan deradikalisasi dan kontraterorisme tidak didukung oleh media massa sekular, atau ada media massa yang berani mengambil sikap berseberangan dengan mereka, bisa dipastikan program deradikalisasi dan kontraterorisme ini mendekati ajalnya. Bagi umat Islam, ketidakadilan global ini harus dihentikan. Berharap pada negara-negara imperialis untuk menghentikan kejahatan mereka sangatlah sulit. Karena selama Barat mengadopsi ideologi Kapitalisme, penjajahan akan menjadi metode baku yang tidak berubah.
Oleh: Mahfud Abdullah (Kediri)
0 Response to "Stop DeIslamisasi!"
Post a Comment