Meluruskan Kesalahpahaman terhadap Kiprah Dakwah HTI
Dakwah Media - Bulan April 2017 ini, HTI kembali menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Hal ini karena di bulan April 2017 HTI menggelar acara kolosal bertajuk “Masirah Panji Rasulullah” di 36 kota besar di Indonesia. Acara yang mengambil tema “Khilafah Kewajiban Syar’ie Jalan Kebangkitan Umat” ini bertujuan mensosialisasikan Panji Rasulullah Al-Liwa dan Ar-Rayah serta memahamkan kepada umat bahwa Khilafah itu adalah ajaran Islam yang agung yang akan menjadi jalan bagi kebangkitan Islam. Inti dari gagasan Khilafah itu adalah ukhuwah islamiyah, syariah dan dakwah.
Dalam pertemuan Alim Ulama di Jember pada tanggal 16 April 2017 yang dihadiri 45 ulama Jawa Timur, ditegaskan kembali bahwa Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, bagian dari syariah Islam. Ulama-ulama dari ahlus sunnah wal jama’ah dari empat madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali menegaskan wajibnya mengangkat khalifah. Al Imam al Hafidz Abu Zakaria an Nawawiy al Asyari asy Syafii dalam syarah Shahih Muslim menegaskan
“dan kaum muslimin telah berijma’ bahwa mengangkat khalifah itu wajib atas kaum muslimin, kewajiban tersebut berdasarkan syara’ bukan berdasarkan akal”.
Terkait dengan Panji Rasulullah SAW, yaitu Ar-Royah dan Al-Liwa, At-Thabrani meriwayatkan bahwa Panji atau Royah Rasulullah berwarna hitam dan bendera atau Liwa’ Rasulullah berwarna putih bertuliskan kalimat tauhid “La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Hal ini sekaligus menegaskan bahwa bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid itu adalah Panjinya Rasulullah, bukan bendera organisasi, bukan benderanya HTI, dan tidak boleh sama sekali dianggap sebagai simbol radikalisme sebagaimana yang selama ini berkembang.
Meluruskan Kesalahpahaman
Dakwah HTI mengusung ide syariah dan khilafah dilakukan secara terbuka, tetapi tetap santun, damai, tanpa kekerasan dan mengedepankan kualitas intelektual yang tinggi. Namun tidak dipungkiri di masyarakat terjadi pro dan kontra. Ini kita pandang sebagai hal yang biasa. Apalagi kenyataan masyarakat saat ini menunjukkan adanya jarak yang cukup lebar antara ajaran Islam di satu sisi dan pemahaman masyarakat di sisi yang lain, sehingga menyebabkan banyak sekali ajaran Islam yang belum difahami masyarakat kemudia menimbulkan kesalahpahaman.
Di antara kesalahfahaman terhadap HTI adalah bahwa HTI itu dianggap anti kearifan lokal, seperti menolak ziarah kubur, qunut, tahlian, dan lain sebagainya. Padahal semua itu tidak benar, HTI itu bukan organisasi yang dibangun berdasarkan kesatuan mazhab atau aliran fiqih tertentu tetapi HTI adalah organisasi dakwah yang mewadahi berbagai madzhab atau aliran fiqih yang muktabar, sehingga para aktifisnya datang dari berbagai mazhab dan HTI tidak mempersoalkan perbedaan itu. HTI berpandangan bahwa semua organisasi dan ormas Islam adalah saudara. Adapun amalan ziaroh kubur, qunut, dan tahlilan adalah perkara furu’ dan ikhtilaf yang diperbolehkan berbeda diantara kaum muslimin. Sebagian para aktivis HTI sendiri dengan latar belakang yang beragam juga melaksanakan amalan-amalan tersebut. HTI sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya, bahkan sebaliknya HTI mendorong agar di antara perbedaan itu muncul rasa tasamuh atau sikap toleransi terhadap perbedaan dalam persoalan khilafiyah. Jadi anggapan bahwa HTI suka menyesatkan kelompok yang melaksanakan Ziaroh Kubur, Tahlil, dan Qunut, pernyataan ini jelas tidak ada dasarnya sama sekali.
Terkait dengan anggapan bahwa HTI adalah gerakan radikal, akan mengubah UUD 45, disampaikan bahwa meski kata radikal yang bermakna “mendasar” adalah sebuah istilah yang ‘netral’, tidak condong kepada sesuatu yang bermakna positif atau negatif. Namun, kesan yang timbul di masyarakat memang sangat negatif. Apalagi jika diimbuhi kata “isme” di belakangnya, sebab definisi radikalisme adalah suatu paham yang diyakini sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
HTI memang berikhtiar agar syariah dan Khilafah dapat tegak, karena diyakini akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, namun HTI sama sekali tidak menggunakan cara-cara kekerasan. Perjuangan HTI adalah dakwah pemikiran (fikriyah) tanpa menggunakan cara-cara kekerasan (la unfiah). Metode dakwah ini diyakini sebagai metode dakwah Rasulullah saw yang wajib ditiru dan diikuti.
Kemudian tentang UUD, baik ada HTI atau tidak, faktanya memang terus berubah seiring dengan dinamika masyarakat. Karena itulah perubahan UUD merupakan sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang istimewa.Yang penting bahwa perubahan itu didasarkan pada kepentingan masyarakat dalam arti yang sebenarnya, bukan karena kepentingan politik sesaat dari kelompok tertentu.
Secara teoritik menurut CF Strong, perubahan UUD secara legal dapat terjadi melalui berbagai cara, diantaranya perubahan dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif tetapi dengan batasan-batasan tertentu (by ordinary legislative but under certain restriction) atau oleh rakyat melalui suatu referendum (by the people through of referendum).
Di Indonesia, UUD 45 telah mengalami perubahan sebanyak lima kali pasca reformasi hingga saat ini. Jika memang perubahan UUD 45 itu sesuatu yang harus dikecam, perubahan itu terjadi tanpa keikut-sertaan HTI sama sekali. Maka cukup mengherankan jika HTI ditolak karena dituduh akan mengubah UUD 45.
Sebagai Organisasi yang berbadan hukum yang disahkan SK Menkumham, HTI mendakwahkan dan mensosialisasi syariah dan khilafah dengan cara-cara damai yang tidak melanggar hukum. Jika kemudian rakyat dan wakil rakyat di DPR dan MPR menerima dakwah HTI maka perubahan menuju diterapkannya syariah baru bisa terjadi. Jadi HTI hanya menawarkan konsep perubahan saja, dan tidak bersifat memaksa. Bahkan konsep yang ditawarkan HTI boleh didiskusikan dan diuji oleh siapapun. Dan dengan duduk bersama dan berdiskusi dengan pikiran terbuka insya Allah kesalahpahaman ini dapat diminimalisasi.
Wallahu a’lam.
Oleh: Ustadz Ir. Abdullah IAR, MT. (Ketua DPD 1 HTI Jateng)
Tulisan Ini dipublikasikan Pertama Kali oleh Hariam Amanah
sumber: dakwahjateng
Related
Terkait dengan Panji Rasulullah SAW, yaitu Ar-Royah dan Al-Liwa, At-Thabrani meriwayatkan bahwa Panji atau Royah Rasulullah berwarna hitam dan bendera atau Liwa’ Rasulullah berwarna putih bertuliskan kalimat tauhid “La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Hal ini sekaligus menegaskan bahwa bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid itu adalah Panjinya Rasulullah, bukan bendera organisasi, bukan benderanya HTI, dan tidak boleh sama sekali dianggap sebagai simbol radikalisme sebagaimana yang selama ini berkembang.
Meluruskan Kesalahpahaman
Di antara kesalahfahaman terhadap HTI adalah bahwa HTI itu dianggap anti kearifan lokal, seperti menolak ziarah kubur, qunut, tahlian, dan lain sebagainya. Padahal semua itu tidak benar, HTI itu bukan organisasi yang dibangun berdasarkan kesatuan mazhab atau aliran fiqih tertentu tetapi HTI adalah organisasi dakwah yang mewadahi berbagai madzhab atau aliran fiqih yang muktabar, sehingga para aktifisnya datang dari berbagai mazhab dan HTI tidak mempersoalkan perbedaan itu. HTI berpandangan bahwa semua organisasi dan ormas Islam adalah saudara. Adapun amalan ziaroh kubur, qunut, dan tahlilan adalah perkara furu’ dan ikhtilaf yang diperbolehkan berbeda diantara kaum muslimin. Sebagian para aktivis HTI sendiri dengan latar belakang yang beragam juga melaksanakan amalan-amalan tersebut. HTI sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya, bahkan sebaliknya HTI mendorong agar di antara perbedaan itu muncul rasa tasamuh atau sikap toleransi terhadap perbedaan dalam persoalan khilafiyah. Jadi anggapan bahwa HTI suka menyesatkan kelompok yang melaksanakan Ziaroh Kubur, Tahlil, dan Qunut, pernyataan ini jelas tidak ada dasarnya sama sekali.
Terkait dengan anggapan bahwa HTI adalah gerakan radikal, akan mengubah UUD 45, disampaikan bahwa meski kata radikal yang bermakna “mendasar” adalah sebuah istilah yang ‘netral’, tidak condong kepada sesuatu yang bermakna positif atau negatif. Namun, kesan yang timbul di masyarakat memang sangat negatif. Apalagi jika diimbuhi kata “isme” di belakangnya, sebab definisi radikalisme adalah suatu paham yang diyakini sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
HTI memang berikhtiar agar syariah dan Khilafah dapat tegak, karena diyakini akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, namun HTI sama sekali tidak menggunakan cara-cara kekerasan. Perjuangan HTI adalah dakwah pemikiran (fikriyah) tanpa menggunakan cara-cara kekerasan (la unfiah). Metode dakwah ini diyakini sebagai metode dakwah Rasulullah saw yang wajib ditiru dan diikuti.
Kemudian tentang UUD, baik ada HTI atau tidak, faktanya memang terus berubah seiring dengan dinamika masyarakat. Karena itulah perubahan UUD merupakan sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang istimewa.Yang penting bahwa perubahan itu didasarkan pada kepentingan masyarakat dalam arti yang sebenarnya, bukan karena kepentingan politik sesaat dari kelompok tertentu.
Secara teoritik menurut CF Strong, perubahan UUD secara legal dapat terjadi melalui berbagai cara, diantaranya perubahan dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif tetapi dengan batasan-batasan tertentu (by ordinary legislative but under certain restriction) atau oleh rakyat melalui suatu referendum (by the people through of referendum).
Di Indonesia, UUD 45 telah mengalami perubahan sebanyak lima kali pasca reformasi hingga saat ini. Jika memang perubahan UUD 45 itu sesuatu yang harus dikecam, perubahan itu terjadi tanpa keikut-sertaan HTI sama sekali. Maka cukup mengherankan jika HTI ditolak karena dituduh akan mengubah UUD 45.
Sebagai Organisasi yang berbadan hukum yang disahkan SK Menkumham, HTI mendakwahkan dan mensosialisasi syariah dan khilafah dengan cara-cara damai yang tidak melanggar hukum. Jika kemudian rakyat dan wakil rakyat di DPR dan MPR menerima dakwah HTI maka perubahan menuju diterapkannya syariah baru bisa terjadi. Jadi HTI hanya menawarkan konsep perubahan saja, dan tidak bersifat memaksa. Bahkan konsep yang ditawarkan HTI boleh didiskusikan dan diuji oleh siapapun. Dan dengan duduk bersama dan berdiskusi dengan pikiran terbuka insya Allah kesalahpahaman ini dapat diminimalisasi.
Wallahu a’lam.
Oleh: Ustadz Ir. Abdullah IAR, MT. (Ketua DPD 1 HTI Jateng)
Tulisan Ini dipublikasikan Pertama Kali oleh Hariam Amanah
sumber: dakwahjateng
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Meluruskan Kesalahpahaman terhadap Kiprah Dakwah HTI"
Post a Comment