Kala Kamera Agus Menangkap Basah Gayus Tambunan
Dakwah Media - Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika Agus Susanto mulai membidikkan lensa panjangnya ke arah tribun penonton. Dengan cermat ia mengamati satu per satu wajah penonton lewat viewfinder kamera dan mencocokkan dengan sebuah wajah yang ada di benaknya.
Pertandingan nyaris berakhir ketika Agus mendapatkan sang buruan.
Cekrek. Cekrek. Cekrek. Beberapa lembar foto Gayus Halomoan Tambunan pun berhasil ia dapatkan.
Pada November 2010 silam, foto-foto yang diambil Agus itu pernah membuat geger. Bagaimana tidak. Gayus yang seharusnya sedang menghuni Rumah Tahanan Brimob di Depok, justru tertangkap kamera Agus sedang menyaksikan pertandingan tenis di Nusa Dua, Bali.
Gayus kala itu mengenakan rambut palsu dan kacamata berbingkai hitam. Ia asik menyaksikan pertandingan antara Yanina Wickmayer dan Daniela Hantuchova di kompetisi Bank Tournament of Champions.
Agus sebenarnya bukan fotografer yang ditugaskan Kompas –media tempat ia bekerja—untuk meliput turnamen itu. Tetapi salah seorang rekan kerjanya sakit, sehingga Agus yang saat itu sedang berada di Bali mengambil alih.
Sebelum pertandingan Wickmayer vs Hantuchova itu, Agus sudah mendengar dari penjaga lapangan bahwa Gayus selama dua hari sebelumnya selalu menonton pertandingan. Pria yang didakwa kasus pajak dan pencucian uang itu memang penggemar tenis.
Hanya saja, Agus tak tahu pasti Gayus duduk di mana.
Agus mengaku tak terlalu memaksakan diri untuk bisa mendapatkan foto Gayus. Yang menjadi fokusnya tetaplah tugas untuk memotret pertandingan tenis.
Namun tampaknya keberuntungan dekat dengan Agus. Saat pertandingan akan berakhir, Agus mendapatkan sosok yang sedang ia buru duduk di lantai tiga.
"Akhirnya setelah 45 menit (pertandingan) hampir habis. Oh dia (Gayus) duduk di lantai 3," kata Agus menceritakan pengalamannya itu ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.
Di Balik Sebuah Momen
Meski foto Gayus adalah salah satu karya yang paling melekat dengan diri Agus Susanto, sang fotografer mengaku tak menjadikannya foto paling berkesan atau menarik. Bahkan, sepanjang berkarier, ia tak punya satu foto yang benar-benar ia spesialkan. Foto-foto yang berkesan bagi Agus selalu berganti setiap saat.
Misalnya waktu kuliah. Ia menganggap foto yang ia ambil saat kerusuhan di Solo pada 8 Mei 1998 jadi foto paling berkesan. Lalu, ketika meliput bencana tsunami di Aceh pada 2004 silam, foto-foto di tanah Rencong itu jadi foto yang paling membekas.
“Terus berganti, enggak ada memori terkuat, hampir terus berganti-ganti," katanya. Ketimbang foto, momen saat dia melukis dengan cahaya itulah yang justru terus melekat di benaknya.
Salah satunya saat dia meliput para pengungsi di Aceh. Seorang ibu pernah meminta Agus memberi nama kepada anaknya hanya karena dirinya memberi bantuan yang tak seberapa. Momen itu terus melekat dalam benak.
Pria yang memiliki hobi naik motor ini berpendapat, kriteria foto jurnalistik yang berhasil adalah yang bisa memberikan dampak atau pengaruh bagi kehidupan sekitar. Atau, minimal bisa membuat orang saling berkomunikasi atau memperbincangkan foto itu.
"Membuat orang bisa berkomunikasi dengan yang lainnya, fotonya terus dibahas, terus jadi omongan. Itu berarti esensi fotonya berhasil. Walapun itu enggak membuat perubahan, tapi sudah membuat satu kesadaran bersama," ucapnya.
Jika foto bisa menjadi bahan perbincangan, menurut Agus, artinya fotografer tersebut benar-benar bisa menghayati momen atau pesan yang ingin disampaikan lewat foto.
Meski tak menampik peran keberuntungan, Agus berpendapat, selalu ada proses kreatif di balik setiap lembar foto. Semua itu tergantung pada momen atau peristiwa yang akan ditangkap.
Misalnya saja saat dirinya akan mengambil momen pertandingan balap sepeda.
Jika Agus bisa mendapatkan motor, maka dia akan menyusuri jalur yang dilalui dalam balap sepeda tersebut untuk mencari spot yang menurutnya bagus dan menarik. Agus juga akan membuat gambaran tentang background yang akan diambil dan membuat perkiraan posisi pebalap.
"Biasanya punya gambaran dulu. Maksudnya, nanti background-nya kaya gini, pembalapnya nanti di sini. Biasanya saya foto dulu satu frame untuk pre-komposisi gambar," katanya.
Beda cara dilakukan Agus ketika akan merekam momen yang punya nilai kemanusiaan. Dia akan melakukan pendekatan terlebih dahulu dengan subyek yang akan difotonya. Ini dilakukan untuk bisa mencari sisi lain atau kisah dari sosok tersebut.
Dari hasil mengobrol, Agus mendapat ancang-ancang foto yang akan diambil. Mulai dari latar gambar hingga pengaturan kamera.
Karya-karya Agus pernah dianugrahi beberapa penghargaan. Salah satunya adalah foto atlet renang indah Indonesia yang sedang berlatih untuk SEA Games. Foto itu berhasil mendapat medali perak dalam 11th Asian Publish Media 2012 WAN-IFRA kategori foto olahraga.
Agus bercerita soal tantangan pengambilan gambar itu. Mengambil gambar dari dalam kolam renang, Agus tidak menggunakan kamera underwater dan tidak menggunakan ‘rumah’ kamera karena harganya yang terlampau mahal. Agus hanya menggunakan plastik dari Taiwan yang hanya mampu melindungi kamera pada kedalaman maksimal satu meter.
"Housing untuk kamera ini mahal hampir Rp30 juta, jadi pake plastik Taiwan yang harganya sekitar Rp450-500 ribu."
"Fokusnya saya matikan, sudah saya ukur fokusnya, jaraknya kira-kira satu sampai tiga meter. Lensa juga sudah saya pas-in, ganti setting manual. Viewfinder juga enggak keliatan, karena saya di atas kolam cuma nyemplung kepala. Kira-kira sudah rata, saya jepret," ujarnya menjelaskan.
Selain itu, Agus juga mendapatkan penghargaan di Maybank Photo Award 2013 kategori foto jurnalistik. Fotonya yang memperoleh penghargaan adalah tentang kebakaran di Klender.
Dalam foto tersebut, Agus mengambil momen saat warga menyelamatkan barang-barangnya ke sungai. Saat itu, ada seorang anak kecil yang menangis saat menunggu bapaknya menyelamatkan harta benda mereka. [cnn]
Pertandingan nyaris berakhir ketika Agus mendapatkan sang buruan.
Cekrek. Cekrek. Cekrek. Beberapa lembar foto Gayus Halomoan Tambunan pun berhasil ia dapatkan.
Pada November 2010 silam, foto-foto yang diambil Agus itu pernah membuat geger. Bagaimana tidak. Gayus yang seharusnya sedang menghuni Rumah Tahanan Brimob di Depok, justru tertangkap kamera Agus sedang menyaksikan pertandingan tenis di Nusa Dua, Bali.
Gayus kala itu mengenakan rambut palsu dan kacamata berbingkai hitam. Ia asik menyaksikan pertandingan antara Yanina Wickmayer dan Daniela Hantuchova di kompetisi Bank Tournament of Champions.
Agus sebenarnya bukan fotografer yang ditugaskan Kompas –media tempat ia bekerja—untuk meliput turnamen itu. Tetapi salah seorang rekan kerjanya sakit, sehingga Agus yang saat itu sedang berada di Bali mengambil alih.
Sebelum pertandingan Wickmayer vs Hantuchova itu, Agus sudah mendengar dari penjaga lapangan bahwa Gayus selama dua hari sebelumnya selalu menonton pertandingan. Pria yang didakwa kasus pajak dan pencucian uang itu memang penggemar tenis.
Hanya saja, Agus tak tahu pasti Gayus duduk di mana.
Agus mengaku tak terlalu memaksakan diri untuk bisa mendapatkan foto Gayus. Yang menjadi fokusnya tetaplah tugas untuk memotret pertandingan tenis.
Namun tampaknya keberuntungan dekat dengan Agus. Saat pertandingan akan berakhir, Agus mendapatkan sosok yang sedang ia buru duduk di lantai tiga.
"Akhirnya setelah 45 menit (pertandingan) hampir habis. Oh dia (Gayus) duduk di lantai 3," kata Agus menceritakan pengalamannya itu ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.
Di Balik Sebuah Momen
Meski foto Gayus adalah salah satu karya yang paling melekat dengan diri Agus Susanto, sang fotografer mengaku tak menjadikannya foto paling berkesan atau menarik. Bahkan, sepanjang berkarier, ia tak punya satu foto yang benar-benar ia spesialkan. Foto-foto yang berkesan bagi Agus selalu berganti setiap saat.
Misalnya waktu kuliah. Ia menganggap foto yang ia ambil saat kerusuhan di Solo pada 8 Mei 1998 jadi foto paling berkesan. Lalu, ketika meliput bencana tsunami di Aceh pada 2004 silam, foto-foto di tanah Rencong itu jadi foto yang paling membekas.
“Terus berganti, enggak ada memori terkuat, hampir terus berganti-ganti," katanya. Ketimbang foto, momen saat dia melukis dengan cahaya itulah yang justru terus melekat di benaknya.
Salah satunya saat dia meliput para pengungsi di Aceh. Seorang ibu pernah meminta Agus memberi nama kepada anaknya hanya karena dirinya memberi bantuan yang tak seberapa. Momen itu terus melekat dalam benak.
Pria yang memiliki hobi naik motor ini berpendapat, kriteria foto jurnalistik yang berhasil adalah yang bisa memberikan dampak atau pengaruh bagi kehidupan sekitar. Atau, minimal bisa membuat orang saling berkomunikasi atau memperbincangkan foto itu.
"Membuat orang bisa berkomunikasi dengan yang lainnya, fotonya terus dibahas, terus jadi omongan. Itu berarti esensi fotonya berhasil. Walapun itu enggak membuat perubahan, tapi sudah membuat satu kesadaran bersama," ucapnya.
Jika foto bisa menjadi bahan perbincangan, menurut Agus, artinya fotografer tersebut benar-benar bisa menghayati momen atau pesan yang ingin disampaikan lewat foto.
Meski tak menampik peran keberuntungan, Agus berpendapat, selalu ada proses kreatif di balik setiap lembar foto. Semua itu tergantung pada momen atau peristiwa yang akan ditangkap.
Misalnya saja saat dirinya akan mengambil momen pertandingan balap sepeda.
Jika Agus bisa mendapatkan motor, maka dia akan menyusuri jalur yang dilalui dalam balap sepeda tersebut untuk mencari spot yang menurutnya bagus dan menarik. Agus juga akan membuat gambaran tentang background yang akan diambil dan membuat perkiraan posisi pebalap.
"Biasanya punya gambaran dulu. Maksudnya, nanti background-nya kaya gini, pembalapnya nanti di sini. Biasanya saya foto dulu satu frame untuk pre-komposisi gambar," katanya.
Beda cara dilakukan Agus ketika akan merekam momen yang punya nilai kemanusiaan. Dia akan melakukan pendekatan terlebih dahulu dengan subyek yang akan difotonya. Ini dilakukan untuk bisa mencari sisi lain atau kisah dari sosok tersebut.
Dari hasil mengobrol, Agus mendapat ancang-ancang foto yang akan diambil. Mulai dari latar gambar hingga pengaturan kamera.
Karya-karya Agus pernah dianugrahi beberapa penghargaan. Salah satunya adalah foto atlet renang indah Indonesia yang sedang berlatih untuk SEA Games. Foto itu berhasil mendapat medali perak dalam 11th Asian Publish Media 2012 WAN-IFRA kategori foto olahraga.
Agus bercerita soal tantangan pengambilan gambar itu. Mengambil gambar dari dalam kolam renang, Agus tidak menggunakan kamera underwater dan tidak menggunakan ‘rumah’ kamera karena harganya yang terlampau mahal. Agus hanya menggunakan plastik dari Taiwan yang hanya mampu melindungi kamera pada kedalaman maksimal satu meter.
"Housing untuk kamera ini mahal hampir Rp30 juta, jadi pake plastik Taiwan yang harganya sekitar Rp450-500 ribu."
"Fokusnya saya matikan, sudah saya ukur fokusnya, jaraknya kira-kira satu sampai tiga meter. Lensa juga sudah saya pas-in, ganti setting manual. Viewfinder juga enggak keliatan, karena saya di atas kolam cuma nyemplung kepala. Kira-kira sudah rata, saya jepret," ujarnya menjelaskan.
Selain itu, Agus juga mendapatkan penghargaan di Maybank Photo Award 2013 kategori foto jurnalistik. Fotonya yang memperoleh penghargaan adalah tentang kebakaran di Klender.
Dalam foto tersebut, Agus mengambil momen saat warga menyelamatkan barang-barangnya ke sungai. Saat itu, ada seorang anak kecil yang menangis saat menunggu bapaknya menyelamatkan harta benda mereka. [cnn]
0 Response to "Kala Kamera Agus Menangkap Basah Gayus Tambunan"
Post a Comment