BIAS KELAS. Jika tujuannya mengurangi beban jalan dari kemacetan, mana yang sebaiknya dilarang?
Dakwah Media - BIAS KELAS. Jika tujuannya mengurangi beban jalan dari kemacetan, mana yang sebaiknya dilarang?
Kebijakan diskriminatif di jalanan umum terhadap sesama pembayar pajak ini dimulai Gubernur Basuki Tjahaja Purnama lewat Pergub 195 tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor.
https://geotimes.co.id/kolom/libido-menggusur/
Aturan itu menyingkirkan para pemotor dari Jalan Medan Merdeka Barat hingga MH Thamrin di mana terdapat pusat layanan dan fasilitas publik seperti kantor RRI, Museum Nasional, Bawaslu, Bank Indonesia, hingga Mahkamah Konstitusi.
Jalan Layang Non-Tol Casablanca yang ikut dibangun dari pajak sepeda motor, juga tertutup bagi pemotor. Alasannya karena pemotor cenderung berhenti untuk mengambil foto. Juga alasan tiupan angin.
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/07/24/10395181/kenapa-motor-tidak-boleh-lewat-jlnt-casablanca-
Lalu September ini, motor akan dilarang melintasi Jalan Sudirman dengan dalih sedang banyak proyek konstruksi sehingga beban jalan harus dikurangi. Bahkan Jalan Rasuna Said (Kuningan) juga disebut-sebut akan tertutup bagi pemotor.
https://news.liputan6.com/read/3068163/menhub-beberkan-alasan-motor-dilarang-melintasi-jalan-sudirman
Dalih Menteri Perhubungan bahwa mobil sudah dibatasi aturan ganjil-genap, makin melecehkan akal sehat. Pertama, seperti 3 in 1, ganjil genap hanya di jam-jam tertentu. Sedangkan aturan larangan motor bisa berlaku sepanjang hari kerja.
Kedua, aturan ganjil genap --juga sebagaimana 3 in 1-- selalu mengecualikan taksi sebagai angkutan yang sangat individual. Apakah larangan motor juga akan mengecualikan ojek?
Kebijakan memang tidak bisa memuaskan semua pihak. Dan dari banyak catatan kebijakan di Jabodetabek seperti penggusuran, reklamasi, atau kini megaproyek properti Meikarta, sudah jelas, pihak mana yang akan selalu dipuaskan.
Banjir yang masalahnya sistemik, dijawab dengan menggusur warga pinggir kali. Tanah Jakarta yang amblas karena kegagalan menyediakan akses air bersih murah (sehingga semua berlomba menyedot air tanah), dijawab dengan reklamasi untuk membangun tanggul. Dan di atas urukan reklamasi itu justru akan dibangun gedung-gedung dan apartemen yang menambah beban tanah dan semakin mempercepat amblesan.
Tanah reklamasi yang sertifikatnya baru dikeluarkan Presiden Jokowi itu juga menghadang aliran 13 sungai menuju laut sehingga akan memicu banjir, meski lusinan kampung sudah tumpas digusur dan penghuninya ditumpuk di rusun-rusun.
Hidup dalam timbunan masalah yang kadung kompleks seperti di Ibukota ini, hal termudah memang menyingkirkan yang paling lemah, untuk memberi ruang yang lebih nyaman dan tertib kepada yang lebih kuat. [fb]
Kebijakan diskriminatif di jalanan umum terhadap sesama pembayar pajak ini dimulai Gubernur Basuki Tjahaja Purnama lewat Pergub 195 tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor.
https://geotimes.co.id/kolom/libido-menggusur/
Aturan itu menyingkirkan para pemotor dari Jalan Medan Merdeka Barat hingga MH Thamrin di mana terdapat pusat layanan dan fasilitas publik seperti kantor RRI, Museum Nasional, Bawaslu, Bank Indonesia, hingga Mahkamah Konstitusi.
Jalan Layang Non-Tol Casablanca yang ikut dibangun dari pajak sepeda motor, juga tertutup bagi pemotor. Alasannya karena pemotor cenderung berhenti untuk mengambil foto. Juga alasan tiupan angin.
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/07/24/10395181/kenapa-motor-tidak-boleh-lewat-jlnt-casablanca-
Lalu September ini, motor akan dilarang melintasi Jalan Sudirman dengan dalih sedang banyak proyek konstruksi sehingga beban jalan harus dikurangi. Bahkan Jalan Rasuna Said (Kuningan) juga disebut-sebut akan tertutup bagi pemotor.
https://news.liputan6.com/read/3068163/menhub-beberkan-alasan-motor-dilarang-melintasi-jalan-sudirman
Dalih Menteri Perhubungan bahwa mobil sudah dibatasi aturan ganjil-genap, makin melecehkan akal sehat. Pertama, seperti 3 in 1, ganjil genap hanya di jam-jam tertentu. Sedangkan aturan larangan motor bisa berlaku sepanjang hari kerja.
Kedua, aturan ganjil genap --juga sebagaimana 3 in 1-- selalu mengecualikan taksi sebagai angkutan yang sangat individual. Apakah larangan motor juga akan mengecualikan ojek?
Kebijakan memang tidak bisa memuaskan semua pihak. Dan dari banyak catatan kebijakan di Jabodetabek seperti penggusuran, reklamasi, atau kini megaproyek properti Meikarta, sudah jelas, pihak mana yang akan selalu dipuaskan.
Banjir yang masalahnya sistemik, dijawab dengan menggusur warga pinggir kali. Tanah Jakarta yang amblas karena kegagalan menyediakan akses air bersih murah (sehingga semua berlomba menyedot air tanah), dijawab dengan reklamasi untuk membangun tanggul. Dan di atas urukan reklamasi itu justru akan dibangun gedung-gedung dan apartemen yang menambah beban tanah dan semakin mempercepat amblesan.
Tanah reklamasi yang sertifikatnya baru dikeluarkan Presiden Jokowi itu juga menghadang aliran 13 sungai menuju laut sehingga akan memicu banjir, meski lusinan kampung sudah tumpas digusur dan penghuninya ditumpuk di rusun-rusun.
Hidup dalam timbunan masalah yang kadung kompleks seperti di Ibukota ini, hal termudah memang menyingkirkan yang paling lemah, untuk memberi ruang yang lebih nyaman dan tertib kepada yang lebih kuat. [fb]
0 Response to "BIAS KELAS. Jika tujuannya mengurangi beban jalan dari kemacetan, mana yang sebaiknya dilarang?"
Post a Comment