TANPA IKUT HTI KITA BISA MASUK SURGA
Dakwah Media - Bismillaahir Rohmaanir Rohiim
Ada sebagian tokoh Aswaja Sekular dan ustadz Aswaja Wahhabi berkata kepada murid-muridnya : "Tanpa ikut HTI dan tanpa memperjuangkan khilafah kita bisa masuk surga kok. Kita shalat, puasa, haji, membaca Alqur'an dan Alhadits, bershalawat kepada Nabi SAW, mengaji dan mengajar ilmu, dll., dengan itu semua kita bisa masuk surga ... ".
Jawaban :
Cukup saya kemukakan satu hadits saja.
Dimana Rasulullah SAW bersabda :
'an jabir ...
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : أرأيت إذا صليت المكتوبات ، وصمت رمضان ، وأحللت الحلال ، وحرمت الحرام ، ولم أزد على ذلك شيئا ، أأدخل الجنة ؟ قال : نعم رواه مسلم .
Dari Jabir bin Abdullah RA (berkata), Bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW, ia berkata : "Apa pendapat tuan, ketika aku telah mengerjakan shalat maktubat, telah berpuasa Ramadhan, telah menghalalkan yang halal, dan telah mengharamkan yang haram, dimana saya tidak menambahkan atasnya sesuatu, apakah saya akan masuk surga?". Rasul berkata : "Ya". (HR Muslim, Arba'iin Nawawy).
Pada hadits tersebut seorang lelaki hanya memiliki empat amalan, dua amalan lahir dan dua amalan batin, shalat fardhu dan puasa fardhu, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Dua amalan lahirnya lebih sedikit dari yang disampaikan tokoh Aswaja dan ustadz wahhabi di atas. Meskipun demikian seorang lelaki itu akan masuk surga meskipun tidak ikut HTI atau tidak ikut memperjuangkan khilafah. Hebat kan? Inilah kerahmatan Islam. Semua itu benar. Tidak salah ...
Tetapi tunggu dulu ... Jangan senang dulu ... Karena masih ada pertanyaan :
Pembatasan amalan itu ketika Islam kaffah telah diterapkan oleh negara atau tidak diterapkan?
Pembatasan amalan itu ketika khilafah telah tegak atau khilafah telah roboh dan belum berdiri?
Masuk surga langsung atau mampir dulu di neraka?
Ketika kita meneliti hadits diatas, maka telah datang di Madinah, karena puasa Ramadhan itu difardhukan pada tahun kedua hijriyyah, dan ketika itu Islam Kaffah telah diterapkan oleh daulah nubuwwah sebagai cikal bakal daulah khilafah rasyidah mahdiyyah. Dan ketika itu tidak ada kewajiban menegakkan khilafah. Karena itu, sah dan cukup pembatasan amalan yang dilakukan oleh seorang laki-laki. Tentu ketika tidak ada panggilan untuk berjihad yang fardhu 'ain, karena ketika itu juga sahabat yang sengaja tidak ikut serta berjihad tanpa udzur maka tergolong berdosa besar. Ingat kisah Ka'ab serta dua orang temannya yang tertinggal dari jihad yang didiami oleh Nabi SAW serta para sahabat dalam waktu yang cukup lama?!
Kalaupun sekarang pembatasan amalan dengan shalat fardhu dan puasa Ramadhan itu dianggap sah dan cukup, maka problemnya tidak berhenti di situ, tetapi masih ada syarat yang menyertainya, yaitu menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram (meskipun ia tidak mengerjakan dan tidak meninggalkannya), seperti pada hadits diatas.
Term halal itu mencakup wajib/fardhu, mustahhab/sunnah, dan mubah. Dan hukum menegakkan khilafah adalah wajib. Maka khilafah termasuk perkara halal yang harus dihalalkan, yakni diyakini kehalalannya. Oleh karenanya, ketika seseorang telah membatasi amalan dengan shalat maktubat dan puasa Ramadhan, maka ia wajib meyakini dan manyatakan bahwa khilafah adalah wajib ... dan berdoa sesuai keyakinannya, Ya Allah, tolonglah mereka yang berjuang untuk menegakkan kewajiban ini, dan ampunilah hamba yang lemah ini yang tidak ikut serta bersama mereka ...
Ia juga harus mengharamkan segala bentuk sistem pemerintahan yang kontra dengan khilafah, yakni meyakini keharamannya, seperti demokrasi sistem kufur. Ia harus meyakini dan menyatakan, bahwa DEMOKRASI SISTEM KUFUR yang haram meyakini, mempraktekkan dan mendakwahkannya ....
Tidak malah melakukan penggembosan terhadap dakwah ...
Tidak malah melakukan dukungan terhadap ....
(Lanjutkan sendiri).
[awr]
Ada sebagian tokoh Aswaja Sekular dan ustadz Aswaja Wahhabi berkata kepada murid-muridnya : "Tanpa ikut HTI dan tanpa memperjuangkan khilafah kita bisa masuk surga kok. Kita shalat, puasa, haji, membaca Alqur'an dan Alhadits, bershalawat kepada Nabi SAW, mengaji dan mengajar ilmu, dll., dengan itu semua kita bisa masuk surga ... ".
Jawaban :
Cukup saya kemukakan satu hadits saja.
Dimana Rasulullah SAW bersabda :
'an jabir ...
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : أرأيت إذا صليت المكتوبات ، وصمت رمضان ، وأحللت الحلال ، وحرمت الحرام ، ولم أزد على ذلك شيئا ، أأدخل الجنة ؟ قال : نعم رواه مسلم .
Dari Jabir bin Abdullah RA (berkata), Bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW, ia berkata : "Apa pendapat tuan, ketika aku telah mengerjakan shalat maktubat, telah berpuasa Ramadhan, telah menghalalkan yang halal, dan telah mengharamkan yang haram, dimana saya tidak menambahkan atasnya sesuatu, apakah saya akan masuk surga?". Rasul berkata : "Ya". (HR Muslim, Arba'iin Nawawy).
Pada hadits tersebut seorang lelaki hanya memiliki empat amalan, dua amalan lahir dan dua amalan batin, shalat fardhu dan puasa fardhu, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Dua amalan lahirnya lebih sedikit dari yang disampaikan tokoh Aswaja dan ustadz wahhabi di atas. Meskipun demikian seorang lelaki itu akan masuk surga meskipun tidak ikut HTI atau tidak ikut memperjuangkan khilafah. Hebat kan? Inilah kerahmatan Islam. Semua itu benar. Tidak salah ...
Tetapi tunggu dulu ... Jangan senang dulu ... Karena masih ada pertanyaan :
Pembatasan amalan itu ketika Islam kaffah telah diterapkan oleh negara atau tidak diterapkan?
Pembatasan amalan itu ketika khilafah telah tegak atau khilafah telah roboh dan belum berdiri?
Masuk surga langsung atau mampir dulu di neraka?
Ketika kita meneliti hadits diatas, maka telah datang di Madinah, karena puasa Ramadhan itu difardhukan pada tahun kedua hijriyyah, dan ketika itu Islam Kaffah telah diterapkan oleh daulah nubuwwah sebagai cikal bakal daulah khilafah rasyidah mahdiyyah. Dan ketika itu tidak ada kewajiban menegakkan khilafah. Karena itu, sah dan cukup pembatasan amalan yang dilakukan oleh seorang laki-laki. Tentu ketika tidak ada panggilan untuk berjihad yang fardhu 'ain, karena ketika itu juga sahabat yang sengaja tidak ikut serta berjihad tanpa udzur maka tergolong berdosa besar. Ingat kisah Ka'ab serta dua orang temannya yang tertinggal dari jihad yang didiami oleh Nabi SAW serta para sahabat dalam waktu yang cukup lama?!
Kalaupun sekarang pembatasan amalan dengan shalat fardhu dan puasa Ramadhan itu dianggap sah dan cukup, maka problemnya tidak berhenti di situ, tetapi masih ada syarat yang menyertainya, yaitu menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram (meskipun ia tidak mengerjakan dan tidak meninggalkannya), seperti pada hadits diatas.
Term halal itu mencakup wajib/fardhu, mustahhab/sunnah, dan mubah. Dan hukum menegakkan khilafah adalah wajib. Maka khilafah termasuk perkara halal yang harus dihalalkan, yakni diyakini kehalalannya. Oleh karenanya, ketika seseorang telah membatasi amalan dengan shalat maktubat dan puasa Ramadhan, maka ia wajib meyakini dan manyatakan bahwa khilafah adalah wajib ... dan berdoa sesuai keyakinannya, Ya Allah, tolonglah mereka yang berjuang untuk menegakkan kewajiban ini, dan ampunilah hamba yang lemah ini yang tidak ikut serta bersama mereka ...
Ia juga harus mengharamkan segala bentuk sistem pemerintahan yang kontra dengan khilafah, yakni meyakini keharamannya, seperti demokrasi sistem kufur. Ia harus meyakini dan menyatakan, bahwa DEMOKRASI SISTEM KUFUR yang haram meyakini, mempraktekkan dan mendakwahkannya ....
Tidak malah melakukan penggembosan terhadap dakwah ...
Tidak malah melakukan dukungan terhadap ....
(Lanjutkan sendiri).
[awr]
0 Response to "TANPA IKUT HTI KITA BISA MASUK SURGA"
Post a Comment