Mengejutkan, Tokoh Ini Memprediksi Milenium 3 Ini akan dipimpin oleh KHILAFAH
Dakwah Media - Isu Khilafah yang sedang ramai dibicarakan di dunia kembali mendapat predikis yang mengejutkan dari seorang tokoh di Semarang. Melalui akun facebooknya, Senin (21/8/17) Husain Matla memprediksi bahwa milenium ke 3 ini akan dipimpin oleh Khilafah, berikut tulisan selengkapnya:
Saya kok masih yakin dengan dugaan NIC itu. karena peradaban dominan (seperti peradaban Barat sekarang) selalu membentuk pola "M" (lebih tepatnya lengkungnya lembut seperti McDonald). Dan sekarang sudah berada dalam lengkung kedua.
Dulu sempat saya tulis dalam buku "Islam Memimpin Milenium III". Beberapa tahun ini saya selalu memikirkan, apakah kesimpulan dalam buku itu masih layak. Ternyata saya justru semakin yakin.
Berikut pendahuluannya.
Salah satu “kenangan” dari Ibnu Khaldun yang dirasakan sangat berguna bagi umat manusia adalah deskripsinya yang cukup akurat tentang kekuasaan (dari sebuah negara atau rezim). Ini sebagaimana yang ia kemukakan dalam karyanya yang sangat monumental, Muqaddimah.
Dalam karyanya itu, Ibnu Khaldun memberikan kesimpulan yang cukup sederhana tentang kekuasaan: seperti manusia.
Sebagaimana manusia, kekuasaan mempunyai usia dan tahap-tahap perkembangan. Kekuasaan lahir seperti bayi, kemudian tumbuh dan berkembang, mengalami masa remaja, dewasa, paruh baya, dan akhirnya lenyap (meninggal dunia).
Jika usia manusia secara umum tergambarkan, begitu pula usia kekuasaan (usia negara). Menurut Ibnu Khaldun, usia kekuasaan 3 – 5 generasi (120-200 tahun, asumsi: satu generasi < 40 tahun).3Lantas, apa yang membuat kekuasaan rapuh? Seperti manusia pula, kekuasaan mempunyai penyakit. Penyakitnya adalah kemewahan. Adanya kemewahan inilah yang membuat kekuasaan makin lama makin rapuh dan hanya bertahan tak lebih dari lima generasi.
Penjelasan Ibnu Khaldun tentang hubungan antara kemewahan dan usia kekuasaan inilah yang cukup menarik.
Menurut pendapatnya, ketika kekuasaan lahir, ia begitu sederhana. Ia tampil penuh kesahajaan. Ia dijalankan oleh orang-orang yang kuat. Ini karena kesahajaan membuat orang-orang itu mencurahkan energi mereka terfokus bagi tegaknya masyarakat. Mereka merupakan orang-orang yang sederhana, fokus pada tujuan kolektif, serta penuh solidaritas. Dan karena itulah masyarakat mempunyai fondasi sehingga sanggup untuk berdiri. Inilah generasi pertama atau generasi perintis.
Berikutnya, generasi yang sangat kuat ini mewariskan pada generasi berikutnya yang relatif lebih lemah. Bagaimanapun mereka bukanlah orang-orang yang punya kesahajaan setingkat generasi pertama. Walau demikian, mereka masih merupakan orang-orang kuat karena sanggup membangun masyarakat berdasar fondasi yang diciptakan generasi pertama. Karenanya, generasi kedua juga disebut sebagai generasi pembangun.
Generasi ketiga lebih lemah lagi. Ini karena kemewahan sudah menjangkiti mereka. Energi mereka terpecah antara menjaga masyarakat dan memenuhi selera individu. Mereka mulai menjauh dari totalitas kerja. Namun, mereka masih lumayan kuat. Mereka masih sanggup menjaga masyarakat dan negara dengan aturan dan tradisi yang telah disiapkan oleh kakek dan ayah mereka. Jadilah generasi ini disebut sebagai generasi penjaga tradisi atau generasi konservasi.
Generasi keempat lebih lemah lagi. Kesederhanaan perjuangan sulit ditemui pada mereka. Sangat tidak sebanding dengan apa yang dilakukan kakek-kakek mereka. Kemewahan membuat mereka sibuk mengumbar selera. Kemewahan pula yang membuat solidaritas mereka pecah. Mereka sibuk bertarung dengan memanfaatkan fasilitas yang diraih dengan susah payah oleh nenek moyang mereka. Inilah generasi penikmat.
Generasi kelima seperti halnya generasi keempat. Hanya jauh lebih parah. Inilah generasi penghancur.
Deskripsi Ibnu Khaldun tersebut tentu hanyalah sebuah kisaran. Dalam prakteknya tentu tak mesti demikian. Namun sebagai kisaran umum, teori tersebut tampaknya masih cukup relevan, bahkan sampai zaman ini.
Para politisi Indonesia zaman reformasi, misalnya, nampak kalah tangguh dibanding para politisi di zaman kemerdekaan. Seperti sering dinyatakan oleh sebuah joke, jika generasi kemerdekaan bervisi “membela yang benar”, generasi sekarang bervisi (kalau layak dikatakan visi) “membela yang mbayar”. Begitu pula masyarakat AS dewasa ini, jauh sekali dibanding generasi Perang Dunia II. Sekitar Perang Dunia II, AS yang tak sebesar dan semegah sekarang, termasuk negara eksportir terbesar. Sekarang, ketika menjadi “ibukota Bumi”, justru menjadi masyarakat yang konsumtif luar biasa. Sudah disupport modal dari banyak investor luar negeri, masih impor dalam jumlah sangat besar! Anak-anak muda generasi Beverly Hills dan Dawson Creek disuruh bertempur ke Iraq. Ya wajar banyak yang frustrasi. Hanya saja, kita mungkin heran, kok AS usianya sudah lebih dari 2 ¼ abad? Inipun sebenarnya belum keluar dari pakem Ibnu Khaldun. Saat terjadi Malaise, 1929, AS seperti dilanda kemacetan total dalam berbagai bidang. Akhirnya bangkit lagi dengan format yang agak berbeda dengan sebelumnya. Bisa dikata, Presiden Roosevelt adalah pemimpin generasi pertama dari AS kedua. Ia dan pemerintahannya menampilkan suasana yang lebih sederhana. Program New Deal dan mazhab ekonomi baru, Keynesian, membangun solidaritas baru di seluruh negeri dan relatif mengikis individualisme.5 Kalau tentang presidennya, Indonesia bahkan nampak sangat “Ibnu Khaldun banget”. Bung Karno khas seorang perintis. Pak Harto dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Megawati dan SBY relatif hati-hati, lebih suka “menjaga” daripada “merombak”.
Contoh lainnya, paralel dengan masa Pak Harto memerintah, banyak negara mengandalkan pada sosok kuat, partai tunggal (atau setidaknya partai dominan), besarnya peranan militer, atau gabungan dari beberapa cara itu. Korsel, Jepang, Singapura, Malaysia, Jerman (Barat), China, semuanya begitu. AS walaupun selalu berteriak lantang tentang demokratisasi, tapi dalam kurun itu benar-benar didominasi Partai Republik, sedangkan Partai Demokrat hanya menyelingi. Semua itu karena “suasana kebatinan” (meminjam istilah Priyo Budi Santoso) yang ada adalah “pembangunan”. Adapun setelah kurun itu lebih dimungkinkan gonta-ganti partai karena negara sudah relatif mapan. Yang dipentingkan tinggal “nguri-nguri tinggalan bapak dan embah”.6 Sayangnya, seperti juga dinyatakan Ibnu Khaldun, berbagai aktivitas politik dan ekonomi yang dilakukan generasi ketiga ini nampak terlalu boros.
Teori Ibnu Khaldun ini “memancing” saya untuk memikirkan satu hal:
jika kekuasaan mempunyai usia, tahap perkembangan, dan penyakit, sebagaimana manusia, bagaimana dengan Peradaban Dominan (peradaban yang mendominasi dunia, sebagaimana peradaban Barat sekarang)?
Peradaban Dominan
Usia dan karakteristik peradaban dominan tampaknya memang sangat layak untuk diteliti. Melihat fakta bahwa pada awal milenium I peradaban internasional didominasi aktivitas politik dan budaya dari kekaisaran Romawi; sementara awal milenium II didominasi standar aturan, aktivitas perdagangan, dan aktivitas dakwah dari Dunia Islam; serta awal milenium III dunia didominasi peradaban Barat; tampaknya layak dikatakan bahwa peradaban dominan mempunyai usia.
Semeantara itu, analisis tentang peradaban Barat, apakah akan menjadi akhir sejarah, atau akan digantikan oleh peradaban lain, sampai saat ini masih menjadi diskursus yang sangat hangat. Francis Fukuyama, dalam The End of History, misalnya, menyampaikan bahwa demokrasi liberal dengan ekonomi pasarnya akan menjadi akhir sejarah. Ini berarti, sejak zaman Bill Clinton sampai hari kiamat kelak, demokrasi liberal akan menjadi tren. Sejarah dunia akan berjalan datar dengan pola itu. Namun, banyak peneliti lain yang memandang dengan skeptis penegasan Fukuyama tadi. Emmanuel Todd mengatakan bahwa deskripsi Fukuyama masih meragukan karena mengabaikan masalah pendidikan dan tingkat kesejahteraan warga negara.7 Sementara Huntington menyatakan bahwa peradaban Barat hendaknya membatasi diri pada domain Amerika Utara – Eropa Barat (mayoritas Protestan dan Katholik) saja, dengan mengabaikan Israel, Jepang, Eropa Timur, ataupun Rusia. Ini karena kebudayaan berbagai negara/kawasan itu berbeda dengan budaya Barat. Huntington lebih menekankan, cukuplah bagi peradaban Barat dengan menjadi peradaban terunggul dibanding peradaban-peradaban lain di dunia.8 Sementara Brzinzki mengatakan bahwa Amerika Serikat harus mengepung Rusia dari Eropa dan Jepang untuk menjadikan dunia tetap dalam kendali Barat.
Semua pernyataan di atas sebenarnya mengindikasikan satu hal: keraguan bahwa masa depan dunia tetaplah dalam kendali peradaban Barat.
Setidaknya, dibutuhkan sangat banyak syarat untuk bisa merealisasikan impian Fukuyama.
Penelitian NIC memberikan analisis yang sangat menarik. Ada empat kemungkinan yang terjadi pada tahun 2020 M. Pertama, peradaban Barat masih memimpin dunia di bawah pimpinan AS. Kedua, peradaban Barat akan mendapat tantangan dari China dan India. Ketiga, dunia dalam kondisi chaos, tak ada kekuatan dominan di dunia. Keempat, muncul kekhalifahan Islam, yang menjadi kompetitor baru dari peradaban Barat.
Sementara itu, pemikiran tentang “end of history”, sebagaimana diungkapkan oleh Fukuyama tadi, juga diakui oleh banyak pihak bukan suatu hal yang baru. Karl Marx, pada abad XIX M, juga mengungkapkan hal serupa. Dalam karyanya, Dialektika Materialisme, ia mengatakan bahwa kehidupan manusia diawali oleh komunisme primitif dengan segala keindahannya, kemudian dilanjutkan perbudakan, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, dan akhirnya akan berakhir indah seperti sedia kala tapi dalam wujud modern, yaitu komunisme modern. Bangsa-bangsa yang merasa dalam puncak kejayaannya juga merasa bahwa peradaban mereka adalah akhir sejarah. Ini sebagaimana dirasakan Ibnu Battutah ketika mengelilingi seluruh Darul Islam, dari Maroko sampai Aceh, pada abad XIV M. 11 Begitu pula dirasakan penduduk Konstantinopel pada abad VI M, saat Kekaisaran Romawi dipimpin Kaisar Justinianus.
Jadi, akhir sejarah, masihkan dapat dipercaya? Atau peradaban Barat pun mengalami akhir usia? Atau, jangan-jangan peradaban Barat sekarang justru sedang menghadapi penyakit? Bagaimana dengan kemungkinan bangkitnya peradaban lain?
Beberapa Fakta Menarik
Penelitian tentang usia peradaban dominan dan karekteristiknya semakin terasa penting jika kita memperhatikan beberapa fakta sejarah. Beberapa fakta sangat menarik untuk disimak.
1. Peradaban Romawi berusia sekitar + 12 abad (168 SM – 1071 M). Sementara peradaban Islam berusia + 13 abad (622 – 1924 M).
2. Di tengah-tengah masa peradaban yang sangat penjang itu berlangsung perang dalam skala luar biasa. Bangsa Romawi mengalami gempuran dari bangsa-bangsa barbar (420 – 476 M). Sedangkan umat Islam mengalami serangan pasukan Salib (1099 – 1187 M) serta serangan Mongol/Tartar (1227 – 1258 M). Dalam usianya yang sekitar 4 ½ abad, peradaban Barat diguncang dua perang dunia (Perang Dunia I 1914 – 1918 M; Perang Dunia II 1937 –1945 M).
3. Munculnya peradaban dominan selalu diawali dengan gairah atas pemikiran baru. Kebangkitan Romawi diawali dengan semangat budaya Greeko-Roman awal abad II SM. Kebangkitan Islam diawali dengan turunnya Al-Qur’an (610 – 632 M). Kebangkitan Barat diawali dengan Renaissance/Humanisme pada abad XV M.
4. Selalu ada perang yang menciptakan optimisme di awal peradaban dominan. Bangsa Romawi mengalami optimisme yang tinggi setelah mengalahkan Kartago, Seleukia, serta Macedonia sekitar tahun 170-an SM. 15 Umat Islam mengalami optimisme yang luar biasa setelah mengikuti beberapa peperangan di zaman Nabi saw serta Khulafaurrasyidin, terutama Perang Badar (mengalahkan Quraisy), Perang Mu’tah (melawan Romawi), serta Perang Qadishiyah (menghancurkan Persia). Eropa Barat mengalami peningkatan percaya diri setelah Castilia dan Aragon bergabung mengalahkan Kesultanan Granada, dan kemudian Spanyol dan Portugis mengalahkan banyak bangsa dalam ekspedisi penakhlukannya di seberang lautan.
5. Baik Romawi maupun Islam mengalami masa kejayaan sebelum dan sesudah perang besar. Kejayaan Romawi terjadi pada masa Kaisar Hadrianus (awal abad II M) dan Kaisar Justinianus (awal abad VI M). Keduanya mengapit perang besar tahun 450-452 M. Kegemilangan peradaban Islam terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid (+ 800 M) dan Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (Sulejmen The Magnificient, 1520 1566 M). Keduanya mengapit serangan brutal Hulagu ke Baghdad tahun 1258 M. Sementara itu Barat mengalami masa kejayaan ketika Inggris Raya diperintah Ratu Victoria (akhir abad XIX M). Di masa awal pemerintahan Bush Junior, Colin Powell, Menlu AS saat itu, mengatakan bahwa belum pernah terjadi sebelumnya AS sekuat saat itu. Namun sejak krisis ekonomi tahun 2028 lalu berbagai sendi kehidupan AS mengalami goncangan. Masa Victoria dan Bush II mengapit kedua Perang Dunia.
6. Senantiasa terdapat pergolakan internal dan disintegrasi sebelum peradaban dominan dilanda perang besar. Konflik Romawi Barat – Romawi Timur (abad IV M), konflik Abbasiyah – Ubaidiyah (abad X M), serta konflik Jerman – Prancis (1870) adalah contohnya.
7. Peradaban dominan baru senantiasa diawali beberapa waktu setelah peradaban dominan lama dilanda perang besar. Peradaban Islam muncul tahun 622 M, sekitar 1 ½ abad setelah serbuan barbar pada Romawi. Peradaban Barat bangkit tahun 1492 M, sekitar 2 abad dari serangan Hulagu ke Baghdad. Sebelumnya, Romawi bangkit sekitar 2 ½ abad setelah perang-perang yang melelahkan antara Yunani vs Persia/Kartago.
8. Terdapat tekanan-tekanan yang cukup tinggi atas peradaban lama, sebelum munculnya peradaban baru secara riil. Peradaban Romawi terguncang oleh Kekaisaran Persia dan negara-negara vasalnya pada akhir abad VI M. Peradaban Islam terguncang oleh serangan Timur Lenk (1401 M). Saat ini AS direpotkan oleh pembangkangan Uni Eropa, perlawanan Rusia di PBB, serta serangan ekonomi China.
Beberapa Hipotesis
Berdasar pengamatan terhadap beberapa fakta tadi, serta keskeptisan terhadap impian Fukuyama, saya menyususn beberapa hipotesis.
1. Peradaban dominan juga seperti manusia. Ia mempunyai usia, tahap-tahap perkembangan, dan penyakit.
2. Hanya saja, berbeda dengan kekuasaan yang bersiklus parabola cosinus terbalik (U terbalik), peradaban dominan bersiklus M (2 x U terbalik).
3. Usia Harapan Hidup Peradaban Dominan = (2 x 3,5 x 3) sampai (2 x 5 x 3,5) generasi
4. Peradaban Islam akan bangkit dalam waktu tidak lama lagi dan memimpin milenium III. Peradaban Barat akan bertahan beberapa waktu sebelum akhirnya habis dan dunia dipimpin peradaban Islam.
Perkiraan Ilmiah
Penelitian beberapa hipotesis di atas bukan semata-mata mengandalkan grafik-grafik dalam sejarah sambil mengabaikan faktor-faktor penyebabnya dan melupakan kondisi riil dunia sekarang.. Jika hanya semacam itu, yang terjadi hanyalah “othak-athik gathuk” 19. Sekedar menghubung-hubungkan. Itu sama saja mengatakan agar saat pergi kita nggak kehujanan, pake aja baju biru. Pasalnya, beberapa kali kita pergi memakai baju biru lebih jarang terjadi hujan daripada kalau kita memakai baju hijau atau merah. Sungguhpun hasil survei ditampilkan, tentu saja itu tak bisa dipercaya!
Yang saya tekankan dalam penelitian ini adalah memahami faktor utama mengapa kebangkitan terjadi, seluk beluk atas “rahasia” kebangkitan peradaban itu, bagaimana awalnya proses kebangkitan itu terjadi, dan selanjutnya bagaimana pengembangan proses itu. Siklus dan usia peradaban hanyalah konsekuensi dari pengamatan atas semua itu. Ibarat kita membangun rumah kokoh dan tahan lama, kita harus memahami prinsip-prinsip yang menyebabkannya kuat, filosofi dasar dari prinsip itu dan penjabarannya, awal mula membangun rumah dengan prinsip itu, serta pelaksanaan pembangunannya. Daya tahan dan siklus kondisi rumah itu hanyalah konsekuensinya (Bahkan sepak bola pun sekarang terkonsep. Bayangkan, Barcelona mengalahkan MU aja berdasarkan filosofi dan penjabarannya! Karenanya, permainan Barca dikenal sebagai “sepakbola ideologis” ).
Dengan memahami semua itulah, saya berharap gambaran bahwa “Islam Memimpin Milenium III” bukan terasa sebagai sebuah “ramalan Jawa” khas Ronggowarsito. Tapi lebih terlihat sebagai “perkiraan ilmiah” yang didukung data-data empirik, mengikuti jejak Ibnu Khaldun.
Agar Lebih Mudah
Agar lebih mudah pembaca memahami buku ini, saya membagi buku ini dalam beberapa bab. Setelah bagian pendahuluan ini, kita akan membahas kebangkitan peradaban, seluk beluk atas “rahasia” kebangkitan itu, proses awal kebangkitan, proses total berlangsungnya peradaban, dan akhirnya ditutup dengan epilog.
Untuk menghindari perulangan yang membosankan, saya sering menyebut “peradaban dominan” dengan “peradaban” saja. Ini mengingat bahwa buku ini khusus membahas peradaban dominan, bukan peradaban lainnya.
Objektif dan Subjektif
Penelitian ini memang penelitian. Yang harus objektif. Katakan A jika memang A. Saya melakukan aktivitas seperti yang dilakukan lembaga-lembaga survei pemilu, seperti LSI Denni J.A, LSI Saiful Mujani, Indo Barometer dll.
Hanya saja, saya tidak berposisi seperti mereka, tapi seperti lembaga survei internal Partai Golkar. Adapun partai yang saya bela adalah peradaban Islam. Incumbent-nya peradaban Barat. Konteksnya, kepemimpinan dunia.
Untuk itu, buku ini adalah “laporan” sekaligus “sikap”. Laporan harus apa adanya. Over estimate maupun under estimate haruslah dihindari. Sikap harus memihak. Penelitian ini bagaimanapun adalah bentuk pengabdian. Karena itu, jika nanti banyak statemen saya yang “memihak” peradaban Islam, ya memang harus begitu posisinya.
Oleh: Husein Matla (Dosen dan Penulis)
KHILAFAH MEMIMPIN MILENIUM III ?
Related
Dulu sempat saya tulis dalam buku "Islam Memimpin Milenium III". Beberapa tahun ini saya selalu memikirkan, apakah kesimpulan dalam buku itu masih layak. Ternyata saya justru semakin yakin.
Berikut pendahuluannya.
=====================
PendahuluanSalah satu “kenangan” dari Ibnu Khaldun yang dirasakan sangat berguna bagi umat manusia adalah deskripsinya yang cukup akurat tentang kekuasaan (dari sebuah negara atau rezim). Ini sebagaimana yang ia kemukakan dalam karyanya yang sangat monumental, Muqaddimah.
Dalam karyanya itu, Ibnu Khaldun memberikan kesimpulan yang cukup sederhana tentang kekuasaan: seperti manusia.
Sebagaimana manusia, kekuasaan mempunyai usia dan tahap-tahap perkembangan. Kekuasaan lahir seperti bayi, kemudian tumbuh dan berkembang, mengalami masa remaja, dewasa, paruh baya, dan akhirnya lenyap (meninggal dunia).
Jika usia manusia secara umum tergambarkan, begitu pula usia kekuasaan (usia negara). Menurut Ibnu Khaldun, usia kekuasaan 3 – 5 generasi (120-200 tahun, asumsi: satu generasi < 40 tahun).3Lantas, apa yang membuat kekuasaan rapuh? Seperti manusia pula, kekuasaan mempunyai penyakit. Penyakitnya adalah kemewahan. Adanya kemewahan inilah yang membuat kekuasaan makin lama makin rapuh dan hanya bertahan tak lebih dari lima generasi.
Penjelasan Ibnu Khaldun tentang hubungan antara kemewahan dan usia kekuasaan inilah yang cukup menarik.
Menurut pendapatnya, ketika kekuasaan lahir, ia begitu sederhana. Ia tampil penuh kesahajaan. Ia dijalankan oleh orang-orang yang kuat. Ini karena kesahajaan membuat orang-orang itu mencurahkan energi mereka terfokus bagi tegaknya masyarakat. Mereka merupakan orang-orang yang sederhana, fokus pada tujuan kolektif, serta penuh solidaritas. Dan karena itulah masyarakat mempunyai fondasi sehingga sanggup untuk berdiri. Inilah generasi pertama atau generasi perintis.
Berikutnya, generasi yang sangat kuat ini mewariskan pada generasi berikutnya yang relatif lebih lemah. Bagaimanapun mereka bukanlah orang-orang yang punya kesahajaan setingkat generasi pertama. Walau demikian, mereka masih merupakan orang-orang kuat karena sanggup membangun masyarakat berdasar fondasi yang diciptakan generasi pertama. Karenanya, generasi kedua juga disebut sebagai generasi pembangun.
Generasi ketiga lebih lemah lagi. Ini karena kemewahan sudah menjangkiti mereka. Energi mereka terpecah antara menjaga masyarakat dan memenuhi selera individu. Mereka mulai menjauh dari totalitas kerja. Namun, mereka masih lumayan kuat. Mereka masih sanggup menjaga masyarakat dan negara dengan aturan dan tradisi yang telah disiapkan oleh kakek dan ayah mereka. Jadilah generasi ini disebut sebagai generasi penjaga tradisi atau generasi konservasi.
Generasi keempat lebih lemah lagi. Kesederhanaan perjuangan sulit ditemui pada mereka. Sangat tidak sebanding dengan apa yang dilakukan kakek-kakek mereka. Kemewahan membuat mereka sibuk mengumbar selera. Kemewahan pula yang membuat solidaritas mereka pecah. Mereka sibuk bertarung dengan memanfaatkan fasilitas yang diraih dengan susah payah oleh nenek moyang mereka. Inilah generasi penikmat.
Generasi kelima seperti halnya generasi keempat. Hanya jauh lebih parah. Inilah generasi penghancur.
Deskripsi Ibnu Khaldun tersebut tentu hanyalah sebuah kisaran. Dalam prakteknya tentu tak mesti demikian. Namun sebagai kisaran umum, teori tersebut tampaknya masih cukup relevan, bahkan sampai zaman ini.
Para politisi Indonesia zaman reformasi, misalnya, nampak kalah tangguh dibanding para politisi di zaman kemerdekaan. Seperti sering dinyatakan oleh sebuah joke, jika generasi kemerdekaan bervisi “membela yang benar”, generasi sekarang bervisi (kalau layak dikatakan visi) “membela yang mbayar”. Begitu pula masyarakat AS dewasa ini, jauh sekali dibanding generasi Perang Dunia II. Sekitar Perang Dunia II, AS yang tak sebesar dan semegah sekarang, termasuk negara eksportir terbesar. Sekarang, ketika menjadi “ibukota Bumi”, justru menjadi masyarakat yang konsumtif luar biasa. Sudah disupport modal dari banyak investor luar negeri, masih impor dalam jumlah sangat besar! Anak-anak muda generasi Beverly Hills dan Dawson Creek disuruh bertempur ke Iraq. Ya wajar banyak yang frustrasi. Hanya saja, kita mungkin heran, kok AS usianya sudah lebih dari 2 ¼ abad? Inipun sebenarnya belum keluar dari pakem Ibnu Khaldun. Saat terjadi Malaise, 1929, AS seperti dilanda kemacetan total dalam berbagai bidang. Akhirnya bangkit lagi dengan format yang agak berbeda dengan sebelumnya. Bisa dikata, Presiden Roosevelt adalah pemimpin generasi pertama dari AS kedua. Ia dan pemerintahannya menampilkan suasana yang lebih sederhana. Program New Deal dan mazhab ekonomi baru, Keynesian, membangun solidaritas baru di seluruh negeri dan relatif mengikis individualisme.5 Kalau tentang presidennya, Indonesia bahkan nampak sangat “Ibnu Khaldun banget”. Bung Karno khas seorang perintis. Pak Harto dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Megawati dan SBY relatif hati-hati, lebih suka “menjaga” daripada “merombak”.
Contoh lainnya, paralel dengan masa Pak Harto memerintah, banyak negara mengandalkan pada sosok kuat, partai tunggal (atau setidaknya partai dominan), besarnya peranan militer, atau gabungan dari beberapa cara itu. Korsel, Jepang, Singapura, Malaysia, Jerman (Barat), China, semuanya begitu. AS walaupun selalu berteriak lantang tentang demokratisasi, tapi dalam kurun itu benar-benar didominasi Partai Republik, sedangkan Partai Demokrat hanya menyelingi. Semua itu karena “suasana kebatinan” (meminjam istilah Priyo Budi Santoso) yang ada adalah “pembangunan”. Adapun setelah kurun itu lebih dimungkinkan gonta-ganti partai karena negara sudah relatif mapan. Yang dipentingkan tinggal “nguri-nguri tinggalan bapak dan embah”.6 Sayangnya, seperti juga dinyatakan Ibnu Khaldun, berbagai aktivitas politik dan ekonomi yang dilakukan generasi ketiga ini nampak terlalu boros.
Teori Ibnu Khaldun ini “memancing” saya untuk memikirkan satu hal:
jika kekuasaan mempunyai usia, tahap perkembangan, dan penyakit, sebagaimana manusia, bagaimana dengan Peradaban Dominan (peradaban yang mendominasi dunia, sebagaimana peradaban Barat sekarang)?
Peradaban Dominan
Usia dan karakteristik peradaban dominan tampaknya memang sangat layak untuk diteliti. Melihat fakta bahwa pada awal milenium I peradaban internasional didominasi aktivitas politik dan budaya dari kekaisaran Romawi; sementara awal milenium II didominasi standar aturan, aktivitas perdagangan, dan aktivitas dakwah dari Dunia Islam; serta awal milenium III dunia didominasi peradaban Barat; tampaknya layak dikatakan bahwa peradaban dominan mempunyai usia.
Semeantara itu, analisis tentang peradaban Barat, apakah akan menjadi akhir sejarah, atau akan digantikan oleh peradaban lain, sampai saat ini masih menjadi diskursus yang sangat hangat. Francis Fukuyama, dalam The End of History, misalnya, menyampaikan bahwa demokrasi liberal dengan ekonomi pasarnya akan menjadi akhir sejarah. Ini berarti, sejak zaman Bill Clinton sampai hari kiamat kelak, demokrasi liberal akan menjadi tren. Sejarah dunia akan berjalan datar dengan pola itu. Namun, banyak peneliti lain yang memandang dengan skeptis penegasan Fukuyama tadi. Emmanuel Todd mengatakan bahwa deskripsi Fukuyama masih meragukan karena mengabaikan masalah pendidikan dan tingkat kesejahteraan warga negara.7 Sementara Huntington menyatakan bahwa peradaban Barat hendaknya membatasi diri pada domain Amerika Utara – Eropa Barat (mayoritas Protestan dan Katholik) saja, dengan mengabaikan Israel, Jepang, Eropa Timur, ataupun Rusia. Ini karena kebudayaan berbagai negara/kawasan itu berbeda dengan budaya Barat. Huntington lebih menekankan, cukuplah bagi peradaban Barat dengan menjadi peradaban terunggul dibanding peradaban-peradaban lain di dunia.8 Sementara Brzinzki mengatakan bahwa Amerika Serikat harus mengepung Rusia dari Eropa dan Jepang untuk menjadikan dunia tetap dalam kendali Barat.
Semua pernyataan di atas sebenarnya mengindikasikan satu hal: keraguan bahwa masa depan dunia tetaplah dalam kendali peradaban Barat.
Setidaknya, dibutuhkan sangat banyak syarat untuk bisa merealisasikan impian Fukuyama.
Penelitian NIC memberikan analisis yang sangat menarik. Ada empat kemungkinan yang terjadi pada tahun 2020 M. Pertama, peradaban Barat masih memimpin dunia di bawah pimpinan AS. Kedua, peradaban Barat akan mendapat tantangan dari China dan India. Ketiga, dunia dalam kondisi chaos, tak ada kekuatan dominan di dunia. Keempat, muncul kekhalifahan Islam, yang menjadi kompetitor baru dari peradaban Barat.
Sementara itu, pemikiran tentang “end of history”, sebagaimana diungkapkan oleh Fukuyama tadi, juga diakui oleh banyak pihak bukan suatu hal yang baru. Karl Marx, pada abad XIX M, juga mengungkapkan hal serupa. Dalam karyanya, Dialektika Materialisme, ia mengatakan bahwa kehidupan manusia diawali oleh komunisme primitif dengan segala keindahannya, kemudian dilanjutkan perbudakan, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, dan akhirnya akan berakhir indah seperti sedia kala tapi dalam wujud modern, yaitu komunisme modern. Bangsa-bangsa yang merasa dalam puncak kejayaannya juga merasa bahwa peradaban mereka adalah akhir sejarah. Ini sebagaimana dirasakan Ibnu Battutah ketika mengelilingi seluruh Darul Islam, dari Maroko sampai Aceh, pada abad XIV M. 11 Begitu pula dirasakan penduduk Konstantinopel pada abad VI M, saat Kekaisaran Romawi dipimpin Kaisar Justinianus.
Jadi, akhir sejarah, masihkan dapat dipercaya? Atau peradaban Barat pun mengalami akhir usia? Atau, jangan-jangan peradaban Barat sekarang justru sedang menghadapi penyakit? Bagaimana dengan kemungkinan bangkitnya peradaban lain?
Beberapa Fakta Menarik
Penelitian tentang usia peradaban dominan dan karekteristiknya semakin terasa penting jika kita memperhatikan beberapa fakta sejarah. Beberapa fakta sangat menarik untuk disimak.
1. Peradaban Romawi berusia sekitar + 12 abad (168 SM – 1071 M). Sementara peradaban Islam berusia + 13 abad (622 – 1924 M).
2. Di tengah-tengah masa peradaban yang sangat penjang itu berlangsung perang dalam skala luar biasa. Bangsa Romawi mengalami gempuran dari bangsa-bangsa barbar (420 – 476 M). Sedangkan umat Islam mengalami serangan pasukan Salib (1099 – 1187 M) serta serangan Mongol/Tartar (1227 – 1258 M). Dalam usianya yang sekitar 4 ½ abad, peradaban Barat diguncang dua perang dunia (Perang Dunia I 1914 – 1918 M; Perang Dunia II 1937 –1945 M).
3. Munculnya peradaban dominan selalu diawali dengan gairah atas pemikiran baru. Kebangkitan Romawi diawali dengan semangat budaya Greeko-Roman awal abad II SM. Kebangkitan Islam diawali dengan turunnya Al-Qur’an (610 – 632 M). Kebangkitan Barat diawali dengan Renaissance/Humanisme pada abad XV M.
4. Selalu ada perang yang menciptakan optimisme di awal peradaban dominan. Bangsa Romawi mengalami optimisme yang tinggi setelah mengalahkan Kartago, Seleukia, serta Macedonia sekitar tahun 170-an SM. 15 Umat Islam mengalami optimisme yang luar biasa setelah mengikuti beberapa peperangan di zaman Nabi saw serta Khulafaurrasyidin, terutama Perang Badar (mengalahkan Quraisy), Perang Mu’tah (melawan Romawi), serta Perang Qadishiyah (menghancurkan Persia). Eropa Barat mengalami peningkatan percaya diri setelah Castilia dan Aragon bergabung mengalahkan Kesultanan Granada, dan kemudian Spanyol dan Portugis mengalahkan banyak bangsa dalam ekspedisi penakhlukannya di seberang lautan.
5. Baik Romawi maupun Islam mengalami masa kejayaan sebelum dan sesudah perang besar. Kejayaan Romawi terjadi pada masa Kaisar Hadrianus (awal abad II M) dan Kaisar Justinianus (awal abad VI M). Keduanya mengapit perang besar tahun 450-452 M. Kegemilangan peradaban Islam terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid (+ 800 M) dan Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (Sulejmen The Magnificient, 1520 1566 M). Keduanya mengapit serangan brutal Hulagu ke Baghdad tahun 1258 M. Sementara itu Barat mengalami masa kejayaan ketika Inggris Raya diperintah Ratu Victoria (akhir abad XIX M). Di masa awal pemerintahan Bush Junior, Colin Powell, Menlu AS saat itu, mengatakan bahwa belum pernah terjadi sebelumnya AS sekuat saat itu. Namun sejak krisis ekonomi tahun 2028 lalu berbagai sendi kehidupan AS mengalami goncangan. Masa Victoria dan Bush II mengapit kedua Perang Dunia.
6. Senantiasa terdapat pergolakan internal dan disintegrasi sebelum peradaban dominan dilanda perang besar. Konflik Romawi Barat – Romawi Timur (abad IV M), konflik Abbasiyah – Ubaidiyah (abad X M), serta konflik Jerman – Prancis (1870) adalah contohnya.
7. Peradaban dominan baru senantiasa diawali beberapa waktu setelah peradaban dominan lama dilanda perang besar. Peradaban Islam muncul tahun 622 M, sekitar 1 ½ abad setelah serbuan barbar pada Romawi. Peradaban Barat bangkit tahun 1492 M, sekitar 2 abad dari serangan Hulagu ke Baghdad. Sebelumnya, Romawi bangkit sekitar 2 ½ abad setelah perang-perang yang melelahkan antara Yunani vs Persia/Kartago.
8. Terdapat tekanan-tekanan yang cukup tinggi atas peradaban lama, sebelum munculnya peradaban baru secara riil. Peradaban Romawi terguncang oleh Kekaisaran Persia dan negara-negara vasalnya pada akhir abad VI M. Peradaban Islam terguncang oleh serangan Timur Lenk (1401 M). Saat ini AS direpotkan oleh pembangkangan Uni Eropa, perlawanan Rusia di PBB, serta serangan ekonomi China.
Beberapa Hipotesis
Berdasar pengamatan terhadap beberapa fakta tadi, serta keskeptisan terhadap impian Fukuyama, saya menyususn beberapa hipotesis.
1. Peradaban dominan juga seperti manusia. Ia mempunyai usia, tahap-tahap perkembangan, dan penyakit.
2. Hanya saja, berbeda dengan kekuasaan yang bersiklus parabola cosinus terbalik (U terbalik), peradaban dominan bersiklus M (2 x U terbalik).
3. Usia Harapan Hidup Peradaban Dominan = (2 x 3,5 x 3) sampai (2 x 5 x 3,5) generasi
4. Peradaban Islam akan bangkit dalam waktu tidak lama lagi dan memimpin milenium III. Peradaban Barat akan bertahan beberapa waktu sebelum akhirnya habis dan dunia dipimpin peradaban Islam.
Perkiraan Ilmiah
Penelitian beberapa hipotesis di atas bukan semata-mata mengandalkan grafik-grafik dalam sejarah sambil mengabaikan faktor-faktor penyebabnya dan melupakan kondisi riil dunia sekarang.. Jika hanya semacam itu, yang terjadi hanyalah “othak-athik gathuk” 19. Sekedar menghubung-hubungkan. Itu sama saja mengatakan agar saat pergi kita nggak kehujanan, pake aja baju biru. Pasalnya, beberapa kali kita pergi memakai baju biru lebih jarang terjadi hujan daripada kalau kita memakai baju hijau atau merah. Sungguhpun hasil survei ditampilkan, tentu saja itu tak bisa dipercaya!
Yang saya tekankan dalam penelitian ini adalah memahami faktor utama mengapa kebangkitan terjadi, seluk beluk atas “rahasia” kebangkitan peradaban itu, bagaimana awalnya proses kebangkitan itu terjadi, dan selanjutnya bagaimana pengembangan proses itu. Siklus dan usia peradaban hanyalah konsekuensi dari pengamatan atas semua itu. Ibarat kita membangun rumah kokoh dan tahan lama, kita harus memahami prinsip-prinsip yang menyebabkannya kuat, filosofi dasar dari prinsip itu dan penjabarannya, awal mula membangun rumah dengan prinsip itu, serta pelaksanaan pembangunannya. Daya tahan dan siklus kondisi rumah itu hanyalah konsekuensinya (Bahkan sepak bola pun sekarang terkonsep. Bayangkan, Barcelona mengalahkan MU aja berdasarkan filosofi dan penjabarannya! Karenanya, permainan Barca dikenal sebagai “sepakbola ideologis” ).
Dengan memahami semua itulah, saya berharap gambaran bahwa “Islam Memimpin Milenium III” bukan terasa sebagai sebuah “ramalan Jawa” khas Ronggowarsito. Tapi lebih terlihat sebagai “perkiraan ilmiah” yang didukung data-data empirik, mengikuti jejak Ibnu Khaldun.
Agar Lebih Mudah
Agar lebih mudah pembaca memahami buku ini, saya membagi buku ini dalam beberapa bab. Setelah bagian pendahuluan ini, kita akan membahas kebangkitan peradaban, seluk beluk atas “rahasia” kebangkitan itu, proses awal kebangkitan, proses total berlangsungnya peradaban, dan akhirnya ditutup dengan epilog.
Untuk menghindari perulangan yang membosankan, saya sering menyebut “peradaban dominan” dengan “peradaban” saja. Ini mengingat bahwa buku ini khusus membahas peradaban dominan, bukan peradaban lainnya.
Objektif dan Subjektif
Penelitian ini memang penelitian. Yang harus objektif. Katakan A jika memang A. Saya melakukan aktivitas seperti yang dilakukan lembaga-lembaga survei pemilu, seperti LSI Denni J.A, LSI Saiful Mujani, Indo Barometer dll.
Hanya saja, saya tidak berposisi seperti mereka, tapi seperti lembaga survei internal Partai Golkar. Adapun partai yang saya bela adalah peradaban Islam. Incumbent-nya peradaban Barat. Konteksnya, kepemimpinan dunia.
Untuk itu, buku ini adalah “laporan” sekaligus “sikap”. Laporan harus apa adanya. Over estimate maupun under estimate haruslah dihindari. Sikap harus memihak. Penelitian ini bagaimanapun adalah bentuk pengabdian. Karena itu, jika nanti banyak statemen saya yang “memihak” peradaban Islam, ya memang harus begitu posisinya.
Oleh: Husein Matla (Dosen dan Penulis)
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Mengejutkan, Tokoh Ini Memprediksi Milenium 3 Ini akan dipimpin oleh KHILAFAH"
Post a Comment