Jokowi Bawa Sepeda, Padahal Rakyat Butuh Beras
Dakwah Media - Perekonomian yang kian melorot, bagaimana pun akan mengganggu popularitas Presiden Jokowi. Bagaimana Jokowi mempertahankan citranya?
Presiden Joko Widodo alias Jokowi, tampaknya paham betul akan arti citra. Karenanya, orang-orang yang mencoba menjatuhkan citranya melalui tulisan di internet atau sarana informasi lainnya, akan segera dapat ganjaran. Mereka jadi urusan polisi.
Terakhir, 9 Oktober lalu, seorang santri pondok pesantren di Pasuruan, Jawa Timur, ditangkap polisi karena dituduh menghina Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, lewat tulisan di internet.
Sikap Presiden itu bisa dimengerti mengingat citra adalah modal utamanya terjun ke dunia politik. Dia bukan teknokrat, dan dia bukan pula politisi ulung. Pada mulanya ia hanya seorang pedagang meubel di Solo. Atas bantuan seorang tokoh politik lokal PDIP, pedagang meubel yang bernama Jokowi itu terpilih menjadi Walikota Solo.
Ternyata bagi Jokowi, kursi Walikota itu belum cukup. Dia kemudian melirik posisi Gubernur Jakarta, ibukota Negara yang merupakan pusat perpolitikan Indonesia. Untuk itu, Jokowi memperkenalkan diri kepada masyarakat Jakarta dengan mengendarai sendiri sebuah mobil dari Solo. Katanya, mobil itu adalah mobil pertama buatan Indonesia.
Katanya lagi, mobil itu dibuat di sebuah bengkel mobil di Solo. Tentu saja banyak orang Jakarta yang tertarik menyaksikan mobil buatan Solo yang dibawa ke Jakarta dengan disetir sendiri oleh Sang Walikota. Sekadar untuk diketahui, belakangan terjadi cekcok antara Jokowi dengan pemilik bengkel. Pada waktu itulah beredar cerita, ternyata semua onderdil mobil Jokowi itu, termasuk mesinnya, diimpor dari China, kemudian dirakit di bengkel tadi.
Sampai sekarang, Presiden Jokowi tak sekali pun pernah menyinggung soal mobil buatan Indonesia yang dia kandarai dari Solo itu, yang dulu telah berjasa besar mempopulerkannya kepada penduduk Ibukota. Bersamaan dengan itu cerita mobil buatan Solo itu pun seakan lenyap ditelan bumi.
Padahal pada waktu itu, nama Jokowi yang menyetir sendiri mobil ‘’buatan Indonesia’’ itu, merebak di seantero Jakarta, bahkan Indonesia. Kisah Jokowi dan mobilnya ‘’meledak’’ di media massa, baik cetak mau pun elektronik, termasuk televisi. Dalam waktu singkat nama Jokowi jadi terkenal di pelbagai pelosok Jakarta, bahkan Indonesia.
Tak berapa lama, Jokowi berhasil bertemu dengan Megawati, Ketua Umum PDIP, dan Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra. Pada saat itu Jakarta sedang menghadapi peristiwa politik penting: pemilihan Gubernur. Calon kuat pada waktu itu adalah Gubernur (Petahana) Fauzie Bowo alias Foke.
Sementara itu baik Megawati mau pun Prabowo tak mendukung calon gubernur petahana. Keduanya pun menoleh Jokowi. Singkat cerita: PDIP mengajukan Jokowi sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, untuk melawan Fauzie Bowo. Jokowi didampingi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, bekas Bupati Belitung Timur, yang dicalonkan sebagai Wakil Gubernur DKI oleh Partai Gerindra.
LAIN NASIB JOKOWI, LAIN NASIB AHOK
Jokowi dan Ahok kemudian terpilih. Tapi rupanya tak berapa lama sudah kentara bahwa Jokowi tak merasa cukup hanya menjadi Gubernur Jakarta. Dia ingin lebih tinggi lagi. Maka dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Jokowi maju sebagai calon presiden dari PDIP, dengan Yusuf Kalla sebagai calon Wakil Presiden, dan keduanya terpilih. Kursi Gubernur DKI yang ditinggalkannya diduduki Ahok.
Seperti diketahui, sebagai Gubernur, Ahok kemudian memancing kemarahan besar ummat Islam, karena pidatonya sebagai gubernur di Kepulauan Seribu. Ahok sok pintar mengutip Surat Al-Maidah dan menafsirannya dalam pidatonya. Tapi perbuatan Gubernur Ahok itu justru melecehkan ayat Al Quran. Akibatnya timbul reaksi keras dari ummat Islam hampir dari seluruh pelosok Indonesia. Akhirnya Ahok diadili karena menista agama dan divonis pidana 2 tahun penjara. Sampai sekarang, Ahok masih menjalani hukuman di balik jeruji besi.
Sebelumnya, dalam pemilihan Gubernur Kepala Daerah Jakarta (setelah masa jabatan Gubernur Jakarta yang diwarisi Ahok dari Jokowi berakhir), pasangan calon Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama dan wakilnya Djarot Syaiful Hidayat, yang antara lain dicalonkan PDIP, dikalahkan pasangan calon Anies Baswedan – Sandiaga Uno yang dicalonkan Partai Gerindra, PKS, dan PAN. Gubernur Anis Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih, pertengahan Oktober.
Dari kisah di atas jelas terlihat nasib Ahok dan Jokowi jauh berbeda, sekali pun mereka pernah berdampingan akrab memimpin Jakarta. Memang setelah Ahok diadili karena melecehkan Islam, Jokowi tampak membatasi hubungannya yang dulu sangat akrab dengan Ahok. Setelah Ahok divonis pengadilan, belum terlihat sekali pun Presiden Jokowi membezuk mantan wakilnya itu di rumah penjara.
Sebagai Presiden, Jokowi tanpak sangat rajin mengunjungi rakyat – terutama di pedesaan. Dia populer karena selalu berdialog langsung dengan rakyat dan suka membagi-bagikan sepeda. Dengan populeritas itu, Jokowi sudah punya modal besar untuk menghadapi pemilihan Pesiden di tahun 2019.
Kini yang diragukan banyak orang adalah kepemimpinan Jokowi dalam mengendalikan pemerintahan. Gesekan yang terjadi di antara para menteri dan pejabat tinggi yang dipimpinnya mulai bergaung ke luaran. Lihat kasus pembelian persenjataan untuk kepolisian yang menjadi isu panas belakangan ini, terutama setelah pertemuan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dengan sejumlah purnawirawan.
Lebih dari itu, perekonomian yang lesu dengan pertumbuhan yang melambat dan utang pemerintah yang terus membengkak, tentu terasa amat mengkhawatirkan. Kalau kondisi perekonomian seperti sekarang berlangsung terus, akhirnya aksi Presiden Jokowi membagi-bagikan sepeda kepada rakyat kecil, akan terasa hambar. Soalnya, kian hari rakyat kecil kian kesulitan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Ketika itu, rakyat butuh beras, bukan sepeda. Dan ketika itu pula Jokowi tak lagi gampang menemui rakyat jelata, sekali pun dia membawa banyak polisi. [sic]
Presiden Joko Widodo alias Jokowi, tampaknya paham betul akan arti citra. Karenanya, orang-orang yang mencoba menjatuhkan citranya melalui tulisan di internet atau sarana informasi lainnya, akan segera dapat ganjaran. Mereka jadi urusan polisi.
Terakhir, 9 Oktober lalu, seorang santri pondok pesantren di Pasuruan, Jawa Timur, ditangkap polisi karena dituduh menghina Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, lewat tulisan di internet.
Sikap Presiden itu bisa dimengerti mengingat citra adalah modal utamanya terjun ke dunia politik. Dia bukan teknokrat, dan dia bukan pula politisi ulung. Pada mulanya ia hanya seorang pedagang meubel di Solo. Atas bantuan seorang tokoh politik lokal PDIP, pedagang meubel yang bernama Jokowi itu terpilih menjadi Walikota Solo.
Ternyata bagi Jokowi, kursi Walikota itu belum cukup. Dia kemudian melirik posisi Gubernur Jakarta, ibukota Negara yang merupakan pusat perpolitikan Indonesia. Untuk itu, Jokowi memperkenalkan diri kepada masyarakat Jakarta dengan mengendarai sendiri sebuah mobil dari Solo. Katanya, mobil itu adalah mobil pertama buatan Indonesia.
Katanya lagi, mobil itu dibuat di sebuah bengkel mobil di Solo. Tentu saja banyak orang Jakarta yang tertarik menyaksikan mobil buatan Solo yang dibawa ke Jakarta dengan disetir sendiri oleh Sang Walikota. Sekadar untuk diketahui, belakangan terjadi cekcok antara Jokowi dengan pemilik bengkel. Pada waktu itulah beredar cerita, ternyata semua onderdil mobil Jokowi itu, termasuk mesinnya, diimpor dari China, kemudian dirakit di bengkel tadi.
Sampai sekarang, Presiden Jokowi tak sekali pun pernah menyinggung soal mobil buatan Indonesia yang dia kandarai dari Solo itu, yang dulu telah berjasa besar mempopulerkannya kepada penduduk Ibukota. Bersamaan dengan itu cerita mobil buatan Solo itu pun seakan lenyap ditelan bumi.
Padahal pada waktu itu, nama Jokowi yang menyetir sendiri mobil ‘’buatan Indonesia’’ itu, merebak di seantero Jakarta, bahkan Indonesia. Kisah Jokowi dan mobilnya ‘’meledak’’ di media massa, baik cetak mau pun elektronik, termasuk televisi. Dalam waktu singkat nama Jokowi jadi terkenal di pelbagai pelosok Jakarta, bahkan Indonesia.
Tak berapa lama, Jokowi berhasil bertemu dengan Megawati, Ketua Umum PDIP, dan Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra. Pada saat itu Jakarta sedang menghadapi peristiwa politik penting: pemilihan Gubernur. Calon kuat pada waktu itu adalah Gubernur (Petahana) Fauzie Bowo alias Foke.
Sementara itu baik Megawati mau pun Prabowo tak mendukung calon gubernur petahana. Keduanya pun menoleh Jokowi. Singkat cerita: PDIP mengajukan Jokowi sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, untuk melawan Fauzie Bowo. Jokowi didampingi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, bekas Bupati Belitung Timur, yang dicalonkan sebagai Wakil Gubernur DKI oleh Partai Gerindra.
LAIN NASIB JOKOWI, LAIN NASIB AHOK
Jokowi dan Ahok kemudian terpilih. Tapi rupanya tak berapa lama sudah kentara bahwa Jokowi tak merasa cukup hanya menjadi Gubernur Jakarta. Dia ingin lebih tinggi lagi. Maka dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Jokowi maju sebagai calon presiden dari PDIP, dengan Yusuf Kalla sebagai calon Wakil Presiden, dan keduanya terpilih. Kursi Gubernur DKI yang ditinggalkannya diduduki Ahok.
Seperti diketahui, sebagai Gubernur, Ahok kemudian memancing kemarahan besar ummat Islam, karena pidatonya sebagai gubernur di Kepulauan Seribu. Ahok sok pintar mengutip Surat Al-Maidah dan menafsirannya dalam pidatonya. Tapi perbuatan Gubernur Ahok itu justru melecehkan ayat Al Quran. Akibatnya timbul reaksi keras dari ummat Islam hampir dari seluruh pelosok Indonesia. Akhirnya Ahok diadili karena menista agama dan divonis pidana 2 tahun penjara. Sampai sekarang, Ahok masih menjalani hukuman di balik jeruji besi.
Sebelumnya, dalam pemilihan Gubernur Kepala Daerah Jakarta (setelah masa jabatan Gubernur Jakarta yang diwarisi Ahok dari Jokowi berakhir), pasangan calon Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama dan wakilnya Djarot Syaiful Hidayat, yang antara lain dicalonkan PDIP, dikalahkan pasangan calon Anies Baswedan – Sandiaga Uno yang dicalonkan Partai Gerindra, PKS, dan PAN. Gubernur Anis Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih, pertengahan Oktober.
Dari kisah di atas jelas terlihat nasib Ahok dan Jokowi jauh berbeda, sekali pun mereka pernah berdampingan akrab memimpin Jakarta. Memang setelah Ahok diadili karena melecehkan Islam, Jokowi tampak membatasi hubungannya yang dulu sangat akrab dengan Ahok. Setelah Ahok divonis pengadilan, belum terlihat sekali pun Presiden Jokowi membezuk mantan wakilnya itu di rumah penjara.
Sebagai Presiden, Jokowi tanpak sangat rajin mengunjungi rakyat – terutama di pedesaan. Dia populer karena selalu berdialog langsung dengan rakyat dan suka membagi-bagikan sepeda. Dengan populeritas itu, Jokowi sudah punya modal besar untuk menghadapi pemilihan Pesiden di tahun 2019.
Kini yang diragukan banyak orang adalah kepemimpinan Jokowi dalam mengendalikan pemerintahan. Gesekan yang terjadi di antara para menteri dan pejabat tinggi yang dipimpinnya mulai bergaung ke luaran. Lihat kasus pembelian persenjataan untuk kepolisian yang menjadi isu panas belakangan ini, terutama setelah pertemuan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dengan sejumlah purnawirawan.
Lebih dari itu, perekonomian yang lesu dengan pertumbuhan yang melambat dan utang pemerintah yang terus membengkak, tentu terasa amat mengkhawatirkan. Kalau kondisi perekonomian seperti sekarang berlangsung terus, akhirnya aksi Presiden Jokowi membagi-bagikan sepeda kepada rakyat kecil, akan terasa hambar. Soalnya, kian hari rakyat kecil kian kesulitan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Ketika itu, rakyat butuh beras, bukan sepeda. Dan ketika itu pula Jokowi tak lagi gampang menemui rakyat jelata, sekali pun dia membawa banyak polisi. [sic]
0 Response to "Jokowi Bawa Sepeda, Padahal Rakyat Butuh Beras"
Post a Comment