Tsunami Selat Sunda: 20 Menit yang Terlewatkan
KEPALA Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono, mengunggah sebuah video permodelan pola penjalaran tsunami yang terjadi di Selat Sunda, Sabtu 22 Desember 2018, pada akun Twitter. Ketika dihubungi INDOPRESS.ID, Daryono mengatakan pembuat video adalah seorang ahli permodelan komputer.
“Itu bukan BMKG (yang membuatnya–red),” katanya. “Hanya menggambarkan pola penjalarannya, dan mirip dengan tsunami yang terjadi.”
Permodelan tersebut menunjukkan tsunami yang dipicu runtuhan lereng Gunung Anak Krakatau menghantam pesisir barat Banten dan selatan Lampung dalam rentang waktu 19 hingga 20 menit. Menurut Daryono, kecepatan tsunami sangat ditentutkan oleh baltimetri: relief dasar laut dan kedalamannya.
“Semakin ke selatan, kemungkinannya semakin cepat,” katanya yang juga menjelaskan bahwa tsunami akan lebih cepat bergerak di laut dalam. “Yang ke arah Cilegon dan Lampung semakin lambat.”
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menunjukkan wilayah selatan, seperti Pandeglang, terdampak paling parah jika dibandingkan dengan wilayah utara, seperti Serang, Cilegon, dan sejumlah wilayah di Lampung. Lebih daripada 70 persen korban meninggal dan kerusakan ditemukan di Pandeglang.
Rentang waktu 19 hingga 20 menit pun bisa dianggap cukup bagi warga untuk menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Sesuai standar peringatan dini tsunami yang disusun setelah tsunami di Sumatera pada 26 Desember 2004, peringatan awal tsunami harus sudah disampaikan dalam lima menit sejak jaringan seismograf menerima data gelombang seismik.
Daryono mengakui hal tersebut. Tapi sayangnya, dia bilang, tak ada informasi yang diterima BMKG dari dekat sumber pemicu tsunami, yakni di kawasan Anak Krakatau.
“Jadi, perlu dibangun tide gauge di dekat Anak Krakatau, sehingga jika terjadi impuls simpangan gelombang terkait gangguan kolam air bisa segera diinformasikan ke sistem peringatan dini dan bisa memperingatkan masyarakat di pesisir,” jelasnya. “Selama ini, itu belum ada.”
Menurut Daryono, ketika menerima informasi dari tide gauge yang terpasang di pesisir Banten dan Lampung dan menunjukkan kenaikan muka air laut hingga 90 sentimeter, BMKG masih bingung menentukan jenis tsunami yang terjadi. “Tugas pokok kami kantsunami akibat aktivitas tektonik dan terbiasa dengan itu, sehingga kami bingung ini ada catatan tsunami tapi koktidak ada gempa,” paparnya.
Pada pukul 22.00, Daryono bilang, pihaknya menghubungi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang bertugas mengawasi gunung api. Tsunami sendiri, menurut catatan BMKG, sudah menerjang pesisir pada pukul 21.27.
Permodelan juga menunjukkan ketinggian tsunami tak mencapai satu meter. Ini sesuai dengan data yang diterima BMKG dari tide gauge. Tapi, ini berbeda dengan sejumlah kesaksian warga yang melihat tsunami setinggi dua hingga tiga meter.
Daryono menjelaskan, dalam kenyataannya, ketinggian tsunami sangat ditentukan oleh morfologi laut dan pantai. “Kalau ada cekungan, tsunami bisa naik, dan faktor yang juga memperparah kemarin itu adalah bulan purnama.”
Usai tsunami yang berujung empat ratusan nyawa melayang, BMKG, kata Daryono, akan memprioritaskan penambahan sensor seismik dan tide gauge di Selat Sunda, terutama di pulau-pulau kecil. “Ini harus dimulai meskipun contohnya belum ada.”(IndoPress)
0 Response to "Tsunami Selat Sunda: 20 Menit yang Terlewatkan"
Post a Comment