-->

BENARKAH NASIONALISME DIAJARKAN OLEH AL QURAN?


Banyak tokoh dan ustadz yang mengatakan bahwa nasionalisme adalah bagian dari ajaran islam dan dinyatakan secara eksplisit di dalam alquran, yaitu pada QS. Hujurat 13. Dalam ayat tersebut Allah berfirman, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Dikatakan ayat ini meyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa, ini adalah ajaran tentang nasinalisme dan nation state. Benarkah demikian? Bagaimana memahami surat ini? Hal ini akan kita bahas secara ringkas.
Dalam surat Al-hujurat ayat 13 ini terdapat kata kunci yang sering digunakan untuk menjustifikasi keabsahan nasionalisme dan model negara bangsa, yaitu frase “Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian BERBANGSA-BANGSA (syu’ub) dan BERSUKU-SUKU (qoba’il). Apa sebenarnya makna dari syu’ub dan qoba’il? Bagaimana memahami ayat ini secara holistik?
Dalam bahasa arab, syu’ub merupakan bentuk plural (jamak) dari kata SYA’B, sementara itu, qoba’il merupakan bentuk jamak dari QOBILAH. Kata syu‘ub dan qaba'il merupakan kelompok manusia yang berpangkal pada satu orang tua (keturunan). Keduanya merupakan suatu level dalam hirarki kekerabatan menurut orang Arab. Menurut mereka, manusia ada dalam hirarki hubungan kekerabatan mulai dari yang terluas sampai yang tersempit. SYA’B adalah tingkatan kekerabatan paling atas (a’la darojat an nasab), seperti Rabi‘ah, Mudhar, al-Aws, dan al-Khajraj. Tingkatan di bawahnya adalah QOBILAH, seperti Bakr dari Rabi‘ah, dan Tamim dari Mudhar. Tingkatan di bawahnya lagi adalah IMARAH, seperti Syayban dari Bakr, Daram dari Tamim, dan Quraisy. Di bawahnya lagi adalah BATHN, seperti Bani Luay dari Qurays, Bani Qushay dari Bani Makhzum. Level di bawahnya lagi adalah FAKHIDZ, seperti Bani Hasyim dan Bani Umayyah dari Bani Luay. Tingkatan kekerabatan paling bawah adalah FASHILAH atau ASIROH (keluarga), seperti Bani Abd al-Muthallib.
Itulah makna sya’b dan qobilah. Pertanyaan berikutnya, apakah penerjemahan sya’b dengan BANGSA sudah sesuai? Dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa pengertian BANGSA bangsa adalah kumpulan orang yang biasanya memiliki kesamaan asal-usul keturunan, sejarah, adat, bahasa, daerah, dan kebudayaan dalam arti umum. Jadi, bangsa itu masih terlalu umum, sementara qobilah dan sya’b itu sudah sangat spesifik. Dengan demikian, sebenarnya penerjemahan SYA’B dengan BANGSA, tidak tepat. Bangsa itu sekedar kumpulan orang dengan asal-usul yang sama, sementara SYA’B itu level tertentu dalam kekerabatan. Lalu apa terjemahan yang tepat terhadap SYA’B? Terus terang, saya juga tidak tahu. Itulah salah satu alasan mengapa al quran, itu harus dalam bahasa aslinya, yaitu arab. Ketika diterjemahkan, sering sekali maknanya sudah bergeser. Mungkin akan lebih mendekati, diterjemahkan “bangsa”, dalam tanda petik.

Related

Pertanyaan berikutnya: Apakah bangsa-bangsa yang saat ini ada benar-benar merupakan kategorisasi yang didasarkan kepada tingkat kedekatan nasab? Saya rasa sangat sulit untuk menelusuri bahwa bangsa-bangsa yang ada sekarang merupakan kategorisasi yang didasarkan atas kesamaan nenek-moyang (nasab). Bangsa-bangsa yang ada sekarang sudah sangat sulit dilacak nenek moyangnya, karena sudah bercampur dengan bangsa-bangsa lain. Lagi pula, saat ada kategori suatu bangsa, itu tingkat nasab yang ke berapa? Terus terang hal ini super-duper sulit untuk melacaknya.
Kembali ke ayat tadi, ayat al Hujurat 13 ini, bermakna bahwa Allah menciptakan manusia ada yang laki-laki dan ada yang perempuan. Lalu manusia manusia terus berkembang hingga menjadi banyak. Manusia yang banyak itu memiliki kekerabatan sendiri-sendiri berdasarkan asal-usul orang tuanya, ada sya’b (“bangsa”) ada qobilah (suku). Ini merupakan sunatullah. Manusia tidak bisa memilih agar dilahirkan di suku atau bangsa tertentu. Karenanya, manusia tidak pantas membanggakan dirinya atau melecehkan orang lain karena faktor orang tuanya, suku atau bangsanya.
Ayat ini menjelaskan, dijadikannya manusia “berbangsa-bangsa” dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal satu sama lain (lita’arafu). Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, ta‘aruf itu dimaksudkan agar setiap orang dapat mengenali dekat atau jauhnya nasabnya dengan pihak lain, bukan untuk saling mengingkari. Berdasarkan ayat ini, Abd ar-Rahman as-Sa’di menyatakan bahwa mengetahui nasab-nasab merupakan perkara yang dituntut syariat. Sebab, manusia dijadikan “berbangsa-bangsa” dan bersuku-suku memang untuk itu. Karena itu, seseorang tidak diperbolehkan menasabkan diri kepada selain orangtuanya.
Jadi, perbedaan asal usul, orang tua, suku atau bangsa itu hanya untuk saling mengenal. Misalnya, siapa nama Anda? Nama saya si fulan. Di manakah alamat Anda? Di sana. Dari suku apa? Dari suku A. Inilah makna saling mengenal, bukan untuk kesombongan, atau untuk merendahkan orang lain, apalagi untuk fanatisme pada suku atau bangsa.
Dan, setelah menjelaskan kesetaraan manusia dari segi penciptaan, keturunan, kesukuan, dan kebangsaan, ayat tersebut menetapkan parameter lain untuk mengukur derajat kemulian manusia, yaitu ketakwaan. Kadar ketakwaan inilah yang menentukan kemulian dan kehinaan seseorang. Tetapi, tentu saja yang mengetahui ketaqwaan seseorang hanya Allah. Banyak ayat dan hadis yang juga menjelaskan bahwa kemuliaan manusia didasarkan pada ketakwaan semata.
Rasulullah saw. pernah bersabda: “Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, orang non-Arab atas orang Arab; tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan?” (HR Ahmad).
*****
Ayat ini jelas tidak bisa dijadikan dalil mengenai absahnya nasionalisme menurut Islam atau negara bangsa. Ayat ini justru untuk melarang sukuisme dan nasionalisme. Suku dan nation itu alamiah, tetapi sukuisme dan bangsaisme (nasionalisme) dilarang oleh Allah. Perbedaan suku dan bangsa itu bukan untuk gaya-gayaan, apalagi untuk isme-ismean. Perbedaan suku dan bangsa harus digunakan untuk upaya saling mengenal: lita’arafu.
Rasulullah saw. pun menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk mencabut paham Jahiliyah (isme selain islam). Ketika pembebasan kota Makkah beliau berkhutbah, sebagaimana dituturkan Ibn Umar: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian kesombongan Jahiliyah dan saling berbangga karena nenek moyang. Manusia itu ada dua kelompok. Ada yang shalih, bertakwa, dan mulia di hadapan Allah. Ada pula yang fasik, celaka, dan hina di hadapan Allah Swt. Manusia itu diciptakan Allah dari Adam dan Adam dari tanah. Allah Swt. berfirman: Ya ayyuha an-nas inna khalaqnakum min dzakar wa untsa….” (HR at-Tirmidzi).
Ayat ini turun, justru untuk menghilangkan isme atas dasar keluarga atau kelompok. Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Mulaikah: Ketika Fath Makkah, Bilal naik ke atas Ka‘bah dan mengumandangkan azan. Sebagian orang berkata, “Budak hitam inikah yang azan di atas punggung Ka‘bah?” Yang lain berkata, “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya.” Lalu turunlah ayat ini (Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, V/69, Dar al-Fikr, Beirut, 1983; as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur fî Tafsîr al-Ma’tsûr, VI/107, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1997)
Sementara menurut riwayat dari Abu Dawud dan al-Bayhaqi dari az-Zuhri, ia berkata: Rasulullah saw. menyuruh kaum Bani Bayadhah untuk mengawinkan salah seorang wanita mereka dengan Abu Hindun. Dia adalah tukang bekam Rasulullah saw. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, pantaskah kami mengawinkan putri-putri kami dengan maula kami?” Lalu turunlah ayat kami. (As-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, 107; Shihab ad-Din al-Alusi, Ruhul Ma’anî, XIII/314, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993).
*****
Nasionalisme (isme atas dasar nation) dan nation state (batas-batas negara atas dasar nation) bangsa merupakan corak yang mewarnai peta duni saat ini, termasuk di dunia Islam. Kaum muslimin pun hidup terpisah dalam puluhan nation state (negara bangsa). Bagi kita yang lahir setelah mapannya negara-negara bangsa tersebut, kondisi yang demikian mungkin terasa lumrah dan memang sudah semestinya. Bagi generasi sekarang, tak bisa dibayangkan, ada negara tapi dasarnya bukan nation.
Namun sebenarnya, dalam sejarah umat Islam yang membentang sejauh lebih dari 13 abad, umat islam hidup dalam negara global, bukan negara yang disekat oleh kebangsaan (nation). Sentimen kebangsaan dan tren negara bangsa di dunia Islam menemukan momentumnya bersamaan dengan matangnya gelora untuk membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan Bangsa Barat pada awal abad 20-an. Maka tak heran jika batas-batas negara bangsa di dunia Islam secara umum mengikuti batas-batas pemerintahan-pemerintahan kolonial yang dulu pernah ada. Indonesia adalah contoh terbaik dalam hal ini. Pertanyaan sederhana, mengapa TIMOR TIMUR saat bergabung dengan Indonesia kok selalu ingin merdeka dan akhirnya merdeka beneran? Apakah karena mereka bukan satu bangsa dengan Indonesia? Jawabannya, sebenarnya tak ada hubungannya dengan bangsa, tetapi berhubungan dengan KOLONIALISME. Yang membedakan antara Indonesia dan Timor Timur adalah kolonialisme, Indonesia di jajah oleh Belanda, sementara Timor Timur dijajah oleh Portugal. Itulah inti masalahnya. Itulah yang membuat Timor Timur merasa BERBEDA dengan Indonesia dan merasa lebih layak memiliki negara sendiri.
Jika memang NATION STATE dasarnya memang benar-benar kesamaan bangsa, niscaya orang-orang suku Melayu seharusnya membentuk satu negara sendiri, namun kenyataannya mereka justru terpisah dan bergabung dengan suku bangsa lain di negara Indonesia, Malaysia, Brunei dan Thailand. Ini menunjukkan bahwa negara bangsa sebenarnya hanyalah KLAIM. Pernyataan yang menyatakan bahwa alqur’an mengajarkan nasionalisme juga hanya KLAIM.
Wallahu a’lam.
Plis Like Fanpage Kami ya

Related Posts

0 Response to "BENARKAH NASIONALISME DIAJARKAN OLEH AL QURAN?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close