TIDAK MENGAMALKAN SUNNAH BERARTI BID’AH, BENARKAH?
Saat ini, meskipun dalam kehidupan bernegara semakin sekuleristik, kehidupan ekonomi semakin kapitalistik, kehidupan sosial semakin individualistik, namun ada beberapa hal yang cukup menggemberikan. Pertama, semangat dan ghiroh keislamana semakin meluas, terutama generasi muda. Kalau dahulu, masjid dan musholla hanya diisi oleh orang-orang tua, sekarang justru diramaikan (dimakmurkan) oleh generasi muda. Kedua, banyaknya kelompok umat islam dan organisasi islam yang bertujuan untuk menerapkan islam secara kaffah dan berusaha melakukan pemurnian islam dari anasir-anasir asing yang disusupkan di dalam islam. Ini adalah fakta yang harus disyukuri.
Terdapat beberapa tema yang terkadang disikapi secara kurang proporsional dan kurang memperhatikan rincia-rinciannya, diantara hal itu misalnya, dalam menyikapi “sunnah”. Sekarang ini ada beberapa pihak yang begitu mudah menuduh orang atau kelompok lain telah melakukan “bid’ah”. Saat ada orang yang dianggap tidak melaksanakan “sunnah”, lalu dengan serta merta dituduh sebagai pelaku “bid’ah”. Kemudian, penilaian bid’ah ini, diakhiri dan dikunci dengan mengutip hadits nabi: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada “sunnah”-ku dan “sunnah” Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
Tulisan ini tidak hendak mengendorkan semangat keislaman yang membara, juga bukan hendak mengkritik organisasi atau kelompok umat islam, juga bukan untuk membuat keraguan kepada “sunnah”, karena semua hal ini merupakan kemungkaran dan aktivitas setan. Tetapi tulisan ini berusaha mendudukkan masalah “sunnah” ini pada tempatnya, sehingga kita insya Allah terhindar dari sikap ghuluwwu fiddin (berlebihan dalam agama). Tulisan ini adalah sebagai nasihat untuk diri saya sendiri dan umat islam pada umumnya. Insya Allah kami akan membahas makna “sunnah”, definisinya, cakupannya dan penempatannya secara proporsional.
******
Benarkah jika tidak mengamalkan “sunnah” berarti “bid’ah”?
Dalam bahasa arab, kata “sunnah” termasuk kata yang musytarok, artinya sebuah kata yang memiliki arti lebih dari satu. Diantara makna dari sunnah: “jalan”, “hukum sunnah” (sesuatu yang berpahal jika dilaksanakan dan tidak mengapa jika ditinggalkan), dan “hadits”. Kata musytarok dalam bahasa arab, bukan hanya “sunnah”, tetapi sangat banyak. Contoh lain dari kata musytarok adalah ruh. Ruh bisa bermakna: “nyawa”, “malaikat jibril”, dan “idrok shillah billah (kesadaran akan hubungan kita dengan Allah)”.
Lawan musytarok adalah mutarodif atau taraduf (sinonim) yaitu kata-kata yang berbeda tetapi memiliki arti yang sama. Contoh kata yang mutarodif adalah: “sunnah:, “ mustahab”, “nafilah”, dan “mandub”. Keempat kata ini memiliki arti yang sama, yaitu suatu hukum diantara hukum lima, yaitu “wajib”, “sunnah”, “mubah”, “makruh”, “haram”.
Kita akan bahas makna “sunnah” satu persatu secara ringkas.
Pertama, diiantara makna “sunnah” adalah “jalan”. Tentu saja yang namanya “jalan” bisa jadi berkonotasi “positif”, misalnya “jalan yang lurus”, dan bisa jadi “negatif”, misalnya “jalan yang sesat”. Hal ini dinyatakan oleh Syeikh Ibnu Manzhurdalam Lisanul ‘Arab 17/89.
“Sunnah” dengan arti ini juga ditemui pada hadits nabi SAW, yaitu dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang membuat (sanna) suatu “sunnah yang baik” maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat (sanna) suatu “sunnah yang jelek” maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya”. (HR. Imam Muslim, dalam Shohihnya no.1017).
“Sunnah” dalam hadits ini bermakna “jalan”. Dalam hal ini, “sunnah” bisa berarti baik (sunnah hasanah), juga bisa berarti buruk (sunnah sayyi’ah). Karena itu jika ditanyakan: benarkah jika tidak mengamalkan “sunnah” berarti “bid’ah”? Jika “sunnah” yang dimaksud adalah “jalan”, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa orang yang meninggalkan suatu “jalan”, lalu kita katakan dia melakukan “bid’ah”. Bahkan dengan sangat tegas, Rasulullah mengatakan dengan ungkapan “sunnatan sayyi’atan”.
Kedua, makna “sunnah” bisa berarti bagian dari hukum syariah yang lima (af’al al khomsah). Hukum lima itu yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. “sunnah” disini adalah hukum terhadap suatu perbuatan, yang pelakunya mendapat pahala jika melakukannya, namun tidak berdosa jika meninggalkannya.
Kata “sunnah” dalam arti ini, bersinonim atau sama dengan kata “mustahab”, “nafilah”, dan “mandub”. Contoh aktivitas “sunnah” ini adalah sholat “sunnah” qabliyah dan ba’diyah yang mengiringi sholat rawatib (5 waktu). Rasulullah bersabda : Allah SWT pasti membangun sebuah istana di surga bagi orang yang shalat “sunnah” karena Allah-sebanyak dua belas rakaat setiap hari. (HR. Muslim). Sementara untuk khusus sholat “sunnah” qabliyah ashar, Rasulullah bersabda: “Allah Menyayangi orang yang shalat “sunnah” empat rakaat sebelum Ashar.” (HR. Abu Dawud). Sholat “sunnah” di sini berarti bahwa jika dilakukan akan diberikan pahala oleh Allah, jika tidak dilakukan maka orang tersebut tidak berdosa kepada Allah.
Aktivitas dan amalan “sunnah” dalam arti ini, jika dilakukan dengan ikhlas akan membuat Allah sangat mencintai orang tersebut. Dalam hal ini Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa menghinakan wali (kekasih)-Ku, ia telah terang-terangan memusuhi-Ku. Wahai Anak Adam, engkau tidak akan mendapatkan apa saja yang ada pada-Ku kecuali dengan melaksanakan perkara yang telah Aku fardhukan (wajibkan) kepadamu. Hamba-Ku yang terus-menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melaksanakan ibadah nafilah (sunnah), maka pasti Aku akan mencintainya. Maka (jika Aku telah mencintainya) Aku akan menjadi hatinya yang ia berpikir dengannya; Aku akan menjadi lisannya yang ia berbicara dengannya; dan Aku akan menjadi matanya yang ia melihat dengannya. Jika ia berdoa kepada-Ku, maka pasti Aku akan mengabulkannya. Jika ia meminta kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberinya. Jika ia meminta pertolongan kepada-Ku, maka pasti Aku akan menolongnya. Ibadah hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah memberikan nasihat.” (HR. ath-Thabrâni dalam kitab al-Kabir)
Inilah makna “sunnah” yang kedua. Karena itu jika ditanyakan: benarkah jika tidak mengamalkan “sunnah” berarti “bid’ah”? Tentu jawabnya belum tentu. Orang yang tidak mengamalkan perbuatan yang “sunnah”, dalam arti ini, ia tidak berdosa. Ia tidak boleh dicela, apalagi dianggap “bid’ah”. Namun, tentu saja, saudara-saudara kita umat Islam, harus kita dorong untuk memperbanyak mengamalkan “sunnah”. Saya pertegas lagi, “sunnah” dalam arti ini sama dengan nafilah.
Ketiga, “sunnah” bermakna apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah, baik itu perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) beliau. Para ulama ahli hadits mendefinisikan “sunnah” sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan) maupun sifat lahir dan akhlak. Sementara para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan “sunnah” sebagai apa-apa yang datang dari Nabi selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, tindakan, taqrir, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
Dalam hal ini “sunnah” maknanya sama dengan “hadits” atau “atsar”. Menolak “sunnah” dalam arti ini berarti menolak Islam, sebab salah satu dasar Islam adalah “sunnah”, selain al qur’an.
Allah berfirman: “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59). “Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (Qs. At Taghabun 12). Bahkan pada surat Ali Imran Allah menegaskan bahwa kecintaan kepada Allah hanya bisa dibuktikan dengan mengikuti Rasulullah. Allah berfirman: “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.` Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS Ali’imran 31).
“Sunnah” dalam arti ini, lawannya adalah bid’ah. Hadis yang memuat pengertian ini adalah sabda Rasulullah” Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang teguh dengan “sunnahku” dan “sunnah” khulafa rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Karena setiap perkara yang baru dalam agama itu adalah bidah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, no. 4607, dan Tirmidzi, no. 2677). Juga hadits-hadits lain yang memiliki arti yang sama, misalnya: “Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah “sunnah” yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”).
Kitab-kitab “as-sunnah” yang ditulis oleh para ulama, misalnya karya Ibnu Abi ‘Ashim, karya Imam Ahmad, karya Abu Ja’far At-Thobary, karya Al-Baghawy dan lain-lain, semuanya adalah “sunnah” dalam arti ini.
Karena itu jika ditanyakan: benarkah jika tidak mengamalkan sunnah berarti bid’ah? Jika sunnah dalam arti ini, yakni hadits, maka orang yang menolaknya, maka ia adalah ahli bid’ah. Bukan hanya itu dia bisa dikategorikan sebagai orang kafir. Contoh orang seperti ini adalah kelompok ingkar sunnah.
******
Dengan penjelasan di atas, yakni bahwa “sunnah” memiliki arti yang berbeda pada konteks yang berbeda, lalu timbul masalah bagaimana cara mengetahui atau membedakan bahwa “sunnah” yang ini dalam arti “nafilah”, yang “sunnah” yang ini dalam makna “hadits”? Permasalahan ini memang harus dengan ilmu. Tidak cukup hanya dengan semangat yang membara. Meskipun semangat yang membara itu tentu saja sangat-sangat bagus. Namun, sederhananya dapat dilihat dari konteksnya (tsiyaqul kalam). Kalau dalam konteks ahkamul khomsah, maka “sunnah” berarti nafilah, sementara kalau dalam konteks nash atau sumber hukum, maka “sunnah” berarti hadits.
“Sunnah” dalam arti hadits itu sudah sangat jelas. Hadits itu diriwayatkan oleh para imam ahli hadits dan kalau zaman sekarang sudah termaktub dalam kitab-kitab ulama. “Sunnah” dalam arti “hadits”sendiri nanti, klasifikasi: ada “mutawatir” dan “ahad”, ada “shohin”, “hasan”, “dhoif”, dan lain-lain. Tentu saja dalam ini terdapat kajian yang sangat panjang lebar, yang dibahas dalam ilmu khusus yang dinamakan “ilmu mustholah alhadits”.
Apakah “sunnah” dalam arti hadits bisa ditolak? Jawabnya: Jika terbukti bahwa itu dari Rasulullah, maka tidak boleh menolaknya. Menolaknya berarti ingkar sunnah dan kafir.
Mungkin ada yang pernah mendengar, ada ulama ahli hadits terkadang menolak suatu hadits, yang lain lagi menerima, apakah yang menolak berarti kafir? Padahal beliau adalah ulama ahli hadits atau ahli sunnah? Di sini masalahnya berbeda. Para ahli hadits terkadang berbeda pendapat pada “keshohihan”, “kedho’ifan”, dan “keaslian” dan “kepalsuan” suatu hadits. Yang mereka perselisihkan adalah masalah periwayatan hadits, bukan substansi hadits. Jika suatu hadits, terbukti dari Rasulullah, mereka akan sami’na wa atho’na, menolaknya berarti ingkar sunnah. Pembahasan di sini adalah masalah tsubut (penentapan) suatu nash.
Sekarang tinggal satu permasalahan, apakah jika “sunnah” dalam arti “hadits” harus diikuti dan dilaksanakan? Di sini ada dua pembahasan: Pertama, “sunnah” harus “diikuti dan dilaksanakan”, tidak mengikutinya berarti ingkar sunnah. Makan “diikuti” di sini, artinya bahwa “sunnah” harus dijadikan “sumber hukum”. Kedua, saat “sunnah” jadi sumber hukum, yang di dalamnya ada perintah, larangan, dan sebagainya, maka dari sana akan muncul hukum yang lima itu: wajib, mustahab, mubah, makruh dan haram.
Karena itu dalam mengikuti “sunnah”, para ulama memberikan syarat dalam melaksanakannya (Syeikh Atha bin Khalil, taisurul Wushul ilal Ushul) : Pertama, kita harus mengikuti sunnah Rasul dengan niat beribadah. Mengikuti “sunnah” biar mendapat teman dan relasi bisnis, mislanya, tentu tidak ada nilainya di hadapan Allah. Kedua, saat kita mengikuti “sunnah” nabi harus dengan persepsi seperti Nabi. Saat Rasulullah melakukannya dengan suatu persepsi bahwa itu adalah “nafilah”, maka kita juga harus mengikuti dengan persepsi bahwa itu adalah “nafilah”. Justru keliru kalau kita memiliki persepsi bahwa itu adalah “wajib”. Contoh sholat qabliyah dzuhur. Saat kita melakukannya harus dengan persepsi bahwa itu adalah “nafilah”, kita tidak boleh punya persepsi bahwa itu adalah “wajib”. Apalagi kita sampai mengatakan bahwa orang yang tidak melakukannya sebagai “ahli bi’dah”. Maka sikap ini terntu berlebihan, yang justru tidak mengikuti “sunnah Rasul”. Demikian pula dalam masalah-masalah yang lain. Ketiga, dalam mengikuti Rasul harus seperti tindakan Rasul. Misal, saat Rasul “mengangkat tangan”, maka mengikuti Rasul berarti harus dengan “mengangkat tangan”, bukan dengan “menurunkan tangan”.
*****
Demikianlah pembahasan ringkas tentang “sunnah”. Tampak jelas bahwa makna “sunnah” itu banyak, sebagaimana dijelaskan diatas, yaitu dapat bermakna hadits, nafilah dan jalan, maka kita harus hati-hati dalam memberikan penilaian saat ada orang yang kebetulan “tidak melaksanakan sunnah”, jangan lantas dikatakan sebagai ahli bid’ah. Sebaiknya diteliti dahulu, yang dimaksud sunnah itu apa, apakah “hadits” atau aktivitas “nafilah”? Sekali lagi, sebaiknya diteliti dulu. Jangan mudah memvonis.
Sungguh merupakan su’ul adab jika seseorang membid’ahkan dan menyesatkan saudaranya muslim, padahal jelas-jelas saudaranya perpegang teguh pada qur’an dan sunnah. Apalagi jika saudaranya telah berjuang dengan segala daya upaya agar Qu’an dan Sunnah dapat diterapkan dan menjadi sumber hukum dalam kehidupan. Pengikut SUNNAH yang sejati akan benar-benar mengikuti sunnah, ia akan menyayangi sesama muslim, mendoakan dalam kebaikan, dan bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan. Itulah yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya. Bukan malah saling membid’ahkan, menyesatkan, mengkufurkan, lalu mengajak berdebat dengan membusungkan dada bahwa dia akan mampu mengalahkan saudaranya muslim dalam suatu “perdebatan besar”, karena merasa paling banyak belajar dan mengamalkan sunnah setiap saat. Sebenarnya, tindakan ini hanya menggambarkan satu diantara dua hal: kebodohan atau ada penyakit di dalam hatinya. Wal iyadzu billah.
Wallahu a’lam.
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "TIDAK MENGAMALKAN SUNNAH BERARTI BID’AH, BENARKAH?"
Post a Comment