
Ketika ditanyakan kepada seorang muslim di Indonesia, pilih Indonesia atau Khilafah? Ada sebagain yang karena cintanya kepada Indonesia, dengan mantap dia memilih Indonesia. Sebagian lagi, karena kerinduannya pada Khilafah, tanpa ragu-ragu dia memilih Khilafah. Ada sebagian lagi yang bingung, dia mengatakan, pilihan ini seperti buah simalakama, di satu sisi mau pilih Indonesia tapi dia mehamai wajibnya khilafah, di sisi lain mau pilih Khilafah padahal ia tinggal di Indonesia. Ia lalu mengatakan, ini merupakan pilihan yang sangat sulit, seperti sulitnya menjawab mana yang lebih dulu ayam atau telur?
Tiga jawaban itulah kira-kira yang banyak ditemukan. Tetapi di saat ketidak-jelasan mana jawaban yang benar, kemudian yang milih Indonesia dianggap sebagai orang yang nasionalis. Dialah yang dianggap sebagai pewaris sah Indonesia. Dialah yang layak menentukan siapa yang boleh hidup di Indonesia, dan siapa yang tidak layak di Indonesia. Dialah yang berwenang menentukan arah perjalanan Indonesia. Bahkan, dialah yang boleh berbicara tentang Indonesia. Dialah orang yang paling Indonesia. Dialah orang yang “darah” dan “tulang”nya adalah Indonesia, yang “tanah”, “air” dan “udara”nya adalah Indonesia, atau dengan bahasa puitis, yang “tumpah darah”nya adalah Indonesia.
Sementara yang bingung dan tidak menjawab, dianggap sebagai orang bijak. Orang yang tidak milih dan bingung tadi, dianggap lebih berhati-hati, tidak fanatik, lebih berimbang, lebih fair, lebih toleran, lebih akomodatif, tidak ekstrim kiri atau kanan. Dia tidak diberi hak menentukan arah Indonesia, seperti para nasionalis, tapi dalam beberapa hal pendapatnya perlu didengarkan karena dia adalah orang yang moderat dan memiliki sikap “baik” lainnya yang layak untuk kebaikan Indonesia.
Sementara yang milih Khilafah dianggap sebagai orang yang berbahaya. Lalu, dia dikatakan sebagai orang tidak punya rasa kebangsaan, yang tidak ingin kebaikan dan kemajuan Indonesia. Sebagian dikatakan sebagai orang yang naïf, dengan pikiran sempit, dan tak berperadaban. Sebagian dikatakan sebagai fundamentalis yang gagap dengan modernitas. Sebagian dikatakan sebagai orang yang tidak bisa menerima kenyataan dan lebih suka berhayal tentang romantisme historis. Sebagian dikatakan sebagai teroris, yang matinya “lebih baik” dari hidupnya. Mereka dianggap bukan Indonesia, meski “darah”nya “tumpah” di Indonesia saat kelahirannya, dan “tumpah” di Indonesia saat kematiannya di tangan para algojo Indonesia.
Lalu, diopinikan, seakan-akan bangsa dan islam itu dua hal berbeda yang harus berhadap-hadapan.
Padahal, jika dipahami dengan benar, pertanyaan ini sebenarnya tidak ada jawabannya, karena memang bukan pertanyaan pilihan. Atau jika tetap dijawab dengan anggapan itu adalah sebuah pertanyaan pilihan, maka jawabannya sangat mudah. Jawabannya adalah Indonesia dan Khilafah. Jawabannya menggunakan “dan”, bukan “atau”, sebab pertanyaannya bukan pertanyaan pilihan. Pertanyaan ini, sebetulnya seperti ini, pilih istri cantik atau sholihah? Ini sebenarnya bukan pertanyaan pilihan, karena cantik dan sholihah, itu bukan pilihan? Sebab, cantik dan sholihah itu bisa digabung, cantik sekaligus sholihah. Makanya saat masih sekolah, ditanya pak guru, jawaban semua siswa laki-laki kompak. Sungguh, mereka adalah siswa yang cerdas!. Ini berbeda dengan pertanyaan, pilih cantik tapi tidak solehah atau kurang cantik tapi sholehah? Ini pertanyaan pilihan, meski cantik atau kurang cantik, itu sangat subjektif.
Pertanyaan diatas, juga seperti ini, pilih tinggal di Semarang atau kaya? Ini jelas bukan pertanyaan pilihan, memangnya di Semarang tidak bisa kaya? Atau kalau di luar Semarang apakah pasti kaya? Ini berbeda dengan pertanyaan, pilih di Semarang atau di Surabaya? Nah, ini adalah pertanyaan pilihan.
Kembali ke pertanyaan, pilih Indonesia atau Khilafah? Ini bukan pertanyaan pilihan. Indonesia dipahami sebagai nama tempat atau nama bangsa, sementara Khilafah adalah nama sistem pemerintahan. Kenyataannya, Indonesia dalam sejarah pernah menganut sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, lalau sekarang menganut sistem pemerintahan republik-demokrasi. Dan keduanya terbukti tidak mengantarkan pada keadilan dan kesejahteraan bagi Indonesia. Bangsa dan daerah lain, Turki misalnya, pernah menganut system kekaisaran, pernah menganut system khilafah dan sekarang system republic. Dan terbukti, saat menganut system khilafah turki menjadi sangat maju dan masyarakat adil-makmur, sementara setelah menganut system republic (turki modern), juteru menjadi kacau balau.
Maka, Indonesia dan Khilafah bukanlah pilihan. Indonesia bisa menjadi Khilafah, sehingga menjadi bangsa yang adil-makmur.
Ini berbeda dengan memilih berbentuk republic-demokrasi, kerajaan atau khilafah? Nah, ini adalah pertanyaan pilihan. Pilih mana kita? Mestinya, kita harus memilih yang secara empiric, normative mengantarkan masyarakat hidup dalam kesejahteraan dan ridlo Allah, atau dalam bahasa arabnya baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Sangat sulit dicerna, kita ingin diridloi Allah sementara dengan system yang bukan dari Allah. Jika ingin diridloi Allah, pilihannya hanya satu, yaitu menggunakan system yang dari Allah, yaitu khilafah.
Mau pilih mana?
0 Response to "PILIH INDONESIA ATAU KHILAFAH?"
Post a Comment