-->

Politik Bahasa Preman Sang Pejabat




EMPAT bulan terakhir ini panggung politik dan kekuasaan diriuhi dengan pasar kata-kata sarkas. Sebuah pilihan berbahasa yang ditempu politisi hingga pejabat yang tanpa tedeng aling-aling. Tidak ada lagi penghalusan bahasa a la Orde Baru untuk tunaikan perintah, sebagaimana digencarkan rezim kala itu. Sayangnya, dan yang menyedihkan, kini justru kata-kata kasar sarat makian yang keluar dari para anutan publik.

Ungkapan ‘bangsat’, ‘bajingan’, ‘bakar’, ‘bunuh’ seolah jadi lumrah demi tuntaskan kebijakan yang dianggap benar. Seakan santun demi muluskan kebijakan. Sepintas sarat kesetaraan tanpa topeng bahasa. Semua apa adanya.

Tapi, pentas politik bahasa yang disarati kata-kata kasar tentu saja amat gegabah bila dikaitkan dengan kedemokratisan si pelontarnya. Kesantunan tidak selalu berbanding lurus dengan kebijakan. Di sisi lain, kekasaran berbahasa juga tidak serta-merta menandai desakralisasi birokrasi. Seolah jalan membongkar kebuntuan perilaku aparat harus dan hanya dengan cacian dan umpatan bahasa ke publik.

Jangan-jangan kata-kata kasar yang direproduksi pejabat kita sebenarnya bentuk bermain drama sendiri. Memainkan lakon ‘demokratis’, ‘egaliter’, ‘tanpa kompromi’, tapi sejatinya menyimpan tendensi busuk. Ada seleksi kebijakan, mana yang dikasari bahasa ke publiknya dan mana yang diperhalus. Bila ada pejabat melakukan diskriminasi berbahasan semacam ini, amat besar diduga ia tengah berpolitik amoral.

Tentu saja menghancurkan kebekuan birokrasi itu bagus. Terlebih lagi kesantunan kerap jadi kamuflase dari tindakan korup. Toh kekasaran berbahasa hanya alat untuk menyengat kesadaran publik. Esensinya tetap pada kebijakan dan kebaikan. Nah, masalahnya adalah ketika kekasaran lebih menyeruak dan membungkam kebijakan dan kebaikan. Semua ditundukkan demi keputusan politik yang menurut si pejabat lebih baik.

Atas nama kenyamanan, kebersihan, dan ‘kebaikan-kebaikan’ versi pejabat, dibuatlah keputusan yang melawan arus. Penguasa sementara Jakarta adalah model buruk dari kepemimpinan berselubung bahasa kasar. Bahasa kasar disimulasikan oleh pemuja dan pendukungnya seakan citra positif. Padahal, sejatinya itu semata semu dan palsu. Kelak akan ada pembedaan yang menyakitkan. Sayangnya, media massa justru menjadi peniup lakon ‘heroisme’. Kekasaran seakan komoditas seksi melawan tirani korups penguasa terdahulu. Dus, jadilah ketegasan dan kekasaran seolah tidak ada bedanya.

Sama seperti lakon bahasa topeng pejabat Orde Baru—yang dalam ungkapan Ben Anderson disebut ‘kramanisasi‘—parade bahasa preman ala penguasa Jakarta dan politisi setipe akan dilihat publik sebagai sebuah anutan. Sebab, media mereproduksi nilai kekasaran berbahasa si pejabat seolah sebuah ketegasan gaya baru yang wajib didukung publik. Ketika publik menerima tatanan bahasa kasar ini sebagai sebuah adab baru, mereka pun mempraktikkannya. Bukan hal aneh ketika bawahan di birokrasi yang dibentuk dengan makian akan lahir kekasaran kerambol. Sama halnya di era Orba, pejabat doyan menghaluskan kata-kata demi menutupi kejahatan sesungguhnya.

Lalu apa yang bisa diperbuat publik, khususnya umat Islam? Tentu saja harus konsisten membongkar kesesatan berbahasa kasar yang diidentikkan ketegasan tadi. Harus mulai direkapitulasi ‘ketegasan‘ ala penguasa Jakarta dengan kebijakan yang hadir ke publik. Setelah itu, mengedukasi publik bisu yang selama ini terpesona dengan pemberitaan dan pencitraan media atas pejabat tadi. Publik dan umat kudu disadarkan bahwa sudah hadir pembusukan adab yang dikenalkan dari premanisme berbahasa. Pejabat tidak ada pikir panjang untuk menabuh kebencian dengna kata-kata makian.

Tentu saja elemen umat yang selama ini diidentikkan ‘keras’ tinggal disetel untuk bermain cantik kala berhadapan dengan rezim bahasa preman. Kekasaran dibalas kekasaran tidaklah cukup. Harus ada kekompakan lebih dulu dari umat agar bahasa preman pejabat memunculkan kebencian rakyatnya sendiri. Ibaratnya, kebrutalan pendekat mabuk tidak harus dilawan dengan keberingasan jawara. Cukup dengan kebersamaan kita lalu mempermalukannya dalam mahkamah hukum. Bahwa si pejabat hanya piawai di retorika kasar dalam topangan media; padahal, sejatinya—dan kita buktikan kuat—ia hanya bermain di citra palsu. []

0 Response to "Politik Bahasa Preman Sang Pejabat"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close