Aturan Islam dalam Kepemiikan Pribadi,Kepemilikan Umum dan Kepemilikan Negara
Di dalam sistem kapitalisme, pemilikan
individu memperoleh jaminan yang sangat tinggi dari negara. Pemilikan negara
biasanya digabungkan dengan harta-harta lain yang tidak dikelompokkan di dalam
pemilikan individu. Selain itu, di dalam kapitalisme seluruh jenis barang/harta
bisa dimiliki oleh individu. Bagaimana Islam mengatur kepemilikan?
Manusia
memiliki naluri ingin memiliki sesuatu, termasuk harta kekayaan. Ini merupakan
derivasi dari naluri mempertahankan diri (gharizatu
al-baqa). Kecintaan kepada harta benda, seperti rumah yang indah, kendaraan
yang bagus, buah-buahan atau pepohonan yang lebat dan banyak hasil panennya,
perniagaan yang berhasil; semua itu diabadikan di dalam al-Quran:
]قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ
اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا
أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ[
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ[
Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan (dari) berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. (TQS. at-Taubah [9]: 24)
Bisa
dibayangkan apabila masing-masing individu manusia memiliki aturan
sendiri-sendiri untuk mensahkan cara apa saja untuk memperoleh harta kekayaan,
dan jenis barang apa pun yang dia berhak kumpulkan. Kekacauan akan timbul jika
tidak ada mekanisme yang mengatur tentang pemilikan masing-masing individu,
cara mendapatkannya; cara mengelola/mengembangkan dan memanfaatkannya (tasharrufat); cara menjaga kepemilikan
tersebut. Dalam tataran yang lebih luas, sangat berbahaya jika negara juga
ikut-ikutan ambil bagian dalam kekacauan tersebut, dengan merampas begitu saja
harta kekayaan milik individu dengan dalih untuk kepentingan nasional atau
pembangunan. Bahkan bisa menjadi malapetaka jika negara atau individu berebut
aset atau harta kekayaan yang melimpah ruah tersedia di alam begitu saja.
Islam
memiliki mekanisme dan pengaturan dalam hal kepemilikan; juga memiliki
mekanisme tentang barang-barang apa saja yang boleh dimiliki oleh individu,
negara dan masyarakat; untuk perkara apa saja pemanfaatan harta kekayaan
tersebut, dan sebagainya. Peraturan Islam itu dibuat oleh Allah Swt, Pemilik
seluruh alam semesta, Zat Yang Maha Mengetahui dan Maha Adil, yang tidak memiliki
kepentingan apapun di dalam pengaturan-Nya melainkan untuk kebaikan umat
manusia, sebagai rahmat-Nya. Dialah yang memilah-milah jenis kepemilikan, dan
benda-benda/harta kekayan apa saja yang bisa dimiliki dalam rangka menjaga
eksistensi dan kemaslahatan umat manusia seluruhnya; bukan hanya ditujukan bagi
segelintir orang-orang tertentu saja.
Islam
membagi jenis-jenis kepemilikan itu ke dalam tiga macam:
1. Kepemilikan individu.
2. Kepemilikan umum (masyarakat kaum Muslim).
3. Kepemilikan negara.
Kepemilikan individu
adalah hukum syara yang berlaku bagi zat (benda) maupun jasa (manfaat)
tertentu, yang memberikan kemungkinan bagi siapa saja untuk mendapatkannya atau
memanfaatkannya, serta memperoleh kompensasi –baik karena barangnya diambil
kegunaannya oleh orang lain, seperrti disewa; atau karena dikonsumsi untuk
dihabiskan zatnya, seperti dibeli- dari barang tersebut1.
Jadi, kepemilikan merupakan ijin dari Syâri untuk memanfaatkan barang-barang
maupun jasa yang telah ditentukan oleh Syâri itu sendiri sebab-sebab kepemilikannya.
Ijin (kebolehan) tersebut bukan dilihat dari sisi zat (barang/jasa-nya itu
sendiri), atau adanya manfaat pada barang atau jasa tersebut, melainkan dari
aturan Syâri (menyangkut halal dan haram). Oleh karena itu Islam mengharamkan
perolehan harta/jasa melalui pelacuran, meskipun para pelakunya sama-sama rela
dan berbuat atas kemauan sendiri.
Pembatasan
kepemilikan ini sangat penting agar tidak terjadi kekacauan di dalam kehidupan
umat manusia. Islam menjelaskan prinsip-prinsip tersebut antara lain2:
1. Dengan cara membatasi kepemilikan, dari sisi
cara-cara untuk mendapatkannya dan pengembangan harta/jasa.
2. Dengan cara menentukan mekanisme
pengelolaannya.
3. Dengan cara menempatkan tanah-tanah kharaj (tanah-tanah dimana penduduk
negeri itu bergabung dengan negara Khilafah melalui peperangan) bukan sebagai
milik individu.
4. Dengan cara menjadikan hak milik individu
sebagai milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu (misalnya untuk
kasus-kasus tanah mawat yang tidak
digarap selama tiga tahun).
5. Dengan cara membantu individu-individu yang
memiliki keterbatasan, sehingga bisa memenuhi kebutuhannya.
Melalui kajian
terhadap hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan kepemilikan individu ini, maka
seseorang bisa mendapatkan harta/jasa dan menjadi miliknya melalui beberapa
sebab, yaitu:
1. Bekerja (dengan segala macam jenisnya yang
dihalalkan).
2. Warisan (yang diatur melalui hukum-hukum
tentang waris).
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
(dalam situasi darurat, dengan syarat-syarat tertentu).
4. Pemberian negara kepada rakyat.
5. Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan harta
(sebagai kompensasi) atau tenaga apa pun (seperti memperolehnya melalui mahar).
Berdasarkan hal ini, seorang individu tidak
dibatasi dengan batasan maksimal untuk memiliki harta, juga tidak dibatasi
untuk mendapatkan jenis harta. Selama jenisnya dihalalkan, seperti rumah,
pesawat terbang, mobil, pabrik, kuda, unggas, buah-buahan, tanaman bunga, dan
lain-lain, maka dibolehkan memilikinya tanpa batas.
Harta
milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Syâri bagi
kaum Muslim, dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim.
Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari harta tersebut, akan tetapi
mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi3.
Jenis-jenis
harta ini dikelompokkan kepada tiga jenis, yaitu:
1. Sarana-sarana umum yang diperlukan oleh
seluruh kaum Muslim sehari-hari (seperti sumber-sumber air yang depositnya
banyak beserta pemanfaatan, baik untuk dam maupun PLTA, pengairan, PAM
dan-lain-lain; padang penggembalaan –yakni padang rumput-; tenaga listrik
beserta jaringannya)
2. Harta yang kondisi asalnya terhalang bagi
individu tertentu untuk memilikinya (seperti padang Arafah, Mina; lautan,
teluk, selat, danau, sungai, terusan; masjid, lapangan umum).
3. Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya
tidak terbatas (seperti tambang minyak, emas, tembaga, nikel, timah, batubara,
perak, dan sejenisnya)4.
Dasar pijakan dari
pemilikan umum dan jenis-jenis hartanya dikembalikan kepada sabda Rasulullah
saw:
المسلمون شركاء في ثلاث: في الماء
والكلاء والنار
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal:
air, padang rumput, dan api.
Terdapat juga hadits lain diriwayatkan melalui
Abidh bin Hamal al-Mazani:
أنه وفد إلى رسول الله -صلعم-
فاستقطعه الملح فقطع له فلما أن ولى قال رجل من المجلس أتدري ما قطعت له؟ إنما
قطعت له الماء العد. قال: فانتزعه منه
Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang)
garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau
memberikannya, salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis berkata,
‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya
apa yang telah engkau berikan itu (bagi kami) laksana (memberikan) air yang
mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’.
Sedangkan
kepemilikan negara adalah sesuatu yangn juga termasuk ke dalam milik
perorangan, seperti tanah, bangunan dan barang-barang yang dapat dipindahkan.
Akan tetapi, jika berhubungan dengan hak kaum Muslim, maka pengaturannya
menjadi tugas negara5.
Pengaturannya diserahkan kepada Khalifah, karena dialah yang memiliki wewenang
dalam mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan hak seluruh kaum Muslim.
Jenis-jenis
pemilikan negara mencakup: padang pasir, gunung, pantai dan tanah mawat yang tidak ada pemiliknya;
rawa-rawa dan endapan sungai; ash-shawafi
(tanah-tanah yang negerinya ditaklukkan oleh negara Khilafah, baik milik
penguasa, para panglima perang, tanah milik musuh yang terbunuh dalam
peperangan, atau tanah yang ditinggal lari oleh pemiliknya karena negerinya
ditaklukkan; temasuk bangunannya); istana, balairung, bangunan-bangunan
instansi negara yang ditaklukkan, termasuk di dalamnya museum, lembaga
pendidikan negara, pembaga penelitian, pabrik-pabrik dan industri milik negara
yang ditaklukkan; dan sejenisnya. Semua itu adalah hak milik negara Khilafah.
Setiap
jenis kepemilikan (baik itu pemilikan individu, umum, dan negara) memiliki tata
cara pengaturan dan cara-cara penggunaan atas harta milik masing-masing jenis.
Seorang Khalifah, tidak bisa menggunakan begitu saja harta milik umum (dari
hasil penjualan minyak dan gas misalnya) untuk kepentingan individu dan negara.
Atau seorang Khalifah –dengan dalih- kemaslahatan umat mengambil alih bangunan
atau tanah milik individu rakyat dan menjadikannya milik negara. Kasus seperti
ini tidak akan dijumpai di dalam negara Khilafah.
Pendek
kata, pengaturan tentang pemilikan, cara-cara perolehannya,
pemanfaatan/penggunaannya, dan distribusinya (jika menyangkut pemilikan negara
dan umum) ditentukan oleh syariat Islam secara detail. Hal ini untuk
menciptakan kehidupan yang sejahtera dan tentram bagi seluruh umat manusia.
1 Taqiyuddin
an-Nabhani., Nizhamu al-Iqtishadi fi al-Islam., p.72., Darul Ummah
2 Taqiyuddin
an-Nabhani., op cit., p.74-75., Darul Ummah
3 Abdul Qadim
Zallum., al-Amwal fi Daulati al-Khilafah., p.75., Darul ‘Ilmi lil Malayin
4 Lihat
rinciannya pada Abdul Qadim Zallum., op cit., p.75-82., Darul ‘Ilmi lil Malayin
5 Abdul Qadim
zallum., op cit., p.91., Darul ‘Ilmi lil Malayin
0 Response to "Aturan Islam dalam Kepemiikan Pribadi,Kepemilikan Umum dan Kepemilikan Negara"
Post a Comment