Inilah Perbedaan Syuro dan Demokrasi
Demokrasi adalah bagian dari Islam. Itu
menurut sebagian orang. Pernyataan ini terlontar karena mereka menganggap syura
(di dalam Islam) itu sama dengan Demokrasi. Apakah benar syura itu sama dengan
Demokrasi?
Sebelum
menyinggung benar tidaknya syura sama dengan demokrasi, ada baiknya kita
mengupas lebih dahulu apa itu demokrasi dan apa itu syura. Setelah itu baru
bisa ditarik persamaan-persamaannya (jika ada) dan perbedaan-perbedaannya.
Demokrasi
adalah istilah yang menggambarkan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat1. Rakyat dianggap sebagai
penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan. Rakyat berhak mengatur sendiri
urusannya serta melaksanakan dan menjalankan sendiri kehendaknya. Rakyat tidak
bertanggung jawab pada kekuasaan siapa pun selain kepada dirinya sendiri.
Rakyat berhak membuat sendiri perturan dan undang-undang –karena mereka adalah
pemilik kedaulatan- melalui para wakil mereka yang mereka pilih. Rakyat berhak
pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat melalui
tangan para penguasa dan hakim yang mereka pilih. Keduanya mengambilalih
kekuasaan dari rakyat karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu
rakyat, sebagaimana individu lainnya, berhak menyelenggarakan pemerintahan
negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undang-undang2. Dengan kata lain, dalam sistem
demokrasi, rakyat bertindak selaku musyarri’
(pembuat hukum) karena posisinya sebagai pemilik kedaulatan, sekaligus berperan
sebagai munaffidz (pelaksana hukum)
karena posisinya sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi
adalah sistem pemerintahan yang bersandar pada suara mayoritas.
Penetapan/pembuatan peraturan dan undang-undang dilakukan oleh ‘wakil-wakil
rakyat’ berdasarkan suara mayoritas. Suara mayoritas pula yang dilakukan untuk
memilih wakil-wakil rakyat, memilih kepala negara, menjatuhkan pemerintahan
dengan penggunaan mosi tidak percaya. Artinya, suara mayoritas merupakan salah
satu ciri yang sangat menonjol dalam sistem demokrasi, dan mewakili pencerminan
suara rakyat.
Pendek kata,
demokrasi itu sangat tampak ciri-cirinya dalam hal:
- 1. Demokrasi itu adalah produk dari akal manusia, bukan berasal dari Allah Swt. Demokrasi tidak didasarkan pada wahyu, bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu.
- 2. Demokrasi lahir dari akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan atau pemisahan urusan politik/negara dengan agama).
- 3. Demokrasi mengusung konsep: kedaulatan berada di tangan rakyat; rakyat adalah sumber kekuasaan.
- 4. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang bersandar pada mekanisme suara mayoritas, sebagai pencerminan keinginan rakyat.
- 5. Demokrasi menjamin pelaksanaan dan pemeliharaan tentang: (1) kebebasan beragama/berkeyakinan, (2) kebebasan berpendapat, (3) kebebasan pemilikan, dan (4) kebebasan bertingkah laku.
Berdasarkan
hal ini, demokrasi merupakan suatu pandangan hidup dan di dalamnya terangkum
sekumpulan ketentuan yang berkaitan dengan peraturan, undang-undang dan
mekanisme dalam suatu sistem pemerintahan.
Sedangkan
syura memiliki arti meminta pendapat (thalab
ar-ra’yi)3. Kata syura tercantum di
dalam al-Quran, seperti:
]وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ[
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. (TQS. Ali Imran [3]: 159)
Ayat tersebut mengungkapkan realitas mengenai
tuntutan untuk meminta pendapat. Meskipun demikian tidak bisa dimaknai begitu
saja bahwa syura itu adalah wajib. Untuk memastikan bahwa syura itu bisa
dimaknai wajib, sunnah, atau mubah diperlukan indikasi-indikasi (qarinah).
Pada
prakteknya, syura dilakukan oleh para pengambil kebijakan sebelum memutuskan
suatu perkara. Dalam sistem pemerintahan Islam, syura dipraktekkan oleh
Khalifah terhadap anggota-anggota majlis umat (majlis syura) dalam menentukan
kebijakan pemerintahannya. Permintaan pendapat (syura) di dalam Islam itu
mencakup perkara-perkara:
Pertama, untuk perkara-perkara yang
telah ditentukan status hukumnya oleh syariat (berdasarkan teks nash-nash
syara), tidak diperlukan lagi adanya pengambilan keputusan berdasarkan suara
mayoritas atau pun suara minoritas. Khalifah, anggota-anggota majlis umat
(majlis syura) maupun masyarakat wajib terikat dengan ketetapan Syâri, dan
ketetapan tersebut wajib dilaksanakan oleh mereka seluruhnya. Jadi, ketetapan
haramnya riba, haramnya zina, haramnya wanita sebagai kepala negara (Khalifah),
wajibnya penerapan sistem hukum Islam secara total, wajibnya jihad fi sabilillah, dan lain-lain;
semua itu tidak akan gugur meskipun mayoritas atau bahkan seluruh kaum Muslim
menghendaki pembatalannya.
Contoh
nyata bahwa Rasulullah saw menyelisihi pendapat mayoritas para sahabat adalah
peristiwa disetujuinya oleh beliau klausul-klausul yang ada pada perjanjian
Hudaibiyah. Karena disepakatinya perjanjian itu berdasarkan perintah Allah Swt,
bukan berdasarkan pendapat mayoritas atau pun minoritas para sahabat. Dalam
perkara ini Rasulullah saw tidak meminta pendapat kepada kaum Muslim Terhadap
sahabat-sahabat beliau yang keberatan dengan klausul perjanjian itu beliau
bersabda:
إني عبد الله ورسوله ولن أخالف أمره
Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali
aku tidak akan menyalahi perintah-Nya. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kedua, untuk perkara-perkara yang
berhubungan dengan ide, definisi, pemikiran, keahlian atau profesi, dan
sejenisnya; maka yang dirujuk adalah kebenaran dan ketepatannya; bukan
berdasarkan pertimbangan suara mayoritas atau minoritas. setiap perkara yang
tergolong kriteria ini harus merujuk kepada ahlinya, karena mereka adalah
orang-orang yang memiliki kemampuan dalam perkara-perkara tersebut.
Pendapat
yang terkait dengan senjata nuklir –misalnya- yang harus dirujuk adalah
pendapat pakar senjata nuklir, bukan senjata biologi. Pendapat yang terkait
dengan bahasa Arab –misalnya- maka harus merujuk pada ahli bahasa Arab, bukan
ahli bahasa Melayu. Pendapat yang menyangkut teori-teori sains maupun
prinsip-prinsip dasar teknologi, harus merujuk pada insinyur-insinyur yang
bersangkutan, bukan kepada yang lain! Pendapat seorang ahli kedokteran jauh
lebih diutamakan dan layak dijadikan rujukan dari pada suara mayoritas
masyarakat yang awam tentang kedokteran. Demikianlah, Rasulullah saw pernah
mempraktekkan pengambilan pendapat semacam ini dalam peristiwa penentuan tempat
di medan Badar. Hubab bin Mundzir bin Jamuh berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah penentuan tempat (yang dijadikan basis
perkemahan/pertahanan) ini ditetapkan (berdasarkan keputusan) Allah sehingga
kita tidak boleh mendahului dan mengakhirkan (yakni menetapi dengan
sebenar-benarnya-pen), ataukah (penentuan tempat ini) berdasarkan pendapat yang
terkait dengan perang dan strategi (tipu daya)nya? Jawab Rasulullah saw: ‘(Penentuan tempat ini) berdasarkan pendapat
yang terkait dengan perang dan strategi (tipu daya)nya’4.
Kemudian Hubab mengusulkan tempat lain yang lebih baik dari sisi ketersediaan
logistik (kecukupan air minum) sekaligus menimbun sumber-sumber air yang bisa
dimanfaatkan oleh musuh. Dan Rasulullah pun menerimanya.
Ketiga, untuk perkara-perkara yang
menyangkut amal/perbuatan praktis dan tidak terkait dengan pemikiran-pemikiran
dasar dan mendalam, pengambilan pendapat bisa berdasarkan mekanisme voting
(suara terbanyak). Misalnya, sikap Rasulullah saw yang mengikuti suara
mayoritas (yang didukung para pemuda) untuk menghadapi musuh di luar kota
Madinah pada peristiwa perang Uhud. Meski beliau sendiri cenderung untuk
bertahan dan menghadapi musuh di kota Madinah, tetapi beliau akhirnya mengambil
pendapat mayoritas yang dilontarkan kaum Muslim. Ini menyangkut masalah
praktis, tidak terkait dengan ide dan tidak akan merubah (mengganggu gugat ide
dasar). Pemikiran (ide dasarnya) adalah bahwa musuh harus dihadapi oleh kaum
Muslim. Adapun menghadapinya ada dua cara, yaitu, dihadapi dengan bertahan di
kota Madinah, atau menyongsong musuh di luar kota Madinah. Jadi, tidak berhubungan
dengan ide (yaitu apakah musuh harus dihadapi atau tidak), melainkan langsung
berhubungan dengan cara-cara praktis menghadapi musuh. Seandainya yang dipilih
adalah bertahan (menghadapi) musuh di kota Madinah, hal itu tidak melalaikan
(membatalkan) perintah jihad fi
sabilillah. Dalam perkara semacam ini mekanisme voting (berdasarkan suara
mayoritas) bisa diambil.
Dari
paparan tersebut tampak jelas bahwa demokrasi dengan syura itu sangat berbeda
dan tidak layak dibandingkan, karena obyeknya berbeda. Syura itu hanya
mekanisme pengambilan pendapat, sedangkan demokrasi merupakan visi (pandangan)
hidup yang menyangkut aspek dasar (ideologis), termasuk di dalamnya pengambilan
suara mayoritas di dalam parlemen.
Perbedaan
lain yang mencolok adalah, syura merupakan hak kaum Muslim, yang digunakan oleh
Khalifah untuk meminta pendapat tentang perkara-perkara yang menyangkut urusan
kaum Muslim. Orang-orang kafir (dzimmi)
tidak diperkenankan terlibat di dalam proses syura. Sedangkan suara mayoritas
dalam sistem demokrasi tidak mempedulikan lagi apakah mereka itu muslim atau
kafir.
Pebedaan
syura dan demokrasi ibarat perbedaan antara siang dan malam. Dengan demikian,
apanya yang bisa disamakan antara syura dan demokrasi?
1 Hizbut
Tahrir., ad-Dimuqratiyah Nizham Kufr., p.6., 1995; Urofski, Melvin I.,
Democracy., Office of International Information Programs-US Dept of State (www.usinfo.state.gov)., 2003
2 Hizbut
Tahrir., op cit., p.6-7., 1995
3 Abdul Qadim
Zallum., Nizham al-Hukmi fi al-Islam.,p.219., Darul Ummah
4 Ibnu
Hisyam., Sirah an-Nabi saw., jilid II/259-260., Darul Fikr
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Inilah Perbedaan Syuro dan Demokrasi"
Post a Comment