Penanganan Densus 88 Terhadap Kasus Siyono Merupakan Pelanggaran Hukum Berat
www.dakwahmedia.net - Penanganan Densus 88 terhadap kasus Siyono dilakukan diluar cara-cara hukum. Kematian Siyono menambah deretan panjang, seorang yang baru dikenakan status terduga, lalu dikenakan upaya paksa, ditambah lagi dengan penyiksaan berujung kematian. Penyiksaan yang berujung kematian itu merupakan tindak pidana, dan harus diusut tuntas.
Hal itu dikatakan Miko Ginting dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dalam jumpa pers di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, belum lama ini.
Miko menegaskan, penangkapan Siyono oleh Detasemen Khusus (Densus) Anti Teror 88 yang berujung kematian, harus dievaluasi kembali dalam penanganan tindakan pidana terorisme. Pendekatan negara seperti ini pantas jika digugat.
“Penanganan tindakan kasus terorisme sebetulnya sudah terjadi pasca peristiwa 11/9 di Amerika Serikat. Saat itu Goerge W Bush mengatakan War on terrorism, perang melawan teroris. Pernyataan itu kemudian dimaknai bebas untuk melakukan apapun,” kata Miko.
Ketika Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan konvensi dan beberapa resolusi yang mengkategorikan sebagai tindak pidana. Tentu, mengkategorikan sebagai tindak pidana menjadi penting, karena berimplikasi pada tindakan apa yang bisa diambil oleh negara.
“Dalam konteks di Indonesia, UU No 15 tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, lagi-lagi menegaskan bahwa terorisme itu tindak pidana. Begitu juga dengan Peraturan Kapoliri No 23 tahun 2011 tentang Penindakan terhadap tersangka terorisme. Kategorisasi ini juga penting.”
Seperti diketahui, status Siyono belum ditetapkan sebagai tersangka. Siyono masih menyandang stutus terduga. Jika masih diduga sebagai pelaku, maka selanjutnya harus ditetapkan sebagai tersangka. Untuk menjadi tersangka, tentu harus punya bukti permulaan yang cukup, sehingga dapat diduga pelakunya.
“Artinya ada proses penyelidikan lebih dulu, dan buki permulaan, kemudia baru ditetapkan sebagai tersangka. Yang dipertanyakan adalah, kasus Siyono ini menggunakan pendekatan hukum atau diluar hukum?”
Menurut Miko, jika Siyono sudah ditetapkan statusnya sebagai tersangka, bisa dilakukan upaya paksa. Jika belum ditetapkan sebagai tersangka, maka sebagai warga negara tidak boleh ada upaya paksa. Dan jika masih terduga, tidak bisa dilakukan pengkapan, penggeledahan dan penyitaan. Itu diatur secara rinci dalam KUHP.
“Maka, penangkapan, penahanan, pengegeladahan, atau perintah tembak ditempat tidak boleh dilakukan. Persoalannya, Siyono belum ditetapkan sebagai tersangka, tapi sudah ada upaya paksa penyitaan, penggeledahan, dan penangkapan. Semua itu dilakukan diluar cara-cara hukum, penyiksaan yang berujung pada kematian.”
Kalau memang sepakat bahwa terorisme sebagai tindak pidana, maka responnya adalah penegakan hukum yang dilakukan secara ketat menurut KUHP. Tidak boleh ada cara lain di luar prosedur. Jika diluar prosedur, itu tindakan sewenang-wenang.
“Karena itu, negara, dalam hal ini Densus 88 harus melakukan evaluasi, terutama aparat yang melakukan penyiksaan pada Siyono. Penyiksaan yang berujung kematian itu merupakan tindak pidana, dan harus diusut tuntas. Bukan hanya kasus Siyono tentunya, mengingat hingga saat ini, sudah 121 orang yang dieksekusi mati tanpa melalui proses hukum. Angka ini cukup besar. Pantas jika negara digugat.
0 Response to "Penanganan Densus 88 Terhadap Kasus Siyono Merupakan Pelanggaran Hukum Berat"
Post a Comment