RELEVANKAH KHILAFAH DI DUNIA MODERN SEPERTI SEKARANG INI?
Oleh : Choirul Anam
Dunia terus mengalami perubahan. Apalagi pasca revolusi industri di Eropa. Kemajuan teknologi dan gaya hidup masyarakat berubah secara sangat signifikan. Dahulu, alat transportasi adalah kuda atau onta, tapi sekarang pesawat atau mobil. Dahulu, komunikasi jarak jauh lewat surat, sekarang lewat telpon atau internet. Dahulu, penerangan menggunakan sentir, sekarang menggunakan listrik. Dahulu, air harus ditimba dari sumur, sekarang menggunakan mesin pompa. Dahulu, tidak ada kulkas, setrika, TV, rice cooker dan lain sebagainya.
Bisnis juga telah berubah. Dahulu, hanya ada pasar tradisional, sekarang ada super market, mini market dan lain sebagainya. Dahulu, tidak ada asuransi, sekarang ada asuransi dengan berbagai variannya. Dahulu, berdagang harus tatap muka, sekarang bisa lewat dunia maya. Bahkan, produk barang dan jasa, saat ini banyak yang dipasarkan dan dijual secara online. Dahulu, bayar harus pakai uang, sekarang bisa pakai kartu kredit, dan lain sebagainya.
Kehidupan sosial juga telah berubah. Dahulu, penduduk masih sedikit, sekarang sudah banyak. Dahulu, tidak banyak sarjana, sekarang banyak sarjana. Dahulu, kehidupan masyarakat dengan model perkampungan yang guyup, sekarang dengan model perumahan yang individualis.
Semua telah berubah. Tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan harus diterima sebagai suatu kenyataan. Perubahan merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari. Karena itu, beberapa pakar mengatakan sangat naïf jika ada orang yang menolak perubahan. Sangat naïf di zaman modern seperti ini, ada yang menginginkan syariah dan Khilafah. Sangat mengherankan di zaman canggih seperti ini, ada yang bermimpi kembali ke zaman batu. Sangat menggelikan pada abad 21 ini, ada yang bernostalgia kembali ke abad 7 atau 8. Sungguh, sangat lucu di alam demokrasi yang penuh kebebasan masih ada yang menginginkan Khilafah yang penuh dengan pengekangan.
*****
Jika kita kaji secara obyektif, pernyataan di atas memang ada benarnya, tapi banyak salahnya. Karena sebenarnya, pernyataan diatas dibangun di atas beberapa logika dan beberapa fenomena, yang masing-masing harus dinilai satu persatu. Sebagian ada yang tepat, namun sebagian yang lain keliru.
Pertama, pernyataan bahwa dunia sedang berubah, itu memang sesuatu yang benar. Pernyataan tersebut 100% benar. Tapi, jika dikatakan bahwa saat ini semua telah berubah, itu tidak selalu benar. Memang benar bahwa manusia sekarang pakai email, padahal sebelumnya tidak mengenalnya. Memang benar bahwa manusia kalau bepergian tidak naik onta atau kuda, tapi naik mobil, atau kereta atau pesawat atau lainnya. Itu semua benar. Tapi ada yang tidak berubah dari manusia. Dari zaman dahulu sampai sekarang, manusia butuh makan, minum dan tempat tinggal. Dari zaman dahulu sampai sekarang manusia (laki-laki) suka wanita cantik, yang wanita suka pria tampan. Dari zaman dahulu sampai sekarang, manusia suka jabatan dan kedudukan. Dari zaman dahulu sampai sekarang, manusia ingin hidup kaya dan sejahtera. Dari zaman dahulu sampai sekarang, manusia senang jika dipuji dan marah bila dihina. Dari dahulu sampai sekarang, manusia berawal dari kelahiran dan berakhir dengan kematian. Semua itu tidak berubah.
Memang dalam level tertentu ada perubahan yang sangat signifikan, tetapi dalam level yang lainnya tidak ada perubahan sama sekali. Sebagai contoh, jenis-jenis makanan telah berkembang atau berubah. Dahulu, mungkin tidak dikenal ayam kriuk, ayam gepuk, dan lain sebagainya. Tetapi, realitas bahwa manusia butuh makan tetap tidak berubah dan tidak akan pernah berubah.
Jadi, dalam perubahan itu ada sesuatu yang tetap (ajeg), dan di dalam keajegan ada sesuatu yang berubah.
Kedua, pernyataan bahwa sangat aneh orang yang menginginkan syariah karena sudah kuno, sungguh tidak masuk nalar. Hal ini seakan dipaksakan bahwa yang kuno selalu jelek, yang sekarang selalu baik. Padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Perubahan dalam level tertentu memang selalu terjadi, tetapi perubahan itu ada yang kearah lebih baik, dan ada yang kearah lebih buruk. Ada yang berubah dari besar ke kecil, ada pula yang berubah dari kecil ke besar. Ada yang berubah dari lemah ke kuat, ada yang berubah dari kuat ke lemah. Manusia sendiri, saat bayi, dia akan berbah menjadi semakin kuat, tetapi setelah itu ia akan berubah lagi menjadi semakin tua dan lemah.
Tidak selalu yang kuno itu jelek dan tidak selalu yang sekarang itu baik. Baik dan buruk itu memiliki standar sendiri, tidak dilihat dari kuno atau tidaknya. Tidak selalu yang bersentuhan dengan teknologi itu baik. Buktinya, sekarang ini orang justru mencari sesuatu yang alami. Slogan yang sering digunakan saat ini misalnya back to nature! atau go green!. Untuk makanan, manusia saat ini justru lebih menyukai yang kuno (alamiah), seperti ayam kampung, telur kampung, dan lain sebagainya.
Jadi, tidak selalu yang modern itu baik. Sebab, baik atau buruk memiliki ukuran sendiri, bukan sekedar kuno atau modern.
Ketiga, pernyataan bahwa syariah itu kuno dan demokrasi itu modern, ini juga agak aneh. Jika diasumsikan bahwa syariah Islam itu bermula dari zaman Nabi Muhammad mendapat wahyu, maka itu terjadi pada abad 7 Masehi. Sementara demokrasi itu mulai dikenalkan pada abad ke-5 SM (sebelum masehi) untuk menyebut negara-kota Yunani Kuno, salah satunya Athena. Dipercayai bahwa rakyat Athena telah mendirikan negara yang dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM dan dipimpin oleh Cleisthenes. Karena itu, Cleisthenes disebut sebagai "bapak demokrasi Athena”. Meski demikian, demokrasi pernah ditinggal selama beberapa abad, kemudian pada zaman modern demokrasi mulai muncul lagi. Dalam sejarah modern, bangsa pertama yang mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755 M.
Jadi, jika kita bandingkan, mana yang lebih kuno, demokrasi atau atau syariah dan Khilafah? Mana yang lebih kuno, sesuatu yang lahir pada abad 5 sebelum masehi atau sesuatu yang lahir pada abad 7 masehi?
Siapa pun orang yang bisa matematika setingkat SD, seperti pengurangan dan penjumlahan, pasti memahami bahwa demokrasi itu lebih kuno sekitar 12 abad dibandingkan dengan syariah dan Khilafah Islamiyah.
*****
Jadi, baik dan buruk itu memiliki ukuran sendiri-sendiri, tidak bisa hanya dinilai dari kuno atau modern, apalagi hanya dengan klain bahwa zaman telah berubah.
Bahkan, jika kita telaah secara kritis dan obyektif, maka syariah Islam jauh lebih baik dibandingkan dengan demokrasi. Hanya saja, demokrasi saat ini dikampanyekan besar-besaran oleh hampir semua pihak, terutama oleh media mainstream, dan dianggap sebagai sesuatu yang terbaik. Sementara syariah dikampanyekan oleh media mainstream sebagai sesuatu yang kuno, tertinggal dan anti modernitas. Apakah kampanye global secara masif ini sesuatu yang kebetulan?
Untuk menjawab ini, ada baiknya kita melihat tulisan Ariel Cohen P.hD, seorang analis politik internasional dan konsultan kebijakan luar negeri Amerika, dalam tulisannya yang berjudul: Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia. Ia sangat gusar melihat perkembangan umat islam dunia, terutama di Asia tengah, yang mulai merindukan Khilafah dan meninggalkan demokrasi. Ia menulis beberapa rekomendasi ke pemerintah Amerika. Berikut ini salah satu rekomendasi dia untuk mempromosikan demokrasi: “Encourage democracy and popular participation. The scarcity of secular and moderate Islamic democratic politics and credible non-governmental organization (NGO) activities and the lack of freedom of expression may be driving thousands of young recruits to join Hizb in Central Asia, especially in Uzbekistan. ((Amerika) harus mendukung demokrasi dan partisipasi masyarakat. Kelangkaan politik demokratis Islam yang moderat dan sekuler, dan lembaga sosial masyarakat (LSM) yang kredibel, serta tidak adanya kebebasan berekspresi, inilah kemungkinan yang mendorong ribuan orang pemuda bergabung dengan Hizbut Tahrir di Asia Tengah, terutama di Uzbekistan)”.
Dia juga merekomendasikan agar Amerika berusaha sekuat tenaga untuk mendeskriditkan syariah dan memberikan dukungan kepada siapa saja yang mendeskriditkan syariah. Ia mengatakan: “The U.S. should provide support to local media to cover negative examples of the application of Shari'a law, such as amputations for minor offenses or alcohol possession in Chechnya, Afghanistan under the Taliban, Saudi Arabia, and other places. The consequences of jihad-type civil war, such as in Algeria, which left 100,000-200,000 dead, should also be covered. Positive coverage of the West should also be supported (Amerika harus memberikan bantuan kepada media lokal untuk memuat contoh-contoh negatif dari penerapan hukum syariah, seperti potong (tangan) hanya karena pencurian yang tak seberapa atau (hukum) tentang kepemilikan alkohol di Chechnya, kehidupan di bawah Taliba, Arab saudi atau tempat-tempat lain. Juga harus dimuat akibat dari jihad (suatu tipe perang masyarakat sipil) sebagaimana yang terjadi di Algeria, yang telah menewaskan 100.000-200.000 orang. Sementara aspek-aspek yang tampak positif dari Barat harus ditonjolkan)”.
Hal yang sama diungkapkan oleh David E. Kaplan dalam Heart, Minds and Dollars, (www.usnews.com), “AS telah mengeluarkan puluhan juta US dolar untuk mengubah masyarakat dunia Islam dan Islam itu sendiri agar tunduk pada sekulerisme/pluralisme/ liberalisme”.
Negara-negara Barat memang tidak akan pernah mengijinkan Umat Islam rindu dengan syariah dan Khilafah. Ini pula yang pernah dinyatakan oleh Lord Curzon seorang Menteri Luar Negeri Inggris, pasca runtuhnya Khilafah pada tahun 1924. Ia mengatakan pada the House of Commons "We must put an end to anything which brings about any Islamic unity between the sons of the Muslims. As we have already succeeded in finishing off the Caliphate, so we must ensure that there will never arise again unity for the Muslims, whether it be intellectual or cultural unity (Kita harus menghalangi dengan cara apapun segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada persatuan Islam diantara anak-anak Muslim. Sebagaimana kita telah berhasil meruntuhkan Khalifah, maka kita harus menjamin bahwa umat islam tidak akan bersatu lagi, baik itu secara intelektual atau kultural)".
Jadi, banyaknya orang yang begitu tergila-gila dengan demokrasi dan begitu benci dengan syariah dan Khilafah, itu bukan sesuatu yang kebetulan atau alamiah. Hal itu, bukan karena syariah dan Khilafah buruk, sementara demokrasi itu baik, tetapi semua itu terjadi karena rekayasa dari Barat agar Islam tidak kembali lagi menjadi kekuatan dunia. Semua itu dilakukan menggunakan tangan anak-anak Muslim sendiri yang mau dibayar dengan dollar recehan dan ditempeli gelar “intelektual muslim”.
Salah satu isu yang memang sengaja dihembuskan adalah bahwa syariah dan Khilafah kuno, smentara demokrasi modern. Lalu, dikampanyekan Khilafah tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman yang sudah sangat modern ini.
Jadi, menurut Anda, mana yang lebih kuno, demokrasi atau Khilafah? Apakah Khilafah relevan di zaman modern ini?
Wallahu a’lam.
Dunia terus mengalami perubahan. Apalagi pasca revolusi industri di Eropa. Kemajuan teknologi dan gaya hidup masyarakat berubah secara sangat signifikan. Dahulu, alat transportasi adalah kuda atau onta, tapi sekarang pesawat atau mobil. Dahulu, komunikasi jarak jauh lewat surat, sekarang lewat telpon atau internet. Dahulu, penerangan menggunakan sentir, sekarang menggunakan listrik. Dahulu, air harus ditimba dari sumur, sekarang menggunakan mesin pompa. Dahulu, tidak ada kulkas, setrika, TV, rice cooker dan lain sebagainya.
Bisnis juga telah berubah. Dahulu, hanya ada pasar tradisional, sekarang ada super market, mini market dan lain sebagainya. Dahulu, tidak ada asuransi, sekarang ada asuransi dengan berbagai variannya. Dahulu, berdagang harus tatap muka, sekarang bisa lewat dunia maya. Bahkan, produk barang dan jasa, saat ini banyak yang dipasarkan dan dijual secara online. Dahulu, bayar harus pakai uang, sekarang bisa pakai kartu kredit, dan lain sebagainya.
Kehidupan sosial juga telah berubah. Dahulu, penduduk masih sedikit, sekarang sudah banyak. Dahulu, tidak banyak sarjana, sekarang banyak sarjana. Dahulu, kehidupan masyarakat dengan model perkampungan yang guyup, sekarang dengan model perumahan yang individualis.
Semua telah berubah. Tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan harus diterima sebagai suatu kenyataan. Perubahan merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari. Karena itu, beberapa pakar mengatakan sangat naïf jika ada orang yang menolak perubahan. Sangat naïf di zaman modern seperti ini, ada yang menginginkan syariah dan Khilafah. Sangat mengherankan di zaman canggih seperti ini, ada yang bermimpi kembali ke zaman batu. Sangat menggelikan pada abad 21 ini, ada yang bernostalgia kembali ke abad 7 atau 8. Sungguh, sangat lucu di alam demokrasi yang penuh kebebasan masih ada yang menginginkan Khilafah yang penuh dengan pengekangan.
*****
Jika kita kaji secara obyektif, pernyataan di atas memang ada benarnya, tapi banyak salahnya. Karena sebenarnya, pernyataan diatas dibangun di atas beberapa logika dan beberapa fenomena, yang masing-masing harus dinilai satu persatu. Sebagian ada yang tepat, namun sebagian yang lain keliru.
Pertama, pernyataan bahwa dunia sedang berubah, itu memang sesuatu yang benar. Pernyataan tersebut 100% benar. Tapi, jika dikatakan bahwa saat ini semua telah berubah, itu tidak selalu benar. Memang benar bahwa manusia sekarang pakai email, padahal sebelumnya tidak mengenalnya. Memang benar bahwa manusia kalau bepergian tidak naik onta atau kuda, tapi naik mobil, atau kereta atau pesawat atau lainnya. Itu semua benar. Tapi ada yang tidak berubah dari manusia. Dari zaman dahulu sampai sekarang, manusia butuh makan, minum dan tempat tinggal. Dari zaman dahulu sampai sekarang manusia (laki-laki) suka wanita cantik, yang wanita suka pria tampan. Dari zaman dahulu sampai sekarang, manusia suka jabatan dan kedudukan. Dari zaman dahulu sampai sekarang, manusia ingin hidup kaya dan sejahtera. Dari zaman dahulu sampai sekarang, manusia senang jika dipuji dan marah bila dihina. Dari dahulu sampai sekarang, manusia berawal dari kelahiran dan berakhir dengan kematian. Semua itu tidak berubah.
Memang dalam level tertentu ada perubahan yang sangat signifikan, tetapi dalam level yang lainnya tidak ada perubahan sama sekali. Sebagai contoh, jenis-jenis makanan telah berkembang atau berubah. Dahulu, mungkin tidak dikenal ayam kriuk, ayam gepuk, dan lain sebagainya. Tetapi, realitas bahwa manusia butuh makan tetap tidak berubah dan tidak akan pernah berubah.
Jadi, dalam perubahan itu ada sesuatu yang tetap (ajeg), dan di dalam keajegan ada sesuatu yang berubah.
Kedua, pernyataan bahwa sangat aneh orang yang menginginkan syariah karena sudah kuno, sungguh tidak masuk nalar. Hal ini seakan dipaksakan bahwa yang kuno selalu jelek, yang sekarang selalu baik. Padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Perubahan dalam level tertentu memang selalu terjadi, tetapi perubahan itu ada yang kearah lebih baik, dan ada yang kearah lebih buruk. Ada yang berubah dari besar ke kecil, ada pula yang berubah dari kecil ke besar. Ada yang berubah dari lemah ke kuat, ada yang berubah dari kuat ke lemah. Manusia sendiri, saat bayi, dia akan berbah menjadi semakin kuat, tetapi setelah itu ia akan berubah lagi menjadi semakin tua dan lemah.
Tidak selalu yang kuno itu jelek dan tidak selalu yang sekarang itu baik. Baik dan buruk itu memiliki standar sendiri, tidak dilihat dari kuno atau tidaknya. Tidak selalu yang bersentuhan dengan teknologi itu baik. Buktinya, sekarang ini orang justru mencari sesuatu yang alami. Slogan yang sering digunakan saat ini misalnya back to nature! atau go green!. Untuk makanan, manusia saat ini justru lebih menyukai yang kuno (alamiah), seperti ayam kampung, telur kampung, dan lain sebagainya.
Jadi, tidak selalu yang modern itu baik. Sebab, baik atau buruk memiliki ukuran sendiri, bukan sekedar kuno atau modern.
Ketiga, pernyataan bahwa syariah itu kuno dan demokrasi itu modern, ini juga agak aneh. Jika diasumsikan bahwa syariah Islam itu bermula dari zaman Nabi Muhammad mendapat wahyu, maka itu terjadi pada abad 7 Masehi. Sementara demokrasi itu mulai dikenalkan pada abad ke-5 SM (sebelum masehi) untuk menyebut negara-kota Yunani Kuno, salah satunya Athena. Dipercayai bahwa rakyat Athena telah mendirikan negara yang dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM dan dipimpin oleh Cleisthenes. Karena itu, Cleisthenes disebut sebagai "bapak demokrasi Athena”. Meski demikian, demokrasi pernah ditinggal selama beberapa abad, kemudian pada zaman modern demokrasi mulai muncul lagi. Dalam sejarah modern, bangsa pertama yang mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755 M.
Jadi, jika kita bandingkan, mana yang lebih kuno, demokrasi atau atau syariah dan Khilafah? Mana yang lebih kuno, sesuatu yang lahir pada abad 5 sebelum masehi atau sesuatu yang lahir pada abad 7 masehi?
Siapa pun orang yang bisa matematika setingkat SD, seperti pengurangan dan penjumlahan, pasti memahami bahwa demokrasi itu lebih kuno sekitar 12 abad dibandingkan dengan syariah dan Khilafah Islamiyah.
*****
Jadi, baik dan buruk itu memiliki ukuran sendiri-sendiri, tidak bisa hanya dinilai dari kuno atau modern, apalagi hanya dengan klain bahwa zaman telah berubah.
Bahkan, jika kita telaah secara kritis dan obyektif, maka syariah Islam jauh lebih baik dibandingkan dengan demokrasi. Hanya saja, demokrasi saat ini dikampanyekan besar-besaran oleh hampir semua pihak, terutama oleh media mainstream, dan dianggap sebagai sesuatu yang terbaik. Sementara syariah dikampanyekan oleh media mainstream sebagai sesuatu yang kuno, tertinggal dan anti modernitas. Apakah kampanye global secara masif ini sesuatu yang kebetulan?
Untuk menjawab ini, ada baiknya kita melihat tulisan Ariel Cohen P.hD, seorang analis politik internasional dan konsultan kebijakan luar negeri Amerika, dalam tulisannya yang berjudul: Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia. Ia sangat gusar melihat perkembangan umat islam dunia, terutama di Asia tengah, yang mulai merindukan Khilafah dan meninggalkan demokrasi. Ia menulis beberapa rekomendasi ke pemerintah Amerika. Berikut ini salah satu rekomendasi dia untuk mempromosikan demokrasi: “Encourage democracy and popular participation. The scarcity of secular and moderate Islamic democratic politics and credible non-governmental organization (NGO) activities and the lack of freedom of expression may be driving thousands of young recruits to join Hizb in Central Asia, especially in Uzbekistan. ((Amerika) harus mendukung demokrasi dan partisipasi masyarakat. Kelangkaan politik demokratis Islam yang moderat dan sekuler, dan lembaga sosial masyarakat (LSM) yang kredibel, serta tidak adanya kebebasan berekspresi, inilah kemungkinan yang mendorong ribuan orang pemuda bergabung dengan Hizbut Tahrir di Asia Tengah, terutama di Uzbekistan)”.
Dia juga merekomendasikan agar Amerika berusaha sekuat tenaga untuk mendeskriditkan syariah dan memberikan dukungan kepada siapa saja yang mendeskriditkan syariah. Ia mengatakan: “The U.S. should provide support to local media to cover negative examples of the application of Shari'a law, such as amputations for minor offenses or alcohol possession in Chechnya, Afghanistan under the Taliban, Saudi Arabia, and other places. The consequences of jihad-type civil war, such as in Algeria, which left 100,000-200,000 dead, should also be covered. Positive coverage of the West should also be supported (Amerika harus memberikan bantuan kepada media lokal untuk memuat contoh-contoh negatif dari penerapan hukum syariah, seperti potong (tangan) hanya karena pencurian yang tak seberapa atau (hukum) tentang kepemilikan alkohol di Chechnya, kehidupan di bawah Taliba, Arab saudi atau tempat-tempat lain. Juga harus dimuat akibat dari jihad (suatu tipe perang masyarakat sipil) sebagaimana yang terjadi di Algeria, yang telah menewaskan 100.000-200.000 orang. Sementara aspek-aspek yang tampak positif dari Barat harus ditonjolkan)”.
Hal yang sama diungkapkan oleh David E. Kaplan dalam Heart, Minds and Dollars, (www.usnews.com), “AS telah mengeluarkan puluhan juta US dolar untuk mengubah masyarakat dunia Islam dan Islam itu sendiri agar tunduk pada sekulerisme/pluralisme/ liberalisme”.
Negara-negara Barat memang tidak akan pernah mengijinkan Umat Islam rindu dengan syariah dan Khilafah. Ini pula yang pernah dinyatakan oleh Lord Curzon seorang Menteri Luar Negeri Inggris, pasca runtuhnya Khilafah pada tahun 1924. Ia mengatakan pada the House of Commons "We must put an end to anything which brings about any Islamic unity between the sons of the Muslims. As we have already succeeded in finishing off the Caliphate, so we must ensure that there will never arise again unity for the Muslims, whether it be intellectual or cultural unity (Kita harus menghalangi dengan cara apapun segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada persatuan Islam diantara anak-anak Muslim. Sebagaimana kita telah berhasil meruntuhkan Khalifah, maka kita harus menjamin bahwa umat islam tidak akan bersatu lagi, baik itu secara intelektual atau kultural)".
Jadi, banyaknya orang yang begitu tergila-gila dengan demokrasi dan begitu benci dengan syariah dan Khilafah, itu bukan sesuatu yang kebetulan atau alamiah. Hal itu, bukan karena syariah dan Khilafah buruk, sementara demokrasi itu baik, tetapi semua itu terjadi karena rekayasa dari Barat agar Islam tidak kembali lagi menjadi kekuatan dunia. Semua itu dilakukan menggunakan tangan anak-anak Muslim sendiri yang mau dibayar dengan dollar recehan dan ditempeli gelar “intelektual muslim”.
Salah satu isu yang memang sengaja dihembuskan adalah bahwa syariah dan Khilafah kuno, smentara demokrasi modern. Lalu, dikampanyekan Khilafah tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman yang sudah sangat modern ini.
Jadi, menurut Anda, mana yang lebih kuno, demokrasi atau Khilafah? Apakah Khilafah relevan di zaman modern ini?
Wallahu a’lam.
0 Response to "RELEVANKAH KHILAFAH DI DUNIA MODERN SEPERTI SEKARANG INI?"
Post a Comment