Ketika “YANG TERJADI” Tidak Sesuai “YANG SEHARUSNYA”
Dalam kehidupan ini, dalam segala hal, kita berharap agar “yang terjadi” sesuai dengan “yang seharusnya”. Namun, realitanya, suka atau tidak, terkadang apa “yang terjadi” tidak sesuai dengan apa “yang seharusnya”. Seharusnya tidak ada kedzaliman, tetapi realitanya kedzaliman terjadi dimana-mana. Seharusnya rakyat tidak hidup miskin karea sumber daya alam yang melimpah, tetapi realitanya rakyat hidup dalam kemiskinan. Seharusnya kita swasembada pangan karena area pertanian kita sangat luas dan sangat subur, tetapi realitanya kita impor hampir dalam semua komoditas pertanian. Seharusnya, pemimpin mengurusi rakyatnya, tetapi realita pemimpin tak mau mengurusi rakyatnya. Ia hanya mengurusi diri sendiri dan kelompoknya, serta mengabaikan rakyatnya secara umum. Dan seterusnya.
*****
Apa yang mesti dilakukan saat “yang terjadi” tidak sesuai dengan “yang seharusnya”? Lagi-lagi banyak diantara kita, umat Islam, tidak melakukan apa “yang seharusnya”, bahkan bertentangan dengan “yang seharusnya”.
Saat kedzaliman dimana-dimana, seharusnya kita terlibat untuk mengubahnya sesuai kemampuan kita, tetapi realitanya kita justru ikut terlibat dalam kedzaliman itu. Sebab, dengan terlibat dalam kedzaliman itu, kita akan mendapatkan “rizki non-blok” yang memang banyak diburu oleh manusia. Bagi kita yang memiliki pendidikan tinggi, kedzaliman itu dicarikan dalih dan justifikasi, bahwa seakan kedzaliman itu bukanlah kedzaliman. Seakan-akan kedzaliman itu hanyalah penafsiran subyektif orang-orang yang sakit hati karena tidak dapat jatah. Dengan demikian tampak bahwa kedzaliman itu sesuatu yang wajar saja dan sah secara akademik.
Saat kemiskinan dimana-mana dan sumber daya alam dikuasai oleh asing, seharusnya kita terlibat untuk mengubahnya, tetapi realitanya kita justru berperan agar rakyat tetap dalam kemiskinan dan penguasaan sumber daya alam oleh asing. Tentu dengan mengambil sikap itu, kita akan mendapatkan recehan yang dapat kita gunakan untuk memuaskan hasrat dan nafsu kita. Bagi kita yang memiliki pendidikan tinggi, adanya berbagai kemiskinan dan penguasaan sumber daya oleh asing akan dicarikan dalih dan justifikasi bahwa hal itu memang benar secara akademik. Lalu dikatakan, ekonomi yang sehat adalah ekonom yang liberal yang mengikuti pasar bebas. Bahwa banyaknya investor asing yang masuk dan menguasai sumber daya alam kita, itu justru bagus, karena ekonomi akan berputar dan meningkatkan pendapatan perkapita. Dengan berbagai dalih, akhirnya penguasaan sumber-sumber daya alam itu tampak sebagai sesuatu yang lazim.
Saat import terjadi dengan sangat masif bahkan sampai mematikan para petani, seharusnya kita bertindak dan beteriak untuk menghentikannya. Tetapi realitanya, kita justru bertindak dan berteriak untuk membiarkannya. Justru kita menjadi orang yang paling semangat mencari dalih, bahwa berbagai import itu untuk kebaikan, yaitu ketahanan pangan kita. Dengan berbagai alat dan media, kita propagandakan kebijakan yang rusak dan merusak itu, seakan-akan sebagai suatu yang baik dan tepat demi kebaikan masyarakat.
Saat para pemimpin sibuk mengurus urusan pribadi dan kelompoknya serta mengabaikan rakyatnya, seharusnya kita menasehati dan meluruskannya sesuai dengan kemampuan kita. Tetapi realitanya kita justru menjadi kaki tangan mereka dan menjadi alat propaganda untuk membenarkan apa yang dilakukan para pemimpin. Justru kita menjadi pengkritik terhadap orang-orang yang menasehati dan mengkritik para pemimpin tersebut. Kita katakan bahwa orang yang mengkritik hanya bisa ngomong, sementara para pemimpin telah membuktikan dengan “kerja, kerja dn kerja”. Kita katakan bahwa orang yang mengkritik belum tentu bisa lebih baik dari pemimpin saat ini. Kita pura-pura lupa bahwa masalahnya adalah para pemimpin yang abai terhadap kewajibannya, bukan membandingkan kebaikan pemimpin sekarang dengan pengkritik.
Dan seterusnya, dan seterusnya.
*****
Kita umat Islam sering lupa atau pura-pura lupa dengan “yang seharusnya”. Saat zina terjadi dimana-mana, kita bukannya berusaha menghentikannya sesuai kemampuan kita, tetapi kita justru menjadi pembenar atas maksiyat besar tersebut. Kita katakan bahwa itu adalah hak asasi mereka. Lalu kita mencari bebagai dalih, bahwa para wanita melakukan itu adalah demi mencari sesuap nasi guna menyambung hidup diri dan keluarganya. Bahkan kalau perlu, kita dramatisasi yang akan membuat orang-orang menangis karena mendengar cerita pilu yang mengiris-iris jiwa dari perjuangan para wanita panjaja zina ini. Dengan demikian akan tampak, bahwa para penjaja zina adalah para pejuang yang mulia, sementara para penentang zina adalah mereka yang tak tak punya empati dan suka menang sendiri.
Saat pezina dalam suatu kasus tertangkap basah dan tidak bisa membuat dalih lagi, bagi kita umat Islam seharusnya dirajam atau dijilid, tetapi kita sekali lagi menjadi pahlawannya dengan memperjuangkan bahwa dia dibebaskan saja. Lagi-lagi kita menjadi seperti seorang “ahli hikmah”, yang memfatwakan bahwa zina itu hanya fisiknya saja, bisa jadi hatinya lebih mulia dibanding orang yang tak mau zina. Belum tentu kita lebih suci dari mereka. Kalaupun mereka zina, itu urusan pribadi mereka, yang dijamin oleh hak-hak asasi manusia yang telah disepakati oleh para tokoh-tokoh kita. Kalau perlu dibantu untuk dinikahkan saja, jika itu pasangan yang belum menikah. Kalau perlu diberi modal saja, jika itu para wanita penjaja zina. Dengan begitu, mereka tidak akan zina lagi. Padahal, upayanya ini merupakan penyubur tindakan zina di masyarakat.
Demikian pula sikap kita terhadap pencurian, riba dan berbagai jenis kemaksiyatan besar yang lain. Kita bukan beusaha menhentikannya, namun justru mencari berbagai dalih. Bahkan kalau perlu dari al-qur’an dan hadits, tentu kita tafsirkan sesuai nafsu kita. Namun, agar tampak akademis, kita cari-cari para penafsir bergelar dan representatif, tetapi yang menafsirkan dalil sesuai dengan shahwatnya.
Kemudian terhadap diabaikannya syariah, kita pun juga menjadi pembenar dengan mencari berbagai dalih. Saat ada yang memperjuangkan syariah, kita berupaya mengaburkan dengan berbagai pertanyaan nyinyir guna membuat bingung: syariah yang mana? Sekarang syariah sudah diterapkan, tak perlu diperjangkan lagi? bukankah sholat itu syariah? Bukankah sholat tidak dilarang? Bukankah bank syariah sudah diijinkan? Syariah yang mana lagi yang diperjuangkan?
Kita pun terus menerus menjadi garda terdepan perlawanan terhadap perjuangan syariah. Yang kita lakukan dan kita katakan, intinya adalah bagaimana menghambat perjuangan syariah, salah satunya dengan mengaburkan dan membuat bimbang tentang syariah. Kita katakan bahwa syariah itu dari Allah, sementara kalau interpretasi manusia itu namanya fikih. Jadi, mereka yang mengembar-gemborkan penegakan syariah, itu hakikatnya hanyalah mengembar-gemborkan fikih. Buktinya, ulama dan kelompok lain memiliki pemahaman yang beda. Itu bererati hanya interpretasi (tafsiran) mereka. Dan itu artinya yang disuarakan hanyalah fikih. Padahal fikih itu sangat beragam. Sehingga orang-orang yang menyuarakan fikih, berarti tak paham keragaman. Mereka itu hanyalah orang-orang atau sekelompok orang yang didorong oleh nafsunya untuk memaksakan pendapat fikihnya kepada orang lain, yang memiliki pemahaman fikih berbeda.
Luar biasa bukan?
Demikian pula, terkait dengan Khilafah. Kita pun berusaha mencari-cari dalih untuk menentangnya. Tentu, ada 1001 satu dalih dan alasan. Kita katakan bahwa Khilafah itu hanyalah imamah (kepemimpinan). Indonesia dan semua negara yang sekarang ada adalah imamah. Berarti bicara Khilafah sudah tak relevan lagi.
Pada saat yang lain, kita katakan bahwa tak ada dalil yang memerintahkan untuk menegakkan Khilafah. Ayat-ayat dan hadis-hadits yang bicara Khilafah itu hanya berita (ikhbar) bukan tuntutan (thalab) atau amar (perintah). Lalu kita mencari-cari berbagai kaidah ushul fiqih untuk menjustifikasi pendapat kita.
Pada saat yang lain lagi, kita katakan bahwa tidak ada bukti empiris dan historis tentang sejarah Khilafah. Khilafah itu hanya empat atau lima, yaitu pada masa khulafaur rasyidin. Setelahnya hanyalah mulkan (kerajaan). Jadi, setelah masa khulafaur rasyidin, khilafah tidak relevan lagi, termasuk hari ini. Kita pun berusaha mencari-cari justifikasinya.
Pada saat lain lagi, kita katakan bahwa hidup benegara itu urusan kesepakatan. Lalu para tokoh dan ulama kita membuat kesepakatan negara yang seperti ini, bukan Khilafah. Mustahil para tokoh-tokoh dan ulama kita tak paham Khilafah. Lebih faqih mana orang-orang yang berteriak-teriak tentang Khilafah pada zaman sekarang dibanding dengan para ulama pendiri bangsa dulu?
Tentu masih banyak lagi bebagai dalih yang kita sampaikan. Intinya, kita sampaikan tak perlu Khilafah dan cukup dengan apa yang ada saja. Apa “yang terjadi” saat ini sudah selaras dengan apa “yang seharusnya”.
*****
Syariah dan Khilafah adalah kewajiban, atau sesuatu “yang seharusnya”. Tetapi realitanya “yang terjadi” atau “yang ada” saat ini, bukanlah syariah dan Khilafah. Sebetulnya dalil tentang wajibnya syariah dan Khilafah itu teramat sangat banyak. Jika kita lihat di dalam al-qur’an, hadits, dan ijma shahabat, kita akan mendapat gambaran yang gamblang tentang wajibnya syariah dan Khilafah. Bahkan jika kita melihat kitab-kitab ulama mu’tabar, tidak ada satu pun ulama mu’tabar yang meagukan kewajiban Khilafah. Tetapi, memang tetap saja ada orang yang meragukannya. Jangankan tentang syariah dan Khilafah, dalil haramnya zina dan riba, meskipun itu dalil yang qath’i. Tetapi sekali lagi, pada zaman sekarang, itu pun dikaburkan dan diragukan.
Orang-orang yang hidup pasca hancurnya Khilafah, yaitu setelah tahun 1924 M, karena saat itu Khilafah tidak lagi menjadi sesuatu “yang terjadi” atau “yang ada”, bahkan “yang terjadi” adalah sesuatu yang bertentangan dengan Khilafah, yakni pemerintahan model negara-bangsa, maka orang-orang mulai bingung mengaitkan antara “yang seharusnya” dengan “yang terjadi”. Mulailah muncul berbagai penafsiran dan interpretasi seperti yang telah dikemukakan di atas.
Saat “yang terjadi” tidak sesuai dengan “yang seharusnya”, memang ada beberapa pilihan untuk menyelaraskannya.
Pertama, yang paling mudah untuk menyelaraskan adalah dengan menafsirkan ulang (reinterpretasi) apa “yang seharusnya”, sehingga seakan-akan apa “yang terjadi” sudah selaras dengan apa “yang seharusnya”.
Upaya ini hanya membutuhkan usaha minimalis, dan relatif tidak ada resiko. Misalnya, saat kita katakan bahwa Indonesia sudah Khilafah, atau kita katakan Khilafah tidak perlu lagi di zaman sekarang, atau kita katakan Khilafah tidak wajib, maka seakan-akan apa “yang terjadi” sudah sesuai atau selaras dengan apa “yang seharusnya” dalam Islam. Ini adalah upaya paling mudah, dan tentu saja paling disukai oleh orang-orang kafir barat. Kalau seandainya, tidak ada kesadaran bahwa kkta diawasi Allah dan Allah tidak bisa ditipu dengan berbagai interpretasi, saya pun lebih setuju dengan pendapat ini. Sebab dengan menganut pendapat ini, kita tidak perlu bersusah payah berjuang, apalagi perjuangan yang sangat beresiko. Kita cukup mengubah apa “yang seharusnya”, maka seakan-akan “yang terjadi” sudah selaras dengan “yang seharusnya”. Dengan demikian, waktu dan energi kita dapat difokuskan untuk mengejar hasrat duniawi.
Sekedar contoh, dalam Islam “seharusnya” riba adalah haram. Tetapi, “kenyataannya” riba menjadi tulang punggung ekonomi kapitalisme saat ini. Maka, dengan pendekatan pertama, yang dilakukan sangat mudah, yaitu tinggal menafsirkan ulang tentang riba. Dengan begitu, maka “apa yang terjadi” tidak masuk kategori riba, dan secara otomatis sudah selaras dengan “yang seharusnya”. Kita tetap menikmati riba, tetapi tidak terganggu dengan dalil yang mengharamkan riba, karena definisi riba “sudah kita perkosa” sesuai kemauan kita. Kita tetap merasa dan dianggap sebagai orang yang sangat sholih, bahkan kalau perlu sebagai PENIKMAT SPIRITUALITAS KELAS TINGGI, meski semua harta yang kita dimakan berasal dari riba.
Kedua, pendekatan ini sangat berat, yaitu mengubah apa “yang terjadi” agar sesuai dan selaras dengan apa “yang seharusnya”.
Pendekatan kedua ini sangat berat dan beresiko, sebab pasti di masyarakat sudah terlanjur banyak yang menikmati apa “yang terjadi”. Berjuang mengubah apa “yang terjadi” sama artinya berhadapan dengan para penikmatnya. Jika para penikmanya adalah para pemilik modal dan para pejabat, artinya perjuangan mengubah apa “yang terjadi” harus berhadapan dengan kekuatan modal dan kekuasaan. Padahal kekuatan modal dan kekuasaan ini dapat memaksa semua kekuatan lain, seperti kekuatan media, kekutan militer, kekuatan massa, kekuatan intelektual dan lain sebagainya.
Sementara para pejuang dengan pendekatan kedua tidak memiliki kekuatan fisik apa-apa. Sehingga tampak terjadi pertarungan yang tak imbang. Bagi para pemburu dunia, termasuk para intelektual dan orang-orang bergelar keagamaan, akan mencai selamat dengan cara bergabung dengan para penikmat yang tampak pasti menang secara fisik, karena memiliki bebagai kekuatan untuk menang, yaitu untuk mempertahankan apa “yang terjadi”.
Namun, banyak yang lupa, di balik kekuatan fisik yang terlihat, ada kekuatan dahsyat yang tak terlihat, yaitu kekuatan Allah, yang akan diberikan kepada siapapun yang menolong-Nya dengan cara memperjuangkan apa “yang seharusnya”. Kekuatan dahsyat yang tak terlihat inilah, yan akhirnya membuat apa “yang terjadi” akan selalu berubah. Tak ada yang abadi dari apa “yang terjadi”, meski ia didukung oleh semua kekuatan fisik yang ada.
Sejarah pada masa lalu, selalu membuktikan bahwa apa “yang terjadi” akan diubah oleh para pejuang yang memperjuangkan apa “yang seharusnya”, meski ia tak memiliki kekuatan apapun yang terlihat. Sejarah para Nabi terdahulu, Nabi Muhammad, dan generasi-generasi Islam membuktikan hal itu.
Apakah sejarah akah terulang, bahwa apa “yang terjadi” akan berubah menjadi apa “yang seharusnya”? Fakta historis menunjukkan: bahwa sejarah akan terulang, bahwa apa “yang terjadi” akan berubah, meski para pendukung apa “yang terjadi” mempertahankan dengan sekuat tenaga.
Wallahu ‘lam.
Oleh : Ust Choirul Anam (Dewan Penasehat Redaksi)
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Ketika “YANG TERJADI” Tidak Sesuai “YANG SEHARUSNYA”"
Post a Comment