Hutang Negara Menggunung Akibat Terapkan Neoliberalisme
Pemerintah indonesia memang gemar sekali berhutang. Hal ini terlihat hingga akhir November 2016, total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.485,36 triliun. Naik Rp 45,58 triliun dibandingkan akhir Oktober 2016, yaitu Rp 3.439,78 triliun. Mengutip data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Kamis (22/12/2016), total pembayaran cicilan utang pemerintah pada Januari hingga November 2016 adalah Rp 482,257 triliun, atau 100,4% daripagu, atau yang dialokasikan di APBN. Pembayaran pokok utang pada periode itu mencapai Rp 306,859 triliun, terdiri dari pokok pinjaman Rp 57,502 triliun atau 83,06% dari pagu APBN. Kemudian pembayaran pokok Surat Berharga Negara(SBN) Rp 249,356 triliun atau 110,26% dari pagu APBN.Sementara untuk pembayaran bunga utang, pada periode itu adalah Rp 175,399 triliun atau 94,84% dari pagu APBN.Pembayaran bunga pinjaman sepanjang periode itu adalah Rp 13,431 triliun (79,82% dari pagu APBN). Sementara untuk SBN, bunga yang dibayar tercatat Rp161,968 triliun (96,34% dari pagu APBN). (detik.com, 22/12/2016)
Hutang Menggunung di Tengah Kekayaan Melimpah
Di tengah melimpah ruahnya sumber daya alam yang dimiliki Indonesia memang terasa sangat aneh Indonesia memiliki jumlah hutang yang fantastis. Pasalnya jika seluruh kekayaan alam dicairkan dalam bentuk uang, Indonesia diperkirakan memiliki aset hingga mencapai ratusan ribu triliun rupiah. "Itu perkiraan nilai cadangan terbukti dari minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, perak dan seterusnya dengan asumsi tidak ditemukan cadangan baru lagi. Ini yang ketemu saja di perut bumi, nilainya saat ini sekitar Rp 200 ribu triliun," ungkap pengamat energi Kurtubi saat ditemui di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (28/1/2014). (liputan6.com, 28/1/2014).
Mengapa kekayaan melimpah itu tidak bisa dinikmati rakyat?. Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Pratikno mengatakan hingga saat ini aset negara sekitar 70--80 persen telah dikuasi bangsa asing. "Kondisi bangsa kita saat ini sudah mengkhawatirkan sehingga tanpa dukungan dan kebijakan oleh semua elemen bangsa maka lambat laun seluruh aset akan jatuh ke tangan orang asing," katanya saat membawakan arahan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Keluarga Alumni UGM (KAGAMA) menyambut pra Munas XII 2014 di Kendari. Ia mencontohkan, aset di bidang perbankan misalnya, bangsa asing telah menguasai lebih dari 50 persen.Begitu pula di sektor lain seperti migas dan batu bara antara 70-75 persen, telekomunikasi antara 70 persen dan lebih parah lagi adalah pertambambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasi mencapai 80-85 persen. (antaranews.com, 10/11/2013). Dengan penjelasan ini maka pantas bila rakyat indonesia tak bisa menikmati kekayaannya sendiri.
Pemerintahan Neoliberal
Ciri-ciri pemerintahan yang menerapkan ekonomi neoliberalisme paling tidak ada beberapa hal. Pertama, negara hanya menjadi regulator dalam aktivitas ekonomi. Kedua, adanya privatisasi BUMN dan penghilangan hak istimewa BUMN. Ketiga, pencabutan subsidi. Keempat, menjadikan pajak sebagai tulang punggung pemasukan negara. Kelima, hutang.
Jika peran negara dinonaktifkan dari kegiatan ekonomi dan justru hanya sekedar menjadi regulator maka sumber daya alam yang ada akan dijadikan persaingan perebutan swasta domestik maupun asing, akhirnya pendapatan negara yang harusnya melimpah jadi amat sedikit karena hanya mendapat bagi hasil dari swasta, dan terbukti prosentase bagi hasil dari hasil yang didapat sangat kecil. Dan perlu menjadi catatan penting bahwa setiap persaingan pengelolaan SDA selalu dimenangkan oleh asing.
Ini artinya pemasukan dana dari SDA tidak bisa diharapkan sedangkan negara sangat membutuhkan dana besar, akhirnya langkah berikutnya BUMN dijual. Harapannya hasil dari privatisasi BUMN akan mampu menyokong dana besar bagi negara, nyatanya justru hal itu semakin memangkas pemasukan negara. Dengan dijualnya BUMN menjadikan negara kehilangan alat produksinya sehingga pemasukan pun semakin sedikit.
Langkah berikutnya pasti memandang adanya subsidi adalah masalah bagi pendapatan negara. Dengan dalih tidak terserap sebagaimana mestinya akhirnya subsidi dicabut yang sebenarnya adalah untuk menutup keuangan negara yang sangat kurang.
Jika pencabutan subsidi masih belum mampu menambah pendapatan negara secara signifikan maka berikutnya negara memungut pajak dari rakyat. Lalu apa yang dilakukan negara bila pendapatan dari pajak masih belum mencukupi? Maka akan menambah nominal pajak atau mencari celah di sektor-sektor lain yang dianggap belum tersentuh pajak. Bahkan kita lihat baru-baru ini adanya kebijakan tax amnesty sebenarnya tidaklah lepas dari pandangan ini.
Jika hal itu belum juga mencukupi kas negara, langkah terakhir adalah hutang. Tentu saja hutang yang bisa didapat dengan jumlah besar melalui lembaga keuangan internasional semacam IMF, ADB, dsb atau kepada negara-negara maju. Dan apakah peminjaman dana ini sekedar untuk menolong indonesia? Tentu prinsip mereka "No Free Lunch" tidak ada makan siang gratis.
Mengetahui indonesia tidak mungkin mampu melunasi hutang-hutangnya yang kian waktu kian menumpuk, di sinilah proses "bayar hutang" diimplementasikan melalui intervensi UU yang tentu harus berpihak pada pemberi hutang yang notabene dari asing. Bisa kita perhatikan banyak sekali UU yang pro asing yang berarti juga pro neoliberal. sejumlah UU yang pro-neoliberal : UU nomor 22 tahun 2011 tentang migas, UU nomor 4 tahun 2009 tentang minerba, UU nomor 25 tahun 2007 tentangPMA, dan UU nomor 7 tahun 2004 tentang SDA, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.19/2004 tentang Kehutanan, yang menyebabkan modal asing mengusai kekayaan alam nasional di sektor migas (85-90%), kekayaan batubara(75%), mineral (89%), perkebunan (50%), dan lain-lain.
Syariah Islam adalah Solusi Mendasar
Sebenarnya pokok persoalannya adalah kesalahan kebijakan dalam pengelolaan kekayaan yang ada. Syariah islam sangat jelas memberi aturan bahwa SDA merupakan kepemilikan umum yang dimana negara wajib mengelolanya dan dikembalikan kepada rakyat. Negara tidak boleh mengambil keuntungan sedikitpun dari pengelolaan tersebut, meski boleh negara mengambil ongkos pengelolaan saja yang sebenarnya sangatlah murah. Mengambil keuntungan dari pengelolaan SDA atas rakyat hukumnya haram, apalagi menyerahkan pengelolaannya kepada swasta yang pasti tujuannya untuk profit. Dan lebih buruknya lagi apabila diberikan kepada swasta asing, ini akan menjadi malapetaka besar bagi rakyat. Adapun pos pemasukan untuk negara telah ditetapkan dengan banyak hukum di antaranya: jizyah, khumus rikâz, kharâj, fa'i dan anfâl. Dengan ini negara tidak perlu lagi berhutang kepada pihak manapun terutama asing.
Tentu saja pengaturan pengelolaan SDA ini tidak bisa diterapkan tersendiri tanpa dikaitkan dengan aturan islam lain secara komprehensif. Karena islam dengan berbagai macam sistem yang dipancarkannya merupakan satu kesatuan. Ini berarti butuh institusi yang mampu menerapkannya secara total, itulah Daulah Khilafah Islamiyah.
Oleh : A. R. Zakarya
(Ketua Departemen Politik DPD HTI Jombang)
Plis Like Fanpage Kami ya
0 Response to "Hutang Negara Menggunung Akibat Terapkan Neoliberalisme"
Post a Comment