-->

Ketika Ulama Harus Menegur Penguasa



Memberi nasihat kepada pemimpin merupakan salah satu kewajiban rakyat. Rakyat harus senantiasa melaksanakan kewajiban ini, baik ketika pemimpin memintanya ataupun tidak. Terlebih ketika kebijakan pemimpin menyimpang dari rambu-rambu syariat.

Nasihat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seorang muslim. Di mana pun dan kapan pun, seorang muslim selalu dianjurkan untuk saling menasihati satu sama lain. Bahkan Nabi SAW sendiri menyebutkan bahwa agama itu sendiri adalah nasihat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya, dari Tamim Ad-Dari r.a, bahwa Nabi SAW bersabda;

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu nasihat, Agama itu nasihat, Agama itu nasihat. Mereka bertanya, ‘Untuk siapakah, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara keseluruhan’.” (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi menjelaskan, “Makna nasihat untuk pemimpin kaum muslimin yaitu membantu dan mematuhi mereka dalam kebenaran, memerintahkan mereka melakukan kebaikan, mengingatkan mereka dengan lemah lembut, memberitahukan apa saja yang mereka lalaikan dan hak-hak kaum muslimin yang belum ia dengar, tidak memberontak terhadap mereka, dan menyatukan hati rakyat untuk mematuhi mereka.” (Syarh An-Nawawy ‘ala Shahih Muslim, I/38, 39)

Nasihat Kepada Pemimpin Zalim

Menurut Syekh Abu Amr bin Shalah, Nasihat adalah kata menyeluruh mencakup makna orang yang memberi nasihat melakukan segala bentuk kebaikan untuk orang yang dinasihati, baik dalam bentuk keinginan maupun aksi nyata.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal; 76)

Upaya menasihati pemimpin merupakan cara meluruskan kebijakan penguasa agar tidak keluar dari petunjuk syar’i. Idealnya, menasehati pemimpin akan lebih bagus ketika bisa dilakukan secara face to face atau empat mata. Sebagaimana dalam  sebuah hadis:

“Barangsiapa hendak menasihati pemilik kekuasaan, janganlah ia menyampaikannya secara terang-terangan. Hendaklah ia meraih tangan (si sultan) dan (berbicara) berdua dengannya. Jika (sultan) mau menerimanya, ia pasti menerimanya. Jika (sultan) tidak (menerima), (orang yang memberikan nasihat) sudah menunaikan kewajibannya yang menjadi hak (sultan)’.” (HR. Ahmad)

Menasihati secara diam-diam memang sebuah pilihan, tapi bukan berarti itu satu-satunya cara dalam upaya merubah kebijakan penguasa yang dianggap keliru. Ketika nasihat dengan cara empat mata sudah tidak efektif, bahkan pemimpin justru menampakkan kezalimannya tak bergeming dengan nasihat, maka menasehati secara terbuka menjadi sebuah pilihan. Bahkan ia menjadi sebuah keharusan ketika kezaliman penguasa semakin merajalela.

Dalam sebuah riwayat dari Imam Ahmad dengan sanad yang bersambung hingga Abdullah bin Amr, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,“Jika engkau melihat umatku takut, sehingga tidak berani mengatakan kepada orang zalim, ‘wahai orang zalim,’ maka mereka tidak berarti lagi (keberadaannya).” (HR. Ahmad)

Sementara dalam riwayat lainnya, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mendorong agar setiap mukmin menyampaikan nasihat kepada pemimpin zalim meski mengkhawatirkan keselamatan diri mereka. Nabi SAW menganggapnya sebagai jihad terbaik.

Diriwayatkan dari Umamah r.a bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah! Jihad apa yang paling utama?’ Saat itu Rasulullah SAW tengah melempar jumrah ula, beliau berpaling darinya. Saat beliau melempar jumrah wustha, orang tersebut bertanya lagi, beliau kembali berpaling. Setelah beliau melempar jumrah aqabah dan meletakkan kaki beliau di atas batang kayu, beliau bertanya, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ ‘Saya, wahai Rasulullah,’ jawab orang tersebut. Beliau kemudian bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

 “Jihad paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan sultan yang zalim’.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Al-Khathabi berkata, “Mengatakan kebenaran di hadapan sultan zalim dinilai sebagai jihad paling utama karena orang yang berjihad memerangi musuh punya harapan menang dari musuh dan tidak lemah menghadapinya karena ia tidak yakin akan dikalahkan. Sementara orang yang mengatakan kebenaran di hadapan sultan zalim tahu bahwa kekuasaan sultan lebih besar dari kekuasaannya, sehingga pahala diberikan sesuai beban berat yang ditanggung.” (Al-Uzlah, hal; 92)

Ulama Salaf dalam Menasihati Pemimpin

Ulama salaf biasa menyampaikan kebenaran dan nasihat kepada imam-imam zalim secara langsung di hadapan mereka, meski mereka yakin akan disiksa karenanya. Mereka tidak takut celaan siapa pun juga selagi karena Allah, karena mereka tahu bahwa siapa yang terbunuh karena hal itu, ia mati syahid.

Mati syahid merupakan cita-cita paling mahal bagi seorang mukmin yang memercayai janji Allah. Tidak heran jika mereka berani bertaruh nyawa dan menanggung berbagai macam siksa. Mereka menghadapi semuanya dengan sabar karena Allah, seraya mengharap pahala di sisi Allah atas nyawa yang mereka korbankan.

Abu Sulaiman Al-Khathabi meriwayatkan dengan sanadnya hingga Abdullah bin Bakar As-Sahmi, ia berkata, “Aku mendengar sebagian sahabat-sahabat kami berkata, Umar bin Hubairah—saat menjabat sebagai gubernur Irak—mengirim surat untuk memanggil sejumlah fuqaha Bashrah dan Kufah. Di antara fuqaha Bashrah yang hadir; Hasan Al Bashri, sementara dari fuqaha Kufah yang hadir adalah Asy-Sya’bi.

Para fuqaha masuk lalu Umar bin Hubairah berkata, ‘Amirul Mukminin Yazid mengirim surat kepadaku memerintahkan sejumlah hal yang harus aku lakukan, lantas bagaimana menurut kalian berdua?’

Asy-Sya’bi berkata, ‘Semoga Allah memperbaiki kondisimu, wahai Amir. Engkau mendapat perintah dan kau harus memenuhi orang yang memerintahmu.’ Umar bin Hubairah menghadap ke arah Hasan Al Bashri lalu berkata, ‘Bagaimana menurutmu?’ Hasan berkata, ‘Dia—Asy-Sya’bi—sudah memberikan jawaban.’ Umar berkata, ‘Menurutmu bagaimana?’

Hasan Al Bashri berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah, wahai Umar. Seakan malaikat datang menghampirimu lalu menggulingkanmu dari tahtamu itu, mengeluarkanmu dari luasnya istana menuju sempitnya kuburan. Allah menyelematkanmu dari Yazid, dan Yazid tidak bisa menyelamatkanmu dari siksa Allah. Jangan sampai kau memperlihatkan kemaksiatan kepada Allah, karena makhluk tidak berhak ditaati dalam mendurhakai Sang Khaliq.’

Setelah itu Hasan Al Bashri pergi dan diikuti ajudan Umar. Ajudan itu berkata, ‘Wahai syaikh! Kenapa kau menyampaikan hal itu kepada amir?’ Hasan menjawab, ‘Karena Allah mengambil perjanjian dari ulama terkait ilmu yang mereka miliki.’ Setelah itu Hasan membaca:

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), ‘Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,’ lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka.” (Âli-‘Imrân: 187)

Kisah di atas hanya salah satu teladan para ulama yang mengungkapkan ketegasan mereka dalam menyampaikan nasihat kepada para pemimpin. Mereka tidak terlalu mempedulikan kekuasaan para sultan. Mereka berserah diri sepenuhnya kepada Allah, menjalankan kewajiban yang dibebankan Allah kepada mereka, dan meniti jalan menuju mati syahid.

Menasihati pemimpin, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, tidak tepat kalau hanya dipandang mana yang salah dan mana yang benar. Karena ia hanyalah sebagai uslub (metode) dalam meluruskan kebijakan pemimpin. Ketika menasihati pemimpin dengan cara keteladanan, doa dan lisan tersembunyi tidak lagi efektif maka menasihati secara terang-terangan menjadi sebuah kebutuhan. Terlebih ketika kezaliman pemimpin semakin merajalela di tengah-tengah umat. Wallahu a’lam bis shawab!

Penulis : Fakhruddin

Editor : Arju

0 Response to "Ketika Ulama Harus Menegur Penguasa"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Plis Like Fanpage Kami ya
close