Hanya Untuk Melindungi Seorang Penista, Negara Mempertaruhkan Martabatnya dan Kini Saling Sandra
Dakwah Media - Suhu politik kian memanas dan gaduh, berbagai persoalan janggal muncul membingungkan. Sudah cukup drama kekacauan pengelolaan Negeri ini dipertontonkan dan membuat resah masyarakat. Ambisi untuk melanggengkan kekuasaan hari ini telah kelewat batas menampakkan arogansinya. Tak ada sekat lagi antara kewajaran, norma, hukum dan tindakan yang biadab. Akankah segala cara harus dihalalkan demi status quo aparat dan para pejabat hingga bangsa ini nyaris kehilangan martabat.
Ada sederet problematika kebangsaan yang telah banyak menyita perhatian dan menguras energi. Sungguh malang nasib bangsa dibawah kepemimpinan jokowi hari ini semua dibuatnya tersandera oleh hanya kasus "satu orang bernama Ahok”.
Martabat hukum hancur dibawah kepemimpinan hari ini karena menjadikan POLRI sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan, alat untuk menyandra dan memperkarakan suara kaum kritis sehingga hukum menjadi bahan dagangan untuk Sandra-menyandra, membunuh logika dan idealisme keadilan karena materi dan konsumerisasi.
Wahai Presiden Jokowi jangan kau jadikan istana sebagai tempat bersarang dan bersumbernya segala problematika kebangsaan hari ini. Sadar atau tidak darisanalah bermuaranya problematika kebangsaan hari ini. Karena kepemimpinan lemah. Kepemimpinan yang lemah hanya akan menegakkan hukum kepada lawan politik. Selayaknya sebagai seorang kepala Negara dan Pemerintahan Presiden Jokowi mengambil langkah-langkah strategis demi menyelesaikan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Presiden seharusnya menjadi nahkoda kapal yang menentukan arah negara, bukan malah sibuk membela dan melindungi Ahok dengan kedok kebhinekaan.
Bukan tidak mungkin nasib bangsa ini akan semakin berada diujung tanduk dan diambang kehancuran apabila pemimpinannya lemah tak berdaya dalam menyikapi sederet problematika kebangsaan hari ini. Lambat-laun hilang peradabannya dan jatuh martabatnya. Ingat, kepemipinan yang lemah akan mempengaruhi tegaknya hukum. Ketika hukum sulit ditegakkan, persatuan dan kesatuan akan runtuh. Rakyat akan bergerak dengan pola dan caranya masing-masing untuk menegakkan keadilan itu, sehingga intervensi asing akan sangat mudah mempengaruhi bangsa.
Wahai media mainstream kabarkanlah kebenaran itu, berhentilah membuat opini yang hanya berupa epigon basi atas segala hoak yang ditimbulkan oleh rezim tirani dan oligaskis hari ini. Kalau saja sejak aduan dari masyarakat tentang kasus penistaan agama ini segera diproses oleh aparat ketika itu, atau sejak aksi bela islam pertama tanggal 14 Oktober 2016 barangkali masalah tidak akan meluas sejauh ini. Namun kepolisian saat itu berkilah menggunakan alasan bahwa proses hukum atas Ahok baru dilaksanakan jika pilkada sudah selesai. Aneh. Padahal Jika pejabat saja, katakanlah gubernur saja yang sedang menjabat bisa diproses hukum, apalagi yang hanya calon gubernur. Ahok tidak juga ditetapkan menjadi tersangka kala itu sehingga berlanjut perjuangan umat menuntut keadilan Aksi Bela Islam jilid 2 tanggal 4 November yang sudah begitu banyak menyerap energi bangsa, ketika jutaan rakyat telah turun kejalan barulah Ahok ditetapkan sebagai tersangka, namun kasusnya masih dibiarkan bertele-tele dan belum juga ditahan hingga saat ini sehingga meluas lebih besar lagi menjadi Aksi Bela Islam jilid 3, dan seterusnya hingga meluas seantero Negeri.
Diamana keadilan dan martabat penegakan hukum hari ini? Begitu istimewahnya perlakuan terhadap Ahok padahal banyak kasus dugaan korupsi yang menyeret Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Namun sekali pun demikian, kasus-kasus tersebut tidak berlanjut ke persidangan. Misalnya kasus Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW), kasus tanah Pemda DKI di Cengkareng yang dibeli kembali Pemda DKI sendiri, hingga terkait pembatalan 11 proyek senilai Rp 4,1 triliun terindikasi korupsi. Hingga hari ini tidak juga diusut secara tuntas dan soal penistaan agama juga prosesnya terus diulur dan selalu dicari alasan pembenaran. Betepa istimewahnya perlakuan hukum terhadap Ahok. Hal yang mengherankan misalnya, Joko Widodo malah mengundang makan ke istana orang yang membakar masjid di kasus Tolikara. Namun sebaliknya, masjid juga yang disalahkan karena pengeras suara untuk panggilan shalat. Bendera dengan logo palu arit bertebaran, bendera merah putih bertuliskan Metallica, bendera OPM berkibar ditanah Papua tidak ada tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dibawah rezim hari ini namun disaaat yang sama ketika bendera merah putih bertuliskan kalimat Tauhid kepolisian langsung bergerak tanggap menangkap.
Jika ada ormas keagamaan yang berani menggugat kekuasaan hari ini, maka dengan kekuatan modal yang mereka miliki, mengendalikan berbagai media massa sehingga dengan mudah membuat opini bahwa ormas tersebut dicap gerakan radikal. Distigmatitasi keberadaannya lewat stempel “tokoh atau organisasi keagamaan yang loyal pada Istana”, dan sebagainya. Dengan seperangkat alat kekuasaan yang dimiliki yakni pejabat yang menguasai lembaga-lembaga negara—sipil maupun militer, Aktivis gerakan yang kerap mengkritik kebijakannya maka dengan mudah kekuasaan oligarki ini menuding akivis yang berani itu sebagai kelompok subversif, dituding mengganggu stabilitas nasional, dikriminalisasi dan dijerat dengal tuduhan makar. Belum lagi fitnah amoral yang kejih terhadap ulama. Tidak lain hal ini dilakukan untuk membungkam rakyat yang berani menggugat status-quonya atau mengancam eksistensi kekuasaaannya. Dalam kesewenang-wenangan kekuasaan yang seperti itu akan menimbulkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban bernegara antara pemerintahan dan rakyat sehingga keharmonisan akan sulit untuk diwujudkan.
Ketidakadilan itu juga akan terus subur karena keserakahan segelintir elit yang berlindung dibalik kekuasaan dan tangan besi para aparat dengan tamak menguras seluruh aset bangsa dibawaah rezim oligarki hari ini. Pemukiman rakyat digusur dengan tidak manusiawi tanpa ganti rugi yang memadai. Mereka lupa bahwa semua keudukan dan semua fasilitas yang mereka nikmati itu terbentuk dari darah, keringat, dan air mata berjuta-juta orang paling miskin dan paling tertindas di muka bumi, adalah hal yang mereka abaikan begitu saja. Perusahaan-perusahan milik asing beroperasi maksimal meraup keuntungan maksimum dengan bayaran yang minimum, diasaat yang sama PHK menjamur dimanaa-mana. Buruh pribumi hanya dapat memainkan peran pesuruh lokal bagi imperialism gaya baru.
Dimana rasa keadilan itu ketika ketimpangan menjamur dan kontradiksi-kontradiksi tak terpecahkan selama rezim ini berkuasa. Kini hendaknya tiba saat dimana perhitungan dilakukan. Mundur dengan terhormat karena tidak dapat menyelesaikan sederet problematika kebangsaan atau Rakyat akan menentukan jalan revolusinya sendiri.
Oleh : Beni Pramula (Ketum DPP IMM 2014/2016)
Ada sederet problematika kebangsaan yang telah banyak menyita perhatian dan menguras energi. Sungguh malang nasib bangsa dibawah kepemimpinan jokowi hari ini semua dibuatnya tersandera oleh hanya kasus "satu orang bernama Ahok”.
Martabat hukum hancur dibawah kepemimpinan hari ini karena menjadikan POLRI sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan, alat untuk menyandra dan memperkarakan suara kaum kritis sehingga hukum menjadi bahan dagangan untuk Sandra-menyandra, membunuh logika dan idealisme keadilan karena materi dan konsumerisasi.
Wahai Presiden Jokowi jangan kau jadikan istana sebagai tempat bersarang dan bersumbernya segala problematika kebangsaan hari ini. Sadar atau tidak darisanalah bermuaranya problematika kebangsaan hari ini. Karena kepemimpinan lemah. Kepemimpinan yang lemah hanya akan menegakkan hukum kepada lawan politik. Selayaknya sebagai seorang kepala Negara dan Pemerintahan Presiden Jokowi mengambil langkah-langkah strategis demi menyelesaikan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Presiden seharusnya menjadi nahkoda kapal yang menentukan arah negara, bukan malah sibuk membela dan melindungi Ahok dengan kedok kebhinekaan.
Bukan tidak mungkin nasib bangsa ini akan semakin berada diujung tanduk dan diambang kehancuran apabila pemimpinannya lemah tak berdaya dalam menyikapi sederet problematika kebangsaan hari ini. Lambat-laun hilang peradabannya dan jatuh martabatnya. Ingat, kepemipinan yang lemah akan mempengaruhi tegaknya hukum. Ketika hukum sulit ditegakkan, persatuan dan kesatuan akan runtuh. Rakyat akan bergerak dengan pola dan caranya masing-masing untuk menegakkan keadilan itu, sehingga intervensi asing akan sangat mudah mempengaruhi bangsa.
Wahai media mainstream kabarkanlah kebenaran itu, berhentilah membuat opini yang hanya berupa epigon basi atas segala hoak yang ditimbulkan oleh rezim tirani dan oligaskis hari ini. Kalau saja sejak aduan dari masyarakat tentang kasus penistaan agama ini segera diproses oleh aparat ketika itu, atau sejak aksi bela islam pertama tanggal 14 Oktober 2016 barangkali masalah tidak akan meluas sejauh ini. Namun kepolisian saat itu berkilah menggunakan alasan bahwa proses hukum atas Ahok baru dilaksanakan jika pilkada sudah selesai. Aneh. Padahal Jika pejabat saja, katakanlah gubernur saja yang sedang menjabat bisa diproses hukum, apalagi yang hanya calon gubernur. Ahok tidak juga ditetapkan menjadi tersangka kala itu sehingga berlanjut perjuangan umat menuntut keadilan Aksi Bela Islam jilid 2 tanggal 4 November yang sudah begitu banyak menyerap energi bangsa, ketika jutaan rakyat telah turun kejalan barulah Ahok ditetapkan sebagai tersangka, namun kasusnya masih dibiarkan bertele-tele dan belum juga ditahan hingga saat ini sehingga meluas lebih besar lagi menjadi Aksi Bela Islam jilid 3, dan seterusnya hingga meluas seantero Negeri.
Diamana keadilan dan martabat penegakan hukum hari ini? Begitu istimewahnya perlakuan terhadap Ahok padahal banyak kasus dugaan korupsi yang menyeret Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Namun sekali pun demikian, kasus-kasus tersebut tidak berlanjut ke persidangan. Misalnya kasus Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW), kasus tanah Pemda DKI di Cengkareng yang dibeli kembali Pemda DKI sendiri, hingga terkait pembatalan 11 proyek senilai Rp 4,1 triliun terindikasi korupsi. Hingga hari ini tidak juga diusut secara tuntas dan soal penistaan agama juga prosesnya terus diulur dan selalu dicari alasan pembenaran. Betepa istimewahnya perlakuan hukum terhadap Ahok. Hal yang mengherankan misalnya, Joko Widodo malah mengundang makan ke istana orang yang membakar masjid di kasus Tolikara. Namun sebaliknya, masjid juga yang disalahkan karena pengeras suara untuk panggilan shalat. Bendera dengan logo palu arit bertebaran, bendera merah putih bertuliskan Metallica, bendera OPM berkibar ditanah Papua tidak ada tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dibawah rezim hari ini namun disaaat yang sama ketika bendera merah putih bertuliskan kalimat Tauhid kepolisian langsung bergerak tanggap menangkap.
Jika ada ormas keagamaan yang berani menggugat kekuasaan hari ini, maka dengan kekuatan modal yang mereka miliki, mengendalikan berbagai media massa sehingga dengan mudah membuat opini bahwa ormas tersebut dicap gerakan radikal. Distigmatitasi keberadaannya lewat stempel “tokoh atau organisasi keagamaan yang loyal pada Istana”, dan sebagainya. Dengan seperangkat alat kekuasaan yang dimiliki yakni pejabat yang menguasai lembaga-lembaga negara—sipil maupun militer, Aktivis gerakan yang kerap mengkritik kebijakannya maka dengan mudah kekuasaan oligarki ini menuding akivis yang berani itu sebagai kelompok subversif, dituding mengganggu stabilitas nasional, dikriminalisasi dan dijerat dengal tuduhan makar. Belum lagi fitnah amoral yang kejih terhadap ulama. Tidak lain hal ini dilakukan untuk membungkam rakyat yang berani menggugat status-quonya atau mengancam eksistensi kekuasaaannya. Dalam kesewenang-wenangan kekuasaan yang seperti itu akan menimbulkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban bernegara antara pemerintahan dan rakyat sehingga keharmonisan akan sulit untuk diwujudkan.
Ketidakadilan itu juga akan terus subur karena keserakahan segelintir elit yang berlindung dibalik kekuasaan dan tangan besi para aparat dengan tamak menguras seluruh aset bangsa dibawaah rezim oligarki hari ini. Pemukiman rakyat digusur dengan tidak manusiawi tanpa ganti rugi yang memadai. Mereka lupa bahwa semua keudukan dan semua fasilitas yang mereka nikmati itu terbentuk dari darah, keringat, dan air mata berjuta-juta orang paling miskin dan paling tertindas di muka bumi, adalah hal yang mereka abaikan begitu saja. Perusahaan-perusahan milik asing beroperasi maksimal meraup keuntungan maksimum dengan bayaran yang minimum, diasaat yang sama PHK menjamur dimanaa-mana. Buruh pribumi hanya dapat memainkan peran pesuruh lokal bagi imperialism gaya baru.
Dimana rasa keadilan itu ketika ketimpangan menjamur dan kontradiksi-kontradiksi tak terpecahkan selama rezim ini berkuasa. Kini hendaknya tiba saat dimana perhitungan dilakukan. Mundur dengan terhormat karena tidak dapat menyelesaikan sederet problematika kebangsaan atau Rakyat akan menentukan jalan revolusinya sendiri.
Oleh : Beni Pramula (Ketum DPP IMM 2014/2016)
0 Response to "Hanya Untuk Melindungi Seorang Penista, Negara Mempertaruhkan Martabatnya dan Kini Saling Sandra"
Post a Comment