Jadi Apa yang Salah?
Dakwah Media - Pelaksanaaan pilkada pun dilaksanakan dengan salah calon menjadi terdakwa. Sungguh ironi negeri yang patuh dan taat hukum mempunyai calon pemimpin terdakwa. Jika kita dilihat bagaimana aparat keamanaan dalam sepak terjangnya memberantas terorisme, orang yang diduga belum menjadi terdakwa sudah ditangkap, disergap. Buni yani ditangkap dan ditahan dengan tuduhan dugaan kasus penyebaran informasi yang menimbulkan permusuhan terhadap perseorangan atau kelompok berdasarkan SARA. Menurut Charles Situmorang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang dimaksud penahanan sebagaimana ada di pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut hukum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Charles mengemukakan ada dua jenis jaminan yang disebutkan dalam pasal tersebut yakni jaminan uang da orang.(justika.com 23/02/2017).
Peristiwa penistaan agama dalam surat al maidah 51 menjadikan umat islam di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini menjadi bahu membahu dan bersatu untuk dapat menjadikan orang yang menjadi penista agama dapat dijerat hukum yang berlaku. Berbagai aksi untuk mendorong para penguasa dinegeri ini agar menangkap dan menjatuhi pelaku tidak kunjung menuai hasil. Justru malah arus itu berbalik ke umat islam yang ingin mencari keadilan karena dengan berbagai dalih dan isuh seperti akan melakukan makar, tuntutan penuh dengan nuansa politik karena mendekati pilkada. Ulama menjadi kriminal. Tetapi hal itu tidak menyurutkan umat islam ini untuk bersatu dalam mengawal hukum yang berjalan dalam mengadili pelaku penista agama.
Sampai pelaksanaan pilkada berlangsung beberapa saat yang lalu dibulan februari menjadikan euforia pemilu tersebut sampai-sampai dijadikan libur nasional, harapannya memang pilkada tersebut sukses sehingga semua masyarakat yang ada bisa mengggunakan hak pilihnya.
Watak sistem politik demokrasi; tidak pernah kosong dari kolusi penguasa dan kapitalis. Itu juga bukti bahwa Pilkada tidak akan membawa perubahan dan tidak akan mendatangkan para penguasa yang melayani kepentingan rakyat. Fakta dari tahun ke tahun negeri ini berganti-ganti pemimpin tapi tidak mampu untuk menjadikan negeri ini untuk bangkit dari keterpurukan dan sejahtera. Jadi apa yang salah?
Solusi yang sebenarnya saat ini adalah berjuang tidak hanya menjelang pemilu, tetapi seharusnya bertahun-tahun tanpa henti tidak mengenal lelah, pantang menyerah dalam menyebarkan pemikiran (aqidan dan tsaqafah) islam ditengah tengah masyarakat, menanamkan kebiasaan amal syarmenanamkan kebiasaan amal syari’ah dan ahlaqul kharimah dan menumbuhkan kebersamaan ukhuwah dan jamaah, sehingga perasaan ummat ini menjadi rindu akan islam. Yang nantinya pada saatnya, dengan pertolongan Allah tanpa kudeta, tanpa pemilu, system akan diubah oleh pemegang kekuasaan yang telah berubah pola pikirnya. Dan rakyat yang akan membelanya, yang dimana juga telah berubah pola pikirnya. Itulah dakwah yang dilakukan Rasulullah. Ingat Afikra Selatan meninggalkan system Apartheid, itu tanpa pemilu. Uni Soviet meninggalkan system komunisme, itu tanpa pemilu dan Soeharto tahun 1998 mundur juga bukan karena pemilu. Justru sebaliknya aljazair, mesir ternyata juga gagal berubah, meski pemilu dimenangkan.
Tidak ada sama sekali jaminan perubahan, ketika Pilkada langsung dijalankan, walaupun ongkos politiknya terbilang sangat tinggi sekalipun. Kelak akhirnya masyarakat mengetahui bahwa ternyata demokrasi tidak menghasilkan kesejahteraan rakyat, demokrasi tidak berbanding lurus dengan kemakmuran. Berbicara pilkada seharusnya tidak berbicara siapa mendukung siapa, akan tetapi seharusnya dijadikan momentum untuk melakukan pendidikan politik kepada ummat, bukan sebaliknya malah ditipu. Untuk itulah, umat Islam membutuhkan pemimpin yang pro kepada penegakkan syari’at Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa jalan pemilu tidak bisa dan tidak akan dapat mengantarkan umat islam menjadi khoiru ummah (umat terbaik), tapi justru mereka akan terjebak dalam lingkaran setan. Indonesia masuk pada perangkap corporate state yaitu menjadikan negara (pemerintahan) sebagai instrumen untuk kepentingan bisnis. Demokratisasi ini adalah bagian dari liberalisasi di sektor politik. Solusinya, amputasi sistem demokrasi sekuler ini yang telah menjadikan negeri ini dijajah oleh kapitalisme asing yang dilegalkan oleh antek-anteknya di eksekutif dan legislatif termasuk pemerintah daerah. Indonesia membutuhkan syariah Islam dalam naungan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah.
Oleh: Hadi sasongko – (analis politik)
Peristiwa penistaan agama dalam surat al maidah 51 menjadikan umat islam di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini menjadi bahu membahu dan bersatu untuk dapat menjadikan orang yang menjadi penista agama dapat dijerat hukum yang berlaku. Berbagai aksi untuk mendorong para penguasa dinegeri ini agar menangkap dan menjatuhi pelaku tidak kunjung menuai hasil. Justru malah arus itu berbalik ke umat islam yang ingin mencari keadilan karena dengan berbagai dalih dan isuh seperti akan melakukan makar, tuntutan penuh dengan nuansa politik karena mendekati pilkada. Ulama menjadi kriminal. Tetapi hal itu tidak menyurutkan umat islam ini untuk bersatu dalam mengawal hukum yang berjalan dalam mengadili pelaku penista agama.
Sampai pelaksanaan pilkada berlangsung beberapa saat yang lalu dibulan februari menjadikan euforia pemilu tersebut sampai-sampai dijadikan libur nasional, harapannya memang pilkada tersebut sukses sehingga semua masyarakat yang ada bisa mengggunakan hak pilihnya.
Watak sistem politik demokrasi; tidak pernah kosong dari kolusi penguasa dan kapitalis. Itu juga bukti bahwa Pilkada tidak akan membawa perubahan dan tidak akan mendatangkan para penguasa yang melayani kepentingan rakyat. Fakta dari tahun ke tahun negeri ini berganti-ganti pemimpin tapi tidak mampu untuk menjadikan negeri ini untuk bangkit dari keterpurukan dan sejahtera. Jadi apa yang salah?
Solusi yang sebenarnya saat ini adalah berjuang tidak hanya menjelang pemilu, tetapi seharusnya bertahun-tahun tanpa henti tidak mengenal lelah, pantang menyerah dalam menyebarkan pemikiran (aqidan dan tsaqafah) islam ditengah tengah masyarakat, menanamkan kebiasaan amal syarmenanamkan kebiasaan amal syari’ah dan ahlaqul kharimah dan menumbuhkan kebersamaan ukhuwah dan jamaah, sehingga perasaan ummat ini menjadi rindu akan islam. Yang nantinya pada saatnya, dengan pertolongan Allah tanpa kudeta, tanpa pemilu, system akan diubah oleh pemegang kekuasaan yang telah berubah pola pikirnya. Dan rakyat yang akan membelanya, yang dimana juga telah berubah pola pikirnya. Itulah dakwah yang dilakukan Rasulullah. Ingat Afikra Selatan meninggalkan system Apartheid, itu tanpa pemilu. Uni Soviet meninggalkan system komunisme, itu tanpa pemilu dan Soeharto tahun 1998 mundur juga bukan karena pemilu. Justru sebaliknya aljazair, mesir ternyata juga gagal berubah, meski pemilu dimenangkan.
Tidak ada sama sekali jaminan perubahan, ketika Pilkada langsung dijalankan, walaupun ongkos politiknya terbilang sangat tinggi sekalipun. Kelak akhirnya masyarakat mengetahui bahwa ternyata demokrasi tidak menghasilkan kesejahteraan rakyat, demokrasi tidak berbanding lurus dengan kemakmuran. Berbicara pilkada seharusnya tidak berbicara siapa mendukung siapa, akan tetapi seharusnya dijadikan momentum untuk melakukan pendidikan politik kepada ummat, bukan sebaliknya malah ditipu. Untuk itulah, umat Islam membutuhkan pemimpin yang pro kepada penegakkan syari’at Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa jalan pemilu tidak bisa dan tidak akan dapat mengantarkan umat islam menjadi khoiru ummah (umat terbaik), tapi justru mereka akan terjebak dalam lingkaran setan. Indonesia masuk pada perangkap corporate state yaitu menjadikan negara (pemerintahan) sebagai instrumen untuk kepentingan bisnis. Demokratisasi ini adalah bagian dari liberalisasi di sektor politik. Solusinya, amputasi sistem demokrasi sekuler ini yang telah menjadikan negeri ini dijajah oleh kapitalisme asing yang dilegalkan oleh antek-anteknya di eksekutif dan legislatif termasuk pemerintah daerah. Indonesia membutuhkan syariah Islam dalam naungan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah.
Oleh: Hadi sasongko – (analis politik)
0 Response to "Jadi Apa yang Salah?"
Post a Comment