Kejahatan Kartel Narkoba : Modus Imperialisme dan Kolonialisme
Dakwah Media - Narkoba sebagai salah satu kejahatan transnasional. Dilansir dari antaranews (7/2/17) Seorang biksu Myanmar tertangkap basah menyembunyikan lebih dari empat juta pil ekstasi di biara, menurut keterangan kepolisian setempat, Senin (6/2). Biksu Arsara ditahan setelah pihak berwenang menemukan ratusan ribu pil ekstasi di mobil yang sedang ia kemudikan dalam perjalanan dari Desa Shwe Baho di Kota Maungdaw, Negara Bagian Rakhine yang berbatasan dengan Bangladesh.
"Awalnya kepolisian menemukan 400 ribu pil ekstasi" ketika aparat menggeledah mobil tersangka pada Minggu malam, ujar kepala kepolisian Kyaw Mya Win seperti dilansir AFP. "Aparat kepolisian kemudian menggeledah biara biksu tersebut dan menemukan 4,2 juta pil ekstasi."
Strategi Hegemoni
Myanmar perdagangan narkoba sempat tercatat merupakan produsen narkoba terbesar kedua setelah Afghanistan di kawasan Asia Tengah, namun fakta ini tak bisa dipungkiri terkait juga dengan daerah-daerah yang merupakan basis gerakan separatis Myanmar di daerah yang berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Cina. Menurut studi yang dilakukan oleh Peter Dale Scott, perdagangan narkoba di kawasan ini pada era Perang Dingin, juga mendapat dukungan dari para operator intelijen Amerika Serikat CIA. Di Burma Myanmar misalnya, akibat campur tangan CIA tahun 1950 mampu meningkatkan produksi narkoba dari 40 ton (1939) menjadi 600 ton (1970). Di Thailand pun demikian, dari sebelumnya hanya 7 ton (1939) naik menjadi 200 ton (1968). Luar biasa! Di Laos tidak mau ketinggalan, dari produksi 15 ton tahun 1939 menjadi 50 ton pada tahun 1973.
Kawasan Asia Tenggara sampai hari ini masih tetap rawan sebagai basis sekaligus sarana peredaran dan perdagangan narkoba berskala regional di kawasan Asia Tenggara. Bahkan menurut bocoran informasi dari dalam internal CIA itu sendiri, setidaknya telah teridentifikasi sekitar 21 pusat pengolahan opium yang terdapat di perbatasan tiga negara Myanmar, Thailand dan Laos. 7 di antaranya bahkan mampu memproduksi heroin kualitas 4 dengan kemurnian 90-99 persen. Adapun ketujuh laboratorium tersebut berlokasi di Tachilek (Myanmar), Ban Houei Sai dan Nam Keung (Laos), dan Mae Salong (Thailand). Tentu saja saat ini lokasi tersebut sudah tidak bisa lagi dilacak jejaknya. Namun ketiga negara tersebut kiranya masih tetap menjadi basis, sarang dan sekaligus sarana peredaran narkoba di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.
Perang Candu/narkoba menjadi bagian integral dari strategi melemahkan negara-negara yang secara geopolitik dijadikan sasaran utama untuk dikuasai karena melimpahnya kekayaan SDA-nya. Analisis Dr Peter Dale Scott dalam sebuah konferensi internasional pada 1990. Menurut Scott, adanya campur tangan AS dengan dalih pemberantasan narkoba, bukannya mengurangi justru semakin meningkatan produksi dan arus perdagangan. Ia pun menarik asumsi, bahwa intevensi dan keterlibatan Paman Sam baik militer ataupun politik di suatu negara, adalah bagian dari masalah bukan memecahkan masalah.
Jika ditelisik sejak 1950, CIA mendukung pembentukan gerilyawan nasionalis Cina di Burma (Myanmar), grup yang masih mengendalikan setidaknya setengah suplai opium dunia, dan di Laos menciptakan bandar senjata gelap Meo yang dimana komandannya mengolah heroin untuk dijual termasuk pada tentara Amerika di Vietnam Selatan. Akhir 1969, laboratorium heroin menjamur di tiga perbatasan yang meliputi Burma, Thailand dan Laos. Hasil pengolahan heroin di Asia Tenggara tersebut mulai membanjiri Amerika Serikat dalam jumlah yang tak dapat diprediksikan, Efeknya tentu terlihat pada meroketnya jumlah pecandu narkoba.
yang perlu diwaspadai dalam spektrum imperialisme, Perang Candu bukan sekedar strategi cadangan tapi merupakan strategi baku. Bias hard power (aksi-aksi militer) ataupun smart power (gerakan asimetris/non militer), bahkan Perang Candu itu sendiri dapat berjalan masing-masing, serentak, atau bergantian dengan intensitas berbeda. Kelompok negara Barat khususnya Paman Sam, relatif canggih memainkan modus Perang Opium di berbagai negara. Ibarat bola sodok, di tangan Central Intellegence Agency (CIA) perdagangan candu itu seperti pukulan yang mengenai dua bola sekaligus. Bola pertama berupa “rusak”-nya generasi bangsa (lost generation), sedang bola kedua adalah money laundry (pencucian uang) atas bisnis narkoba yang dikerjakan.
Jasmerah
Secara historis, zaman Kaisar Ming dan Ching berkuasa, ada kebijakan menutup jalur perniagaan dengan Barat karena anggapan selain mampu memenuhi keperluan rakyatnya sendiri, ia juga tak mau bergantung kepada asing. Kebijakan Ming merugikan Inggris, karena hasil produk dan barang-barang Cina semacam sutera, rempah, tembikar serta teh yang dimonopoli Inggris diminati berbagai kalangan di Eropa. Hubungan kedua pihak menegang. Setelah lewat liku-liku perundingan, akhirnya perdagangan dibuka kembali dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja. Inggris memiliki akses opium ke India secara mudah memasukkan Candu besar-basaran ke Cina.
Diambilnya langkah tegas Pada masa Kekasiaran Tao Kwang era 1839-an, guna mengatasi kecanduan dan peredarannya di masyarakat. Komisaris Lin Tse-Hsu diperintah oleh Kaisar guna memusnahkan candu ilegal di Guangzhou. Lin dikenal berpengaruh dalam menentang peredaran opium di Tiongkok. Salah satu inti dan substansi statement Lin yang dijadikan acuan dalam Perang adlah “bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang!”.
Tindakan Lin membuat kemarahan Inggris, kemudian meletuslah Perang Cina-Anglo I (1839-1842). Perang selama tiga tahun itu dimenangkan Inggris. Ada 30.000-an rakyat menjadi korban dan memaksa Cina menandatangani Treaty of Nanjing (1842) dan The British Supplementary Treaty of the Bogue (1843). Inti Treaty of Nanjing atau Perjanjian Nanjing ialah kewajiban Cina membayar upeti 21 juta kepada Inggris sebagai ganti rugi peperangan, membuka kembali perniagaan dengan Barat via pelabuhan-pelabuhan Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo serta Shanghai, dan Inggris meminta Hong Kong menjadi tanah jajahan.
Perang Boxer II terjadi antara Inggris, Prancis, dan Cina. Sebagai pemicu ialah pencarian kapal The Arrow milik Inggris oleh Cina secara ilegal di Guangzhou. Hal ini membuat geram Inggris dan kembali mengobarkan perang. Lagi-lagi konflik tersebut dimenangkan oleh Barat dan Guangzhou diduduki oleh pasukan Inggris-Prancis. Akhirnya Cina kembali menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Prancis, Rusia dan Amerika telah ikut ambil bagian. Isi perjanjian: Cina membuka sebelas pelabuhan, diizinkan pendirian kedutaan negara luar, melegalkan impor candu dan memberi ruang pada aktivitas misionaris Kristen.
Waspada Indonesia
Lemahnya pengawasan di perairan laut Indonesia dan pelabuhan memudahkan peredaran narkoba berhasil lolos masuk ke wilayah kedaulatan Indonesia. Mengingat karakteristik Narkoba sebagai bagian integral strategi AS menaklukkan negara-negara sasaran, maka pemerintah Indonesia harus memantau secara intensif peredaran dan perdagangan narkoba di negeri ini. Bagi mafia narkoba internasional, Indonesia ibarat surga. Ratusan juta penduduk merupakan pasar empuk untuk mengeruk fulus.
Kejahatan narkoba setiap tahun mengalami peningkatan. "Pada tahun 2015 lalu, pengguna narkoba di Indonesia tercatat ada sebanyak 5,8 juta jiwa. Banyaknya pengguna narkoba juga dibarengi dengan maraknya upaya penyelundupan narkoba dari luar negeri, " kata Kepala Bidang Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta, Dadan Farid dalam gelar perkara pada Senin (11/4). (http://wartakota.tribunnews.com/2016/04/11/pengguna-narkoba-di-indonesia-terus-meningkat-setiap-tahun)
Sengaja atau tidak, ada kesan penegak hukum lembek menghadapi keberingasan sindikat narkoba kemudahan demi kemudahan diobral buat para penghancur masa depan bangsa itu. Masih sering kita dapati hakim memvonis ringan bandar, padahal undang-undang mengamanatkan kepada mereka untuk menghukum seberat-beratnya pelaku kejahatan narkoba. Terpidana narkotika juga nyaman di balik jeruji besi. Penjara yang semestinya membuat mereka jera malah menjadi tempat paling aman untuk mengendalikan bisnis terlarang itu. Penjahat narkotika kini bahkan punya benteng terakhir bernama grasi.
Hukuman atas kejahatan narkoba yang tidak memberikan efek jera itu justru makin memperparah masalah. Jangankan membuat jera orang lain, orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Kita memahami pesatnya kejahatan narkoba sebenarnya buah dari sistem sekulerisme-kapitalisme yang dengan standar manfaatnya melahirkan gaya hidup hedonisme, gaya hidup yang memuja kenikmatan jasmani. Doktrin liberalismenya mengajarkan, setiap orang harus diberi kebebasan mendapatkan kenikmatan setinggi-tingginya. Maka contoh akibatnya, tempat-tempat hiburan malam yang sering erat dengan peredaran narkoba makin marak dan tidak bisa dilarang. Dan dengan dibingkai oleh akidah sekulerisme yang meminggirkan agama, maka sempurnalah kerusakan itu. Tatanan kemuliaan hidup masyarakat pun makin terancam. Maka jelaslah bahwa akar masalah narkoba itu adalah pandangan hidup sekulerisme kapitalisme.
Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik internasional)
"Awalnya kepolisian menemukan 400 ribu pil ekstasi" ketika aparat menggeledah mobil tersangka pada Minggu malam, ujar kepala kepolisian Kyaw Mya Win seperti dilansir AFP. "Aparat kepolisian kemudian menggeledah biara biksu tersebut dan menemukan 4,2 juta pil ekstasi."
Strategi Hegemoni
Myanmar perdagangan narkoba sempat tercatat merupakan produsen narkoba terbesar kedua setelah Afghanistan di kawasan Asia Tengah, namun fakta ini tak bisa dipungkiri terkait juga dengan daerah-daerah yang merupakan basis gerakan separatis Myanmar di daerah yang berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Cina. Menurut studi yang dilakukan oleh Peter Dale Scott, perdagangan narkoba di kawasan ini pada era Perang Dingin, juga mendapat dukungan dari para operator intelijen Amerika Serikat CIA. Di Burma Myanmar misalnya, akibat campur tangan CIA tahun 1950 mampu meningkatkan produksi narkoba dari 40 ton (1939) menjadi 600 ton (1970). Di Thailand pun demikian, dari sebelumnya hanya 7 ton (1939) naik menjadi 200 ton (1968). Luar biasa! Di Laos tidak mau ketinggalan, dari produksi 15 ton tahun 1939 menjadi 50 ton pada tahun 1973.
Kawasan Asia Tenggara sampai hari ini masih tetap rawan sebagai basis sekaligus sarana peredaran dan perdagangan narkoba berskala regional di kawasan Asia Tenggara. Bahkan menurut bocoran informasi dari dalam internal CIA itu sendiri, setidaknya telah teridentifikasi sekitar 21 pusat pengolahan opium yang terdapat di perbatasan tiga negara Myanmar, Thailand dan Laos. 7 di antaranya bahkan mampu memproduksi heroin kualitas 4 dengan kemurnian 90-99 persen. Adapun ketujuh laboratorium tersebut berlokasi di Tachilek (Myanmar), Ban Houei Sai dan Nam Keung (Laos), dan Mae Salong (Thailand). Tentu saja saat ini lokasi tersebut sudah tidak bisa lagi dilacak jejaknya. Namun ketiga negara tersebut kiranya masih tetap menjadi basis, sarang dan sekaligus sarana peredaran narkoba di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.
Perang Candu/narkoba menjadi bagian integral dari strategi melemahkan negara-negara yang secara geopolitik dijadikan sasaran utama untuk dikuasai karena melimpahnya kekayaan SDA-nya. Analisis Dr Peter Dale Scott dalam sebuah konferensi internasional pada 1990. Menurut Scott, adanya campur tangan AS dengan dalih pemberantasan narkoba, bukannya mengurangi justru semakin meningkatan produksi dan arus perdagangan. Ia pun menarik asumsi, bahwa intevensi dan keterlibatan Paman Sam baik militer ataupun politik di suatu negara, adalah bagian dari masalah bukan memecahkan masalah.
Jika ditelisik sejak 1950, CIA mendukung pembentukan gerilyawan nasionalis Cina di Burma (Myanmar), grup yang masih mengendalikan setidaknya setengah suplai opium dunia, dan di Laos menciptakan bandar senjata gelap Meo yang dimana komandannya mengolah heroin untuk dijual termasuk pada tentara Amerika di Vietnam Selatan. Akhir 1969, laboratorium heroin menjamur di tiga perbatasan yang meliputi Burma, Thailand dan Laos. Hasil pengolahan heroin di Asia Tenggara tersebut mulai membanjiri Amerika Serikat dalam jumlah yang tak dapat diprediksikan, Efeknya tentu terlihat pada meroketnya jumlah pecandu narkoba.
yang perlu diwaspadai dalam spektrum imperialisme, Perang Candu bukan sekedar strategi cadangan tapi merupakan strategi baku. Bias hard power (aksi-aksi militer) ataupun smart power (gerakan asimetris/non militer), bahkan Perang Candu itu sendiri dapat berjalan masing-masing, serentak, atau bergantian dengan intensitas berbeda. Kelompok negara Barat khususnya Paman Sam, relatif canggih memainkan modus Perang Opium di berbagai negara. Ibarat bola sodok, di tangan Central Intellegence Agency (CIA) perdagangan candu itu seperti pukulan yang mengenai dua bola sekaligus. Bola pertama berupa “rusak”-nya generasi bangsa (lost generation), sedang bola kedua adalah money laundry (pencucian uang) atas bisnis narkoba yang dikerjakan.
Jasmerah
Secara historis, zaman Kaisar Ming dan Ching berkuasa, ada kebijakan menutup jalur perniagaan dengan Barat karena anggapan selain mampu memenuhi keperluan rakyatnya sendiri, ia juga tak mau bergantung kepada asing. Kebijakan Ming merugikan Inggris, karena hasil produk dan barang-barang Cina semacam sutera, rempah, tembikar serta teh yang dimonopoli Inggris diminati berbagai kalangan di Eropa. Hubungan kedua pihak menegang. Setelah lewat liku-liku perundingan, akhirnya perdagangan dibuka kembali dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja. Inggris memiliki akses opium ke India secara mudah memasukkan Candu besar-basaran ke Cina.
Diambilnya langkah tegas Pada masa Kekasiaran Tao Kwang era 1839-an, guna mengatasi kecanduan dan peredarannya di masyarakat. Komisaris Lin Tse-Hsu diperintah oleh Kaisar guna memusnahkan candu ilegal di Guangzhou. Lin dikenal berpengaruh dalam menentang peredaran opium di Tiongkok. Salah satu inti dan substansi statement Lin yang dijadikan acuan dalam Perang adlah “bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang!”.
Tindakan Lin membuat kemarahan Inggris, kemudian meletuslah Perang Cina-Anglo I (1839-1842). Perang selama tiga tahun itu dimenangkan Inggris. Ada 30.000-an rakyat menjadi korban dan memaksa Cina menandatangani Treaty of Nanjing (1842) dan The British Supplementary Treaty of the Bogue (1843). Inti Treaty of Nanjing atau Perjanjian Nanjing ialah kewajiban Cina membayar upeti 21 juta kepada Inggris sebagai ganti rugi peperangan, membuka kembali perniagaan dengan Barat via pelabuhan-pelabuhan Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo serta Shanghai, dan Inggris meminta Hong Kong menjadi tanah jajahan.
Perang Boxer II terjadi antara Inggris, Prancis, dan Cina. Sebagai pemicu ialah pencarian kapal The Arrow milik Inggris oleh Cina secara ilegal di Guangzhou. Hal ini membuat geram Inggris dan kembali mengobarkan perang. Lagi-lagi konflik tersebut dimenangkan oleh Barat dan Guangzhou diduduki oleh pasukan Inggris-Prancis. Akhirnya Cina kembali menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Prancis, Rusia dan Amerika telah ikut ambil bagian. Isi perjanjian: Cina membuka sebelas pelabuhan, diizinkan pendirian kedutaan negara luar, melegalkan impor candu dan memberi ruang pada aktivitas misionaris Kristen.
Waspada Indonesia
Lemahnya pengawasan di perairan laut Indonesia dan pelabuhan memudahkan peredaran narkoba berhasil lolos masuk ke wilayah kedaulatan Indonesia. Mengingat karakteristik Narkoba sebagai bagian integral strategi AS menaklukkan negara-negara sasaran, maka pemerintah Indonesia harus memantau secara intensif peredaran dan perdagangan narkoba di negeri ini. Bagi mafia narkoba internasional, Indonesia ibarat surga. Ratusan juta penduduk merupakan pasar empuk untuk mengeruk fulus.
Kejahatan narkoba setiap tahun mengalami peningkatan. "Pada tahun 2015 lalu, pengguna narkoba di Indonesia tercatat ada sebanyak 5,8 juta jiwa. Banyaknya pengguna narkoba juga dibarengi dengan maraknya upaya penyelundupan narkoba dari luar negeri, " kata Kepala Bidang Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta, Dadan Farid dalam gelar perkara pada Senin (11/4). (http://wartakota.tribunnews.com/2016/04/11/pengguna-narkoba-di-indonesia-terus-meningkat-setiap-tahun)
Sengaja atau tidak, ada kesan penegak hukum lembek menghadapi keberingasan sindikat narkoba kemudahan demi kemudahan diobral buat para penghancur masa depan bangsa itu. Masih sering kita dapati hakim memvonis ringan bandar, padahal undang-undang mengamanatkan kepada mereka untuk menghukum seberat-beratnya pelaku kejahatan narkoba. Terpidana narkotika juga nyaman di balik jeruji besi. Penjara yang semestinya membuat mereka jera malah menjadi tempat paling aman untuk mengendalikan bisnis terlarang itu. Penjahat narkotika kini bahkan punya benteng terakhir bernama grasi.
Hukuman atas kejahatan narkoba yang tidak memberikan efek jera itu justru makin memperparah masalah. Jangankan membuat jera orang lain, orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Kita memahami pesatnya kejahatan narkoba sebenarnya buah dari sistem sekulerisme-kapitalisme yang dengan standar manfaatnya melahirkan gaya hidup hedonisme, gaya hidup yang memuja kenikmatan jasmani. Doktrin liberalismenya mengajarkan, setiap orang harus diberi kebebasan mendapatkan kenikmatan setinggi-tingginya. Maka contoh akibatnya, tempat-tempat hiburan malam yang sering erat dengan peredaran narkoba makin marak dan tidak bisa dilarang. Dan dengan dibingkai oleh akidah sekulerisme yang meminggirkan agama, maka sempurnalah kerusakan itu. Tatanan kemuliaan hidup masyarakat pun makin terancam. Maka jelaslah bahwa akar masalah narkoba itu adalah pandangan hidup sekulerisme kapitalisme.
Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik internasional)
0 Response to "Kejahatan Kartel Narkoba : Modus Imperialisme dan Kolonialisme"
Post a Comment