Masih Percaya Pilkada Ala Demokrasi ?
Dakwah Media - “Perbedaan data total suara tak hanya ditampilkan di Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) Pilgub Banten. Di Pilgub DKI, perbedaan datanya malah lebih besar: 22 rb!
Seperti dilihat di Situng Pilgub DKI, Selasa (21/2/2017) pukul 19.17 WIB. Jumlah perolehan suara Agus-Sylvi yaitu 936.461 suara, Ahok-Djarot 2.357.785 suara, dan Anies-Sandiago 2.193.530 suara. Jika dujumlahkan, total suara ketiganya adalah 4.487.776 suara.
Data jumlah total suara itu berbeda dengan jumlah total suara sah yang ditulis dalam Situng, yaitu 5.465.392 suara. Selisihnya mencapai 22.384 suara. Padahal seharusnya total penjumlahan suara ketiga paslon sama dengan jumlah total suara sah.
Perbedaan data serupa ditemukan di Situng Pilgub Banten. Ada selisih 9.012 suara di Banten. Kenapa hal itu bisa terjadi?” (detik.com/21/2/2017)
Komentar:
Begitulah problem klasikal di era demokrasi dengan “pestanya” berupa pilkada-pilkada. Padahal problem dalam pilkada tidak hanya itu. Setiap penyelenggaraan pilkada selalu dihiasi dengan pembengkakan anggaran. Dalam Pilkada DKI tahun 2017 ini saja, sekitar Rp 478 Miliar dihabiskan (megapolitan.kompas.com/25/09/2016). Padahal belum tentu pejabat yang terpilih bisa mewujudkan harapan-harapan rakyatnya.
Belum lagi modal para kandidat yang bertarung di pilkada. Sebagai contoh misalkan pasangan Anis-Sandiago menghabiskan sekitar 64,7 Miliar untuk kampanye (news.detik.com/12/02/2017). Sungguh angka yang sanat besar jika dibandingkan dengan gaji yang akan mereka dapatkan jika terpilih sebagai gubernur. Dengan begitu besarnya biaya untuk kampanye inilah, potensi terjadinya politik transaksional atau balas budi sangat besar.
Tidak semua kandidat mempunyai dana besar. Saat itulah akan ada pemodal yang mayoritas pengusaha (corporate) memberikan suntikan dana sebagai modal bertarung di pilkada. Ketika terpilih, maka kebijakan-kebijakan pejabat terpilih tersebut akan berpihak kepada pemodal. Inilah yang disebut politik transaksional atau balas budi. Dalam bahasa Prof. Amin Rais disebut korporatokrasi, yaitu kerjasama atau perkawinan antara perusahaan (corporate) dengan pejabat.
Seandainya kandidat mengeluarkan modal dari kantong sendiri, peluang terjadi korupsi saat menjabat juga sangat terbuka. Hal ini disebabkan gaji yang di dapat dari posisi sebagai kepala daerah tidak sebanding dengan modal yang keluar saat kampanye. Untuk mengembalikan modal dan mengambil keuntungan dari jabatannya dilakukan dengan korupsi dan memainkan proyek-proyek yang menguntungkan pihaknya. Fakta menunjukkan bahwa pelaku-pelaku korupsi banyak dari kalangan kepada daerah atau pejabat.
Oleh karena itu, masihkah kita betah dengan sistem demokrasi dan segala aksesorisnya seperti pilkada? Masihkah kita nyaman dengan semua itu? Tidakkah kita bosan melihat tingkah laku para pejabat yang memberikan pintu selebar-lebarnya bagi pengusaha menjalankan proyek yang merugikan rakyat?
Sudah saatnya kita beralih kepada sistem Islam secara menyeluruh. Sehingga setiap sendi kehidupan diatur dengan Islam, tak terkecuali dalam masalah politik khususnya pengangkatan kepada daerah.
Ketika Islam diterapkan secara utuh dalam institusi Khilafah Islamiyyah, saat itulah proses pengangkatan kepada daerah tidak seperti sistem demokrasi dengan pilkadanya. Dalam Islam kepada daerah, baik gubernur (wali) dan bupati (amil) diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara (Khalifah) berdasarkan pendapat Khalifah dan kemaslahatan umat. Sehingga akan sangat efisien, efektif, terhindar dari politik transaksional dan akan menghilangkan perilaku-perilaku korupsi dari pejabat.
Untuk itu, segera campakkan demokrasi. Mari bergerak menggalang persatuan umat Islam, mengangkat Khalifah yang dengannya akan diterapkan Islam secara penuh dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam.
Lutfi Sarif Hidayat, SEI
Pemerhati Ekonomi Politik
Seperti dilihat di Situng Pilgub DKI, Selasa (21/2/2017) pukul 19.17 WIB. Jumlah perolehan suara Agus-Sylvi yaitu 936.461 suara, Ahok-Djarot 2.357.785 suara, dan Anies-Sandiago 2.193.530 suara. Jika dujumlahkan, total suara ketiganya adalah 4.487.776 suara.
Data jumlah total suara itu berbeda dengan jumlah total suara sah yang ditulis dalam Situng, yaitu 5.465.392 suara. Selisihnya mencapai 22.384 suara. Padahal seharusnya total penjumlahan suara ketiga paslon sama dengan jumlah total suara sah.
Perbedaan data serupa ditemukan di Situng Pilgub Banten. Ada selisih 9.012 suara di Banten. Kenapa hal itu bisa terjadi?” (detik.com/21/2/2017)
Komentar:
Begitulah problem klasikal di era demokrasi dengan “pestanya” berupa pilkada-pilkada. Padahal problem dalam pilkada tidak hanya itu. Setiap penyelenggaraan pilkada selalu dihiasi dengan pembengkakan anggaran. Dalam Pilkada DKI tahun 2017 ini saja, sekitar Rp 478 Miliar dihabiskan (megapolitan.kompas.com/25/09/2016). Padahal belum tentu pejabat yang terpilih bisa mewujudkan harapan-harapan rakyatnya.
Belum lagi modal para kandidat yang bertarung di pilkada. Sebagai contoh misalkan pasangan Anis-Sandiago menghabiskan sekitar 64,7 Miliar untuk kampanye (news.detik.com/12/02/2017). Sungguh angka yang sanat besar jika dibandingkan dengan gaji yang akan mereka dapatkan jika terpilih sebagai gubernur. Dengan begitu besarnya biaya untuk kampanye inilah, potensi terjadinya politik transaksional atau balas budi sangat besar.
Tidak semua kandidat mempunyai dana besar. Saat itulah akan ada pemodal yang mayoritas pengusaha (corporate) memberikan suntikan dana sebagai modal bertarung di pilkada. Ketika terpilih, maka kebijakan-kebijakan pejabat terpilih tersebut akan berpihak kepada pemodal. Inilah yang disebut politik transaksional atau balas budi. Dalam bahasa Prof. Amin Rais disebut korporatokrasi, yaitu kerjasama atau perkawinan antara perusahaan (corporate) dengan pejabat.
Seandainya kandidat mengeluarkan modal dari kantong sendiri, peluang terjadi korupsi saat menjabat juga sangat terbuka. Hal ini disebabkan gaji yang di dapat dari posisi sebagai kepala daerah tidak sebanding dengan modal yang keluar saat kampanye. Untuk mengembalikan modal dan mengambil keuntungan dari jabatannya dilakukan dengan korupsi dan memainkan proyek-proyek yang menguntungkan pihaknya. Fakta menunjukkan bahwa pelaku-pelaku korupsi banyak dari kalangan kepada daerah atau pejabat.
Oleh karena itu, masihkah kita betah dengan sistem demokrasi dan segala aksesorisnya seperti pilkada? Masihkah kita nyaman dengan semua itu? Tidakkah kita bosan melihat tingkah laku para pejabat yang memberikan pintu selebar-lebarnya bagi pengusaha menjalankan proyek yang merugikan rakyat?
Sudah saatnya kita beralih kepada sistem Islam secara menyeluruh. Sehingga setiap sendi kehidupan diatur dengan Islam, tak terkecuali dalam masalah politik khususnya pengangkatan kepada daerah.
Ketika Islam diterapkan secara utuh dalam institusi Khilafah Islamiyyah, saat itulah proses pengangkatan kepada daerah tidak seperti sistem demokrasi dengan pilkadanya. Dalam Islam kepada daerah, baik gubernur (wali) dan bupati (amil) diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara (Khalifah) berdasarkan pendapat Khalifah dan kemaslahatan umat. Sehingga akan sangat efisien, efektif, terhindar dari politik transaksional dan akan menghilangkan perilaku-perilaku korupsi dari pejabat.
Untuk itu, segera campakkan demokrasi. Mari bergerak menggalang persatuan umat Islam, mengangkat Khalifah yang dengannya akan diterapkan Islam secara penuh dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam.
Lutfi Sarif Hidayat, SEI
Pemerhati Ekonomi Politik
0 Response to "Masih Percaya Pilkada Ala Demokrasi ?"
Post a Comment