Kisah Dramatis Pengusaha Property Membebaskan Diri dari Riba Rp 9 Miliar
Dakwah Media - Untuk memulai sebuah usaha modal menjadi kunci utamanya. Kredit dari perbankan dengan sistem angsuran berbunga sering menjadi pilihan. Utang modal terus tertumpuk dan tak sedikit yang akhirnya terjerat dengan rentenir.
Beberapa pengusaha kini mulai menghindari jeratan utang berbunga ini dengan alasan riba. Kampanye dan gerakan membaskan diri dari riba pun semakin berkembang di berbagai daerah. Dalam upaya membebaskan diri dari riba, ada cerita dan kisah-kisah luar biasa, yang sangat menginspirasi.
Seperti kisah Gamal Haris, seorang pengusaha property di Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, yang berhasil membebaskan diri dari riba dengan cara dramatis. Kepada Koran Muria, salah satu pendiri komunitas bebas riba Subulussalam ini membagikan kisahnya, berikut penuturannya :
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah (MA) Raudlatul Ulum, berbagai macam pekerjaan saya lakoni. Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1998 memutuskan menikah. Dari sini saya mulai memutar otak untuk menjalankan sebuah bisnis. Hingga kemudian tahun 2001 benar-benar serius untuk menekuni bisnis.
Modal memang menjadi masalah untuk pengembangan bisnis saya. Dari sinilah perkenalan pertama saya dengan riba. Tanpa pikir panjang kredit sebesar Rp 400 juta saya ambil untuk mengembangkan usaha toko material bahan bangunan.
Setelahnya seolah saya menjadi maniak kredit. Setiap kali ada tawaran kredit entah itu dari bank, BPR, atau lainnya dengan bunga tinggi pun saya ambil. Memang bisnis saya berkembang, bahkan saya juga membuka pabrik beton, dan mengembangkan bisnis property. Tanpa saya sadari utang saya di bank menumpuk hingga bermiliar-miliar.
Tiap bulan harus membayar utang plus bunga yang jumlahnya sangat besar. Meski demikian, saya tetap terpikat dengan tawaran-tawaran kredit yang terus berdatangan. Ini berlangsung hingga bertahun-tahun, tanpa disadari utang terus menumpuk.
Keajaiban muncul setelah saya dan istri mempersiapkan diri untuk berangkat haji ke Tanah Suci. Dan dari sini merupakan titik balik saya untuk melepas semua riba yang kami nikmati selama ini.
Mungkin ini hidayah dari Allah yang turun mengingatkan umatnya. Setelah melalui proses serangkaian persiapan ibadah haji, istri tiba-tiba berujar tidak mau berangkat. Saya sangat kaget karena waktu keberangkatan sudah sangat dekat. Dan yang membuat terhenyak adalah alasan istri saya tak mau berangkat jika kami masih punya beban riba. “Saya malu sama Allah jika masih punya riba” begitu kata istri.
Kata-kata dari istri itu seolah seperti sambaran petir. Apalagi selama kajian-kajian dan ngaji waktu manasik haji, saya baru sadar riba yang awalnya saya kira dosanya hanya kecil-kecil saja, tapi ternyata luar biasa besarnya.
Saya ingat betul itu, sekitar tahun 2012. Dari kami sepakat untuk menghentikan riba. Memang tak bisa langsung segera, karena utang saya yang begitu banyak mencapai Rp 9 miliar. Dan tahun 2013 ketika kami berangkat haji, itu saya gunakan sebagai resolusi untuk membebaskan diri dari riba.
Beberapa upaya saya lakukan untuk menghentikan kebiasaan riba. Awalnya memang sangat berat, aset-aset saya jual untuk menutup utang. Rumah dan tanah saya di Juwana saya lepas, mobil dan truk sebanyak 10 unit juga saya jual, tanah yang saya agunkan di bank juga saya lepas. Bisnis toko material dan pabrik beton juga harus kami relakan, karena ini risiko dari resolusi itu.
Dan Alhamdulillah 2012 saya memutuskan untuk berhenti dan pada 2014 kami sudah benar-benar lepas dari riba. Tawaran-tawaran kredit berbunga yang terus masuk dengan sabar kami tolak, kami ingin berdiri dengan kaki sendiri dan berusaha tanpa harus menggunakan riba.
Setelah rumah saya jual, kami sekeluarga pindah ke Tayu, saya mengembangkan bisnis property membangun perumahan syariah Taylon (Tayu Kulon). Dan hingga sekarang insya Allah kami sudah bisa menikmati rezeki halal.
Memang saya akui ada perbedaan ketika masih mengandalkan modal dari kucuran perbankan dengan tidak sama sekali. Dari sisi omzet memang mengalami penurunan, tapi dari sisi pendapatan justru mengalami peningkatan. Karena ketika masih menangguk utang di banyak bank, dengan contoh omzet sekitar Rp 200 juta sebulan, separuh lebih saya gunakan untuk membayar cicilan utang.
Apalagi jika saya kebetulan sakit atau lagi sepi, justru malah tombok. Tapi sekarang, jika saya menjual satu rumah katakana dengan harga sama Rp 200 juta, itu langsung menjadi pendapatan murni tanpa harus mikir untuk bayar cicilan.
Dan dari pengalaman ini, saya bersama sejumlah teman kemudian tergerak untuk membentuk sebuah komunitas bebas riba Subulussalam. Kami dirikan komunitas ini di sejumlah daerah, ada di Kudus, Pati, dan Rembang. Kalau di Pati sekreatariatnya di rumah saya. Kami memberi edukasi tentang bebas riba, dan yang penting kami juga memberi solusi bagi mereka yang ingin terbebas dari riba. (Koran Muria)
Beberapa pengusaha kini mulai menghindari jeratan utang berbunga ini dengan alasan riba. Kampanye dan gerakan membaskan diri dari riba pun semakin berkembang di berbagai daerah. Dalam upaya membebaskan diri dari riba, ada cerita dan kisah-kisah luar biasa, yang sangat menginspirasi.
Seperti kisah Gamal Haris, seorang pengusaha property di Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, yang berhasil membebaskan diri dari riba dengan cara dramatis. Kepada Koran Muria, salah satu pendiri komunitas bebas riba Subulussalam ini membagikan kisahnya, berikut penuturannya :
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah (MA) Raudlatul Ulum, berbagai macam pekerjaan saya lakoni. Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1998 memutuskan menikah. Dari sini saya mulai memutar otak untuk menjalankan sebuah bisnis. Hingga kemudian tahun 2001 benar-benar serius untuk menekuni bisnis.
Modal memang menjadi masalah untuk pengembangan bisnis saya. Dari sinilah perkenalan pertama saya dengan riba. Tanpa pikir panjang kredit sebesar Rp 400 juta saya ambil untuk mengembangkan usaha toko material bahan bangunan.
Setelahnya seolah saya menjadi maniak kredit. Setiap kali ada tawaran kredit entah itu dari bank, BPR, atau lainnya dengan bunga tinggi pun saya ambil. Memang bisnis saya berkembang, bahkan saya juga membuka pabrik beton, dan mengembangkan bisnis property. Tanpa saya sadari utang saya di bank menumpuk hingga bermiliar-miliar.
Tiap bulan harus membayar utang plus bunga yang jumlahnya sangat besar. Meski demikian, saya tetap terpikat dengan tawaran-tawaran kredit yang terus berdatangan. Ini berlangsung hingga bertahun-tahun, tanpa disadari utang terus menumpuk.
Keajaiban muncul setelah saya dan istri mempersiapkan diri untuk berangkat haji ke Tanah Suci. Dan dari sini merupakan titik balik saya untuk melepas semua riba yang kami nikmati selama ini.
Mungkin ini hidayah dari Allah yang turun mengingatkan umatnya. Setelah melalui proses serangkaian persiapan ibadah haji, istri tiba-tiba berujar tidak mau berangkat. Saya sangat kaget karena waktu keberangkatan sudah sangat dekat. Dan yang membuat terhenyak adalah alasan istri saya tak mau berangkat jika kami masih punya beban riba. “Saya malu sama Allah jika masih punya riba” begitu kata istri.
Kata-kata dari istri itu seolah seperti sambaran petir. Apalagi selama kajian-kajian dan ngaji waktu manasik haji, saya baru sadar riba yang awalnya saya kira dosanya hanya kecil-kecil saja, tapi ternyata luar biasa besarnya.
Saya ingat betul itu, sekitar tahun 2012. Dari kami sepakat untuk menghentikan riba. Memang tak bisa langsung segera, karena utang saya yang begitu banyak mencapai Rp 9 miliar. Dan tahun 2013 ketika kami berangkat haji, itu saya gunakan sebagai resolusi untuk membebaskan diri dari riba.
Beberapa upaya saya lakukan untuk menghentikan kebiasaan riba. Awalnya memang sangat berat, aset-aset saya jual untuk menutup utang. Rumah dan tanah saya di Juwana saya lepas, mobil dan truk sebanyak 10 unit juga saya jual, tanah yang saya agunkan di bank juga saya lepas. Bisnis toko material dan pabrik beton juga harus kami relakan, karena ini risiko dari resolusi itu.
Dan Alhamdulillah 2012 saya memutuskan untuk berhenti dan pada 2014 kami sudah benar-benar lepas dari riba. Tawaran-tawaran kredit berbunga yang terus masuk dengan sabar kami tolak, kami ingin berdiri dengan kaki sendiri dan berusaha tanpa harus menggunakan riba.
Setelah rumah saya jual, kami sekeluarga pindah ke Tayu, saya mengembangkan bisnis property membangun perumahan syariah Taylon (Tayu Kulon). Dan hingga sekarang insya Allah kami sudah bisa menikmati rezeki halal.
Memang saya akui ada perbedaan ketika masih mengandalkan modal dari kucuran perbankan dengan tidak sama sekali. Dari sisi omzet memang mengalami penurunan, tapi dari sisi pendapatan justru mengalami peningkatan. Karena ketika masih menangguk utang di banyak bank, dengan contoh omzet sekitar Rp 200 juta sebulan, separuh lebih saya gunakan untuk membayar cicilan utang.
Apalagi jika saya kebetulan sakit atau lagi sepi, justru malah tombok. Tapi sekarang, jika saya menjual satu rumah katakana dengan harga sama Rp 200 juta, itu langsung menjadi pendapatan murni tanpa harus mikir untuk bayar cicilan.
Dan dari pengalaman ini, saya bersama sejumlah teman kemudian tergerak untuk membentuk sebuah komunitas bebas riba Subulussalam. Kami dirikan komunitas ini di sejumlah daerah, ada di Kudus, Pati, dan Rembang. Kalau di Pati sekreatariatnya di rumah saya. Kami memberi edukasi tentang bebas riba, dan yang penting kami juga memberi solusi bagi mereka yang ingin terbebas dari riba. (Koran Muria)
0 Response to "Kisah Dramatis Pengusaha Property Membebaskan Diri dari Riba Rp 9 Miliar"
Post a Comment