-->

Keteguhan Ambok Ketika Disidik Penyidik Mabes Polri



Dakwah Media -Ambok saat akan di mintai keterangan berkata yang secara pokok pokoknya kurang lebih (mohon ma'af jika tidak tepat tapi saya mendengar dibelakangnya pas) mengatakan :

"Assalamu Alaikum wa rohmatullahi wa barokatuhu. Bapak bapak sekalian saya minta untuk bertobat karena pasal pasal apapun, semua itu warisan Belanda yang bertentangan dengan Syari'at Islam. Tinggalkan itu semua kembali kepada Allah sebelumnya terlambat.

Related

Pasal pasal yang hanya diarahkan untuk membungkam Umat Islam namun tidak berlaku bagi orang kafir. Saya tidak peduli apapun yang akan ditanyakan karena dimata saya hanya ada Aturan Allah yang wajib bagi kita menegakkannya.

Baca : Ngisi Ceramah Bahaya PKI, Ust Alfian dilaporkan, Takmir Masjid Diperiksa

Saya, Hasyim Yahya Ketua Yayasan Masjid Mujahidin yang berasaskan Islam menyatakan bahwa hanya saya yang bertanggung-jawab atas apapun yang terjadi disini jangan libatkan yang lainnya.

Bapak bapak saya anggap anak anak saya juga yang saya akan bersaksi dihadapan Allah nanti jika mau bertobat dengan meninggalkan pasal pasal itu. Itulah jalan keselamatan bagi kita semua.

Jangan mengusik Umat Islam yang menjadi mayoritas negeri ini yang telah berkorban dan terdepan menyelamatkan dari kekafiran penjajahan Belanda, jangan lupakan itu !

Saya ucapkan terima kasih atas kehadirannya disini dan semoga Allah menjadi penolong bagi hamba-hambaNya, sekian !

Wassalamu alaikum wa rohmatullahi wa barokatuhu

Saat itu jam 11. 14 Beliau dengan kursi roda langsung meninggalkan tempat penyidikan menuju ruang Masjid untuk persiapan Sholat Dhuhur dalam tatapan Penyidik yang tak sempat bertanya satu katapun kecuali setiap jeda perkataan Ambo di jawab : "Siap !.......siap !...... Siap......! Siap.....! dst.
Ambok dalam pandangan saya ولانزكيه على الله احدا bagaikan puncak gunung anggun yang menjulang tinggi
Hasbunallahu wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nashir !!!!!!!!!
Allahu Akbar !!!

Surabaya, 16 Mei 17'
*Azhari Dipo Kusumo, di Masjid Mujahidin Perak Surabaya*

Terimakasih dukungan teman2 semua....Alhamdulillah semua pemeriksaan berjalan lancar....komunis musuh NKRI, harus kita lawan bersama-sama....

Melawan Lupa 1974

KEJADIAN hampir 40 tahun lalu itu berulang. Subjeknya masih sama: umat Islam. Peringkat masih pertama di negeri ini: umat mayoritas. Wibawa suara tidak kunjung berubah: diabaikan penguasa.

Kalender masih ada pada angka 1974. Pemerintahan Soeharto bergeming dengan suara-suara umat Islam. Suara-suara pemuda turun ke jalan memprotes pergelaran Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) di Jakarta. Sayang, Soeharto kala itu kadung akrab dengan kalangan Nasrani. Jangankan suara pemuda, suara para tokoh seperti M.Natsir, H.M. Rasjidi, dan banyak eksponen ulama karismatik umat pun diabaikan. Didiamkan seolah tidak pernah ada pengaruh besar jasa mereka bagi negeri ini.

Mengapa perhelatan DGD ditolak? Meski statistik tidak sampai sepuluh persen, sebuah keberanian umat Nasrani di Indonesia melangsungkan acara di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Dengan dukungan jejaringnya di lingkaran Soeharto, misalnya T.B. Simatupang (kala itu juga salah satu ketua DGD), mereka percaya diri melangkah. Rencana nyaris sempurna dan didukung Soeharto.

Besarnya dukungan Soeharto tidak main-main. Wacana kerukunan antaragama yang digaungkannya menjadi senjata untuk memperbolehkan acara DGD di Ibu Kota. Jenderal-jenderal militer loyalisnya, yang umumnya Islamofobia, mengondusifkan penghempasan aspirasi umat Islam. Persiapan terus berjalan, bila sesuai rencana, setahun berikutnya, yakni 1975, Sidang Raya DGD dibuka.

Meski suara-suara umat Islam diabaikan begitu saja oleh penguasa, amat menarik terjadi di sana. Semua komponen umat bisa bersatu. Bersyukur, kala itu Gus Dur atau Cak Nur, yang pada dekade berikutnya fasih sebagai juru bicara kelompok minoritas, belumlah menjadi sosok ‘besar’ dan terpandang. Suara umat satu, bisa berjamaah untuk mengkritik langkah Soeharto.

Ikhtiar umat nyaris kandas, dan tinggal berhitung bulan pelaksanaan Sidang Raya DGD hadir. Sebuah tamparan kala itu, meski hari ini banyak anak negeri di sini memandangnya sebagai bukti toleransi. Boleh jadi, mereka yang alami era 1970-an itu terlalu fanatik, dan kita sekarang terbilang toleran. Tapi jangan bangga. Bisa jadi kemungkinan kedua yang berlaku di hadapan Allah, mereka yang hadir pada era 1970-an lebih mengerti sendi agama sehingga cemburu membela Islam begitu tinggi; adapun kita saat ini, sudah kadung termakan dengan buaian hidup toleransi, pluralisme, kemajemukan, dan omongan yang sering kali tidak sinkron dengan jiwa agama sendiri.
Rasjidi, intelektual sekaligus ulama terpandang dekade itu, harus angkat suara dan pena. Ditulisnya Sidang Raya DGD di Jakarta 1975 – Artinya Bagi Dunia Islam melalui penerbitan Dewan Dakwah Islamiyah. Tulisan Rasjidi tegas: Sidang Raya DGD tidak lebih agenda pemurtadan umat Muslim di Indonesia. Bahkan, disebutnya, paralel dengan kolonialisme.
Sebelum itu, Natsir yang merupakan tokoh disegani di dunia Islam, lebih dulu menuliskan topik serupa. Melalui salah satu muridnya yang menghimpun topik relasi Islam dan umat Nasrani di sini, lahirlah Islam dan Kristen di Indonesia (1969). Napasnya masih sama: waspada dengan cara-cara pemurtadan.
Seiring jatuhnya Orde Lama dan hadirnya Orde Baru, proyek pemurtadan marak. Tokoh-tokoh umat seperti Natsir dan Rasjidi terpanggil untuk berjuang tidak semata di pentas politik. Sidang Raya DGD di Jakarta bukan sebuah acara biasa; bukan semata penarik devisa—kalau meminjam istilah klise birokrat kita hari ini.
Meski kekuatan Islam-politik saat itu sudah kadung dihabisi, cemburu pada api Islam belumlah pudar. Bukan hanya ada di dada Natsir atau Rasjidi, tapi juga rakyat biasa. Hasyim Yahya, salah satunya. Jengah dengan tulinya penguasa Orde Baru terhadap masukan dan aspirasi umat Islam (padahal, Umat Islamlah yang menopangnya untuk naik sebagai presiden, setelah lebih dulu getol menghadap kekuatan komunis), Hasyim Yahya tidak mau bergeming di Surabaya, kota mukimnya selaku pengusaha.
Hasyim tahu bagaimana hasil yang diperbuat saudara-saudaranya yang mendemo penguasa. Nihil. Tapi panggilan Qur`an begitu menancap di dada. Terlebih anutan umat semacam Rasjidi membakar militansi umat untuk mencintai agama dan negerinya dari kaki tangan penjajah. Hasyim pun punya rencana.

*Tikaman Pengubah*

Juli 1974, berangkatlah Hasyim ke Ibu Kota. Bersama beberapa saudara seiman yang tidak sampai sehitungan jemari tangan kanan. Didatanginya penginapan (hotel) tempat salah seorang pemuka DGD di Jalan Arif Rachman Hakim. Naluri Hasyim berjalan. Maklum saja, dia terbiasa berhitung untung-rugi. Dia menyamar hingga berhasil memasuki ruang penginapan. Tiada senjata apalagi bom. Dia bukan kaki tangan aparat pemerintah semacam Densus 88 sekarang. Dia juga bukan komprador lembaga negara yang kerap bikin kisruh agar isu terorisme undang kucuran dolar dari luar sana.
Hasyim yang kala itu masih muda dapati seorang aparat berjaga. Sumber resmi di kemudian hari sebutkan aparat itu seorang Muslim juga.

Masa itu, ukuran agama tidak relevan. Militer ‘hijau’ masih amat asing adanya. Yang bejibun, loyalis para jenderal anti-Islam seperti Ali Moertopo dan L.B. Moerdani. Aparat militer penjaga itu, versi resmi kepolisian, dibunuh Hasyim dan kawan-kawannya, sebelum akhirnya nyawa Eric Constable pun meregang di tempat sama.

Siapa Eric? Dia bukan sosok biasa; dia pendeta Gereja Anglikan asal Australia. Kabar dari Jakarta itu mengagetkan. Pihak penyelenggara, terutama dari DGD, memandang kematian Constable merupakan sinyal membahayakan kegiatan mereka. Putusan pun dibuat. Sidang Raya ke-5 DGD pun akhirnya dipindahkan ke Nairobi, Kenya.
Bukan peralatan canggih. Bukan pula aksi bermodalkan bom. Terlampau jauh semua itu. Cukup dengan sebilah pisau menghempaskan nyawa tokoh yang bersiap ‘menyelamatkan gembala tersesat‘di Indonesia. Tidak perlu rapat repot; tidak butuh mobilisasi. Keberanian bersahaja demi memenuhi panggilan hati. “Saya hanya melaksanakan perintah Quran,” kata Hasyim. Putusannya bulat meski itu perbuatannya Hasyim haru dibui. Menariknya, aparat kepolisian kala itu menyebut Hasyim sosok ‘tekena penyakit syaraf’. Sebuah tudingan yang jelas tidak akan diakui Hasyim. Hasyim boleh saja dituduh ‘merampok’ dan ‘syaraf’, tapi ini tidak lebih permainan aparat agar kasus sensitif tersebut tidak mengguncang ihwal kerukunan yang dicanangkan Soeharto.

Copas tulisan Ust. Tiar Anwar Bachtiar di grup Jejak Islam Bangsa (ahad besok beliau k surabaya)

Beliau ini tokoh legendaris Indonesia....semoga Allah menjaga nya.....ambok syaikh Hasyim Yahya hafidzahullah...

dari Carlos Abu HAmzah 
Plis Like Fanpage Kami ya

Related Posts

0 Response to "Keteguhan Ambok Ketika Disidik Penyidik Mabes Polri "

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close