ANTI-PANCASILA: SLOGAN USANG, BUNGKAM SUARA KRITIS!
Dakwah Media - Akhir-akhir ini, publik Indonesia kembali diramaikan dengan slogan Anti-Pancasila. Slogan ini kembali didengungkan dan diangkat oleh pemerintah sejak membanjirnya animo dan dukungan puluhan juta rakyat Indonesia melalui Aksi Bela Islam, Ulama, dan Ormas Islam yang berjilid-jilid. Slogan ‘anti-Pancasila’ kembali digulirkan oleh rezim ini tentu dengan pemikiran dan pertimbangan yang matang. Salah satu alasannya adalah terancamnya eksistensi kekuasaan mereka oleh person-person, kelompok-kelompok, atau bahkan ormas-ormas Islam yang dinggap lebih mampu menarik simpati dan empati masyarakat luas, sehingga melahirkan ragam aksi yang berjilid-jilid itu.
Maka, bila memang alasan itu yang membuat rezim ini khawatir dan resah akan eksistensi kekuasaannya, maka seharusnya mereka berintrospeksi. Salah satu caranya adalah dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap nasib wong cilik, yang selalu mereka gaung-gaungkan itu! Namun, apa hendak dikata, langkah itu tidak diambil, dan malah kebijakan-kebijakan pro asing dan aseng yang mereka mainkan. Maka, suatu kewajaran bila mayoritas rakyat sudah muak dengan drama mereka.
Mirip Orde Baru
Belum habis rasa muak dan sesak di dada rakyat Indonesia, kini sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, kembali menanggung beban yang begitu berat dari tingkah pola rezim saat ini. Mereka kembali berulah dengan menangkap paksa beberapa aktivis Islam dan salah seorang ulama seperti Muhammad Al-Khattath, bahkan menuduh Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab telah melakukan hal yang kotor. Kriminalisasi semacam ini coba dimainkan oleh rezim ini, berharap ada beberapa kepala dari rakyatnya yang termakan permainan busuk mereka.
Sesungguhnya, sebelum para ulama dan aktivis Islam ditangkap dan dikriminalisasi, salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, Hizbut Tahrir Indonesia, dituduh anti-Pancasila. Bukan hanya HTI saja sebenarnya yang dituduh, namun, massa yang mengikuti Aksi Bela Islam dan Ulama juga dituduh anti-Pancasila, anti-kebhinnekaan, dan intoleran. Aksi-aksi tersebut diopinikan oleh media-media yang menjadi corong mereka sebagai aksi-aksi yang tidak menginginkan adanya umat non-muslim hidup berdampingan di Indonesia, padahal sejatinya, umat Islam yang terjun aksi-aksi tersebut sedang membela kesucian Al-Qur’an yang sempat dinista oleh manusia yang tak bertanggung jawab, Ahok.
Bila diamati dengan seksama, tingkah pola rezim sekarang sangat-sangat mirip dengan tingkah pola rezim orde baru dulu. Dulu, di zaman orde baru, tepatnya pada 1 Mei 1978, pemerintah mengutus tim khusus yang dipimpin oleh Letnan Satu Sjafrie Sjamsoeddin untuk bergerak ke Aceh, dengan membawa misi menangkap salah seorang ulama sepuh, Daud Beureueh. Ulama sepuh ini dituduh terlibat dalam operasi Komando Jihad, yang mana Komando Jihad adalah kelompok bersenjata yang diinisiasi sendiri pembentukannya oleh aparat, Ali Moertopo untuk memojokkan umat Islam. Komando Jihad adalah kelompok yang dicap ‘ekstrim kanan’ oleh pemerintah saat itu. Padahal, menurut berbagai sumber, Daud Beureueh adalah salah seorang ulama yang konsisten mengkritik keras pemerintah untuk segera menghentikan pembangunan PNG Arun, karena pembangunan tersebut tidak memberikan manfaat bagi Aceh, melainkan hanya mengeruk dan menghabiskan kekayaan Aceh belaka.
Tak hanya Daud Beureueh saja yang diamankan oleh rezim orde baru kala itu. Abuya Dimyati, salah seorang pengasuh Pondok Pesantren di Cidahu, Pandeglang, Banten, ditangkap juga menjelang Pemilu 1977, tepatnya pada 14 Maret 1977. Bahkan, beliau divonis bersalah dan dihukum penjara selama enam bulan penjara dengan dalih tidak taat terhadap pemerintah. Padahal, beliau hanya menyampaikan aspirasi dan hak asasinya kepada seorang Kepala Desa agar warga desa tidak dipaksa untuk mendukung salah satu parpol kala itu.
Masa orde baru adalah masa dimana para ulama dikebiri secara sosial maupun secara politik. Ulama harus menerima program-program pemerintah, jika tidak, maka ancaman kekerasan, pengucilan, hing
ga pemenjaraan pun di depan mata. Misalnya dalam soal program keluarga Berencana dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, banyak ulama kala itu yang menentang program-program ini.
Sesungguhnya, masih banyak kasus dan peristiwa sejarah yang membuktikan kesewenang-wenangan rezim orde baru. Dan sepertinya, rezim Jokowi sekarang, hendak meneladani jejak-jejak rezim orde baru ini, dengan kembali menggunakan slogan ‘usang’ Anti-Pancasila untuk membungkam suara kritis dari para ulama, aktivis, maupun ormas Islam yang menentang kebijakannya. Rezim sekarang, mencoba membungkam suara-suara kritis dari lawan-lawan politiknya yang menggoyang tampuk kekuasaannya. Rezim sekarang menggigil ketakutan, jikalau eksistensinya tergantikan.
Kemiripan langkah-langkah dan kebijakan politik yang ditempuh oleh rezim sekarang dengan rezim orde baru tentu menjadi sebuah tanda tanya besar. Apakah mereka benar-benar ingin meneladani rezim orde baru yang telah tumbang? Bila memang iya! Maka bersiap-siaplah untuk tumbang juga. Namun, tentu mereka tidak menginginkan hal itu, bukan? Logisnya, jikalau mereka tidak ingin segera ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri, tentu kebijakan pancasilais harus ditonjolkan dalam setiap pengambilan keputusannya. Jikalau mereka tidak ingin segera ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri, maka penangkapan, pemenjaraan, dan pengkriminalisasian terhadap ulama dan ajaran Islam (seperti Khilafah) tidak dilakukan. Rencana pembubaran ormas Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia, juga harus diurungkan sesegera mungkin.
Bagaimana mungkin, sebuah ormas Islam harus dibubarkan, dimana dalam setiap aksinya menyuarakan:
1. Pemerintah harus mencabut ijin Freeport agar tidak semakin mengeruk habis kekayaan negeri.
2. Pemerintah harus sesegera mungkin mengusut tuntas kasus-kasus korupsi besar.
3. Pemerintah harus sesegera mungkin mengatasi merebaknya virus-virus LGBT, pelacuran, seks bebas, minuman-minuman keras, dan ragam kriminalisasi lainnya.
Lalu, dalam setiap aksinya juga, HTI selalu menawarkan solusi: “pemerintah harus menerapkan syariat Islam secara kaaffah agar terwujud kembali kehidupan Islam, dengan konsekuensi pemerintah harus kembali kepada aturan Islam dalam mengatur segala aspek dan lini kehidupan misalnya dalam hal mengatur kekayaan sumber daya alam, sistem peradilan dan sistem persanksian juga harus bersumber dari ajaran Islam, kemudian, pemerintah juga harus segera mengganti sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi, serta pemikiran sekulerisme dan liberalisme agar rakyat dan negara tidak sengsara”.
Apakah pemikiran, penolakan, dan tawaran solusi seperti di atas bertentangan dengan Pancasila? Bila rezim ini tetap ‘ngotot’ dengat niatnya membubarkan HTI, maka saya berani katakan bahwa rezim inilah yang sesungguhnya anti-Pancasila!
Nahzim Rahmat
Kepala Divisi Opini dan Propaganda,
PD GEMA Pembebasan Bali
Maka, bila memang alasan itu yang membuat rezim ini khawatir dan resah akan eksistensi kekuasaannya, maka seharusnya mereka berintrospeksi. Salah satu caranya adalah dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap nasib wong cilik, yang selalu mereka gaung-gaungkan itu! Namun, apa hendak dikata, langkah itu tidak diambil, dan malah kebijakan-kebijakan pro asing dan aseng yang mereka mainkan. Maka, suatu kewajaran bila mayoritas rakyat sudah muak dengan drama mereka.
Mirip Orde Baru
Belum habis rasa muak dan sesak di dada rakyat Indonesia, kini sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, kembali menanggung beban yang begitu berat dari tingkah pola rezim saat ini. Mereka kembali berulah dengan menangkap paksa beberapa aktivis Islam dan salah seorang ulama seperti Muhammad Al-Khattath, bahkan menuduh Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab telah melakukan hal yang kotor. Kriminalisasi semacam ini coba dimainkan oleh rezim ini, berharap ada beberapa kepala dari rakyatnya yang termakan permainan busuk mereka.
Sesungguhnya, sebelum para ulama dan aktivis Islam ditangkap dan dikriminalisasi, salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, Hizbut Tahrir Indonesia, dituduh anti-Pancasila. Bukan hanya HTI saja sebenarnya yang dituduh, namun, massa yang mengikuti Aksi Bela Islam dan Ulama juga dituduh anti-Pancasila, anti-kebhinnekaan, dan intoleran. Aksi-aksi tersebut diopinikan oleh media-media yang menjadi corong mereka sebagai aksi-aksi yang tidak menginginkan adanya umat non-muslim hidup berdampingan di Indonesia, padahal sejatinya, umat Islam yang terjun aksi-aksi tersebut sedang membela kesucian Al-Qur’an yang sempat dinista oleh manusia yang tak bertanggung jawab, Ahok.
Bila diamati dengan seksama, tingkah pola rezim sekarang sangat-sangat mirip dengan tingkah pola rezim orde baru dulu. Dulu, di zaman orde baru, tepatnya pada 1 Mei 1978, pemerintah mengutus tim khusus yang dipimpin oleh Letnan Satu Sjafrie Sjamsoeddin untuk bergerak ke Aceh, dengan membawa misi menangkap salah seorang ulama sepuh, Daud Beureueh. Ulama sepuh ini dituduh terlibat dalam operasi Komando Jihad, yang mana Komando Jihad adalah kelompok bersenjata yang diinisiasi sendiri pembentukannya oleh aparat, Ali Moertopo untuk memojokkan umat Islam. Komando Jihad adalah kelompok yang dicap ‘ekstrim kanan’ oleh pemerintah saat itu. Padahal, menurut berbagai sumber, Daud Beureueh adalah salah seorang ulama yang konsisten mengkritik keras pemerintah untuk segera menghentikan pembangunan PNG Arun, karena pembangunan tersebut tidak memberikan manfaat bagi Aceh, melainkan hanya mengeruk dan menghabiskan kekayaan Aceh belaka.
Tak hanya Daud Beureueh saja yang diamankan oleh rezim orde baru kala itu. Abuya Dimyati, salah seorang pengasuh Pondok Pesantren di Cidahu, Pandeglang, Banten, ditangkap juga menjelang Pemilu 1977, tepatnya pada 14 Maret 1977. Bahkan, beliau divonis bersalah dan dihukum penjara selama enam bulan penjara dengan dalih tidak taat terhadap pemerintah. Padahal, beliau hanya menyampaikan aspirasi dan hak asasinya kepada seorang Kepala Desa agar warga desa tidak dipaksa untuk mendukung salah satu parpol kala itu.
Masa orde baru adalah masa dimana para ulama dikebiri secara sosial maupun secara politik. Ulama harus menerima program-program pemerintah, jika tidak, maka ancaman kekerasan, pengucilan, hing
ga pemenjaraan pun di depan mata. Misalnya dalam soal program keluarga Berencana dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, banyak ulama kala itu yang menentang program-program ini.
Sesungguhnya, masih banyak kasus dan peristiwa sejarah yang membuktikan kesewenang-wenangan rezim orde baru. Dan sepertinya, rezim Jokowi sekarang, hendak meneladani jejak-jejak rezim orde baru ini, dengan kembali menggunakan slogan ‘usang’ Anti-Pancasila untuk membungkam suara kritis dari para ulama, aktivis, maupun ormas Islam yang menentang kebijakannya. Rezim sekarang, mencoba membungkam suara-suara kritis dari lawan-lawan politiknya yang menggoyang tampuk kekuasaannya. Rezim sekarang menggigil ketakutan, jikalau eksistensinya tergantikan.
Kemiripan langkah-langkah dan kebijakan politik yang ditempuh oleh rezim sekarang dengan rezim orde baru tentu menjadi sebuah tanda tanya besar. Apakah mereka benar-benar ingin meneladani rezim orde baru yang telah tumbang? Bila memang iya! Maka bersiap-siaplah untuk tumbang juga. Namun, tentu mereka tidak menginginkan hal itu, bukan? Logisnya, jikalau mereka tidak ingin segera ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri, tentu kebijakan pancasilais harus ditonjolkan dalam setiap pengambilan keputusannya. Jikalau mereka tidak ingin segera ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri, maka penangkapan, pemenjaraan, dan pengkriminalisasian terhadap ulama dan ajaran Islam (seperti Khilafah) tidak dilakukan. Rencana pembubaran ormas Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia, juga harus diurungkan sesegera mungkin.
Bagaimana mungkin, sebuah ormas Islam harus dibubarkan, dimana dalam setiap aksinya menyuarakan:
1. Pemerintah harus mencabut ijin Freeport agar tidak semakin mengeruk habis kekayaan negeri.
2. Pemerintah harus sesegera mungkin mengusut tuntas kasus-kasus korupsi besar.
3. Pemerintah harus sesegera mungkin mengatasi merebaknya virus-virus LGBT, pelacuran, seks bebas, minuman-minuman keras, dan ragam kriminalisasi lainnya.
Lalu, dalam setiap aksinya juga, HTI selalu menawarkan solusi: “pemerintah harus menerapkan syariat Islam secara kaaffah agar terwujud kembali kehidupan Islam, dengan konsekuensi pemerintah harus kembali kepada aturan Islam dalam mengatur segala aspek dan lini kehidupan misalnya dalam hal mengatur kekayaan sumber daya alam, sistem peradilan dan sistem persanksian juga harus bersumber dari ajaran Islam, kemudian, pemerintah juga harus segera mengganti sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi, serta pemikiran sekulerisme dan liberalisme agar rakyat dan negara tidak sengsara”.
Apakah pemikiran, penolakan, dan tawaran solusi seperti di atas bertentangan dengan Pancasila? Bila rezim ini tetap ‘ngotot’ dengat niatnya membubarkan HTI, maka saya berani katakan bahwa rezim inilah yang sesungguhnya anti-Pancasila!
Nahzim Rahmat
Kepala Divisi Opini dan Propaganda,
PD GEMA Pembebasan Bali
0 Response to "ANTI-PANCASILA: SLOGAN USANG, BUNGKAM SUARA KRITIS!"
Post a Comment